4. Dijajal
"Eh anak kecil, masuk lagi sana, Mama kamu pasti nyari-nyari sekarang." Kata gue ke si Romeo. Asli, gue pengin berdua sama si Merida ini, pengin nanya kita kenal di mana. Eh gile, kita. Hahaha!
"Mama aku udah gede, Om. Aku udah bilang kalau aku keluar, kalo Mama nyari, ya pasti nyari ke sini."
"Ohh!" Sahut gue.
"Tante Mer, sendiri aja ke sini? Mana temennya?" Tanya Romeo.
"Sama temen kok, tapi dia lagi sibuk ngobrol di dalem." Jawab Merida.
"Ohh berarti Om Taro doang yang sendirian ya? Kasian deh Om!"
"Tara! Bukan Taro!"
"Yailah, enakan Taro kali, bisa dimakan. Lha kalo Om? Ngomel doang bisanya "
"Jangan gitu Romeo." Tegur Merida.
Gue melirik lagi, si Merida ini seperti sengaja gak menatap ke arah gue. Ya lord, penasaran gue tuh, kenal di mana sama dia. Sumpah, mukanya gak asing banget.
"Dingin Om, Om mau pinjemin jasnya buat aku gak?" Tanya Romeo.
"Ye bocah, masuk aja ke dalem, anget!" Sahut gue.
"Om gitu deh! Pinjem Om! Aku tuh mau merasakan udara malem tau, abis kalo di rumah, abis maghrib aku gak boleh keluar sama Mama."
"Ngapa curhat dah?"
"Bagus dong, udara malem tuh gak baik buat anak-anak, mending Romeo masuk aja, makin dingin loh ini." Ujar Merida.
"Dengerin tante Mer tuh!" Timpal gue.
"Om kaya beo deh!"
Gue diam, mendelikan bahu dan sedikit melirik ke Merida. Dia juga terlihat kedinginan. Iyalah, bajunya kebuka parah gitu. Kulitnya langsung sentuhan sama angin malem.
"Masuk yuk, Romeo mau dianter?" Tawar Merida.
"Eh Tante Mer mau anter aku? Yaudah boleh!" Romeo berseru girang, lalu dia melirik gue, menjulurkan lidahnya, meledek.
Jeh? Ini anak mabuk apa ya?
"Masuk sono!"
"See you around Om Taro!" Serunya dengan nada meledek meninggalkan bungkus makanan ringannya di bangku. Kemudian Merida bangkit, ia pamit sambil tersenyum lalu menggandeng Romeo menuju gedung.
Begitu mereka tak terlihat, gue mengeluarkan lagi rokok dan zippo, membakar rokok baru dan menghisap asap itu dalam-dalam.
Lagi asik merokok, duo kampret dateng. Ya, Daru dan istrinya. Lagi-lagi gue mematikan rokok gue. Mana tega gue merokok sementara ada Ibu hamil di dekat gue?
"Udah? Balik yuk?!" Ajak gue. Kita emang barengan datengnya ke sini, meskipun masing-masing mobil, jadi akan lebih enak kalau pulangnya juga bareng.
"Yuk!" Ajak Daru.
Gue bangkit, lalu berjalan bersama mereka menuju parkiran, yang menurutku lumayan jauh.
"Eh, mau pipis!" Gue menoleh, istrinya Daru udah balik kanan balik ke gedung.
"Lha? Itu bini lo gimana?" Tanya gue.
"Tunggu di mobil, gue anter dulu. Lagi hamil emang pipis mulu!" Ujar Daru lalu berbalik menyusul istrinya.
Gue mendesah lalu duduk di semen yang membatasi jalan dan tanaman-tanaman. Kembali gue membakar rokok. Oke, semoga rokok ketiga gue gak direcok sama anak-anak, Ibu hamil atau sejenisnya deh. Kalo sampe diganggu, gue mau ke bar aja, cari cewek yang bisa rokokin gue malem ini.
Tiga hisapan rokok lolos begitu saja, gue merasa lega ketika nikotin dan zat lainnya itu bersarang di paru-paru gue.
Memandang ke langit, gue bersyukur karena malam ini langit cerah tak berawan, bintang-bintang dan bulan merajai langit malam.
Sekilas, gue melihat titik yang bergerak di atas sana. Bintang jatuh? Okee, make a wish Akatara!
Gue memejamkan mata, gue percaya kemampuan doa, bukan soal bintang jatuhnya, cuma ini momentnya lagi dapet aja, jadi gue berdoa bener-bener.
Tuhan, jaga selalu Ibuku. Panjangkan umurnya agar hamba bisa selalu membahagiakannya. Izinkan hamba menemaninya selama yang hamba bisa, dan hamba ingin---
"Tara!"
Gue membuka mata.
"Merida??" Ya, si kampret ini yang mengintrupsi doa gue.
"Ngapain duduk gak jelas?"
"Nunggu temen."
Kemudian Merida melipat gaun yang ia kenakan ke arah dalam, lalu ia duduk di sampingku, menyilangkan kakinya yang terlihat jenjang itu.
"Kata Romeo lo sendirian?"
"Itu anak tersotoy yang pernah ada." Jawab gue.
"Ohh gitu."
"Eh serius nih Tante Mer, kita saling kenal gak sih?" Tanya gue.
"Bisa jadi, kamu kenal saya, tapi saya gak kenal kamu." Ujarnya dengan nada formal.
Eh apaan? Gue kenal dia tapi dia gak kenal gue? Sok terkenal amat dah ni cewek atu.
"Kayanya gue gak kenal lo, muka lo aja kali yaa yang pasaran, makanya gue kaya kenal."
Merida tertawa mendengar itu.
"Eh iya, gue Akatara, 33 tahun, dosen!" Gue memperkenalkan diri secara resmi ke Merida.
"Gue Merida, 30 tahun, influencer."
"Influencer? Ngapain tuh?" Tanya gue. Setau gue, influencer tuh kaya selebgram, yutuber, pengusaha muda gitu-gitu. Iya kan?
"Kalo gue sih kaya bikin thread gitu, seringnya di twitter, awalnya seru-seruan, kemudian kaya dengan halus mengarahkan pola pikir si followers untuk sejalan sama kita. Gitu-gitu deh. Kadang bikin konten, buat yutuber-yutuber baru yang pengin terkenal." Jelasnya.
"Ohhh, ada ya kerjaan kaya gitu? Gue baru tau. Gue kira yutuber kreatif sendiri, dari sononya."
"Banyak yang gitu, tapi lebih banyak lagi yang minta tolong. Satu akun yutup kan gak cuma diurus sama si orangnya sendiri. Ada tim di balik itu semua."
"Kebanyakan artis paling ye?" Tanya gue.
"Hahahah gitu deh."
"Gue baru tau kaya gitu namanya influencer."
Merida tersenyum. Gue melihat di kejauhan Daru dan istrinya udah balik lagi. Lama banget dah tu cewe jalan, kalo gue jadi Daru, daripada nuntun pelan-pelan, mending gue gendong dah tu bini
"Itu temen gue, temen lo mana?" Tanya gue ketika Daru mendekat.
"Gak tau, masih di dalem kayanya ngobrol."
"Lo mau gue temenin, apa gue tinggalin?"
"Eh?"
"Apa mau gue culik?" Tanya gue jail.
"Woy! Baru gue tinggal bentar, udah gebet cewe aja lo!" Daru berdiri di hadapan kami. Gue langsung bangkit, begitupun Merida.
"Jangan mau, Tara udah keseringan encok." Ujar Daru.
"Kaya pernah gue pake aja lo!" Seru gue. Merida ketawa, istrinya Daru masang tampang oon.
"Dah! Ayok! Bawa cewe lo ke mobil. Angin Tar di luar. Gue mau balik!" Ujar Daru.
"Lo mau gue culik?" Tanya gue ke Merida.
"Boleh deh!"
Gue langsung nyengir. Entah malam ini akan berakhir gimana, yang jelas gue gak sendiri. Seenggaknya ada temen minum, atau ada temen menari di lantai dansa. Lebih bagusnya, ada temen pokpok.
**
Pisah dengan Daru, gue menjalankan mobil ke arah sebuah club malam. Mumpung Pak Walikota belum lebay pencitraan mau tutup THM (Tempat Hiburan Malam), mending gue senang-senang dulu aja.
Merida gak keberatan ketika gue menyebutkan nama tempat itu. Mungkin dikiranya gue dosen sinting kali ya. Bukannya ngajar yang bener, malah bawa ke tempat ginian. Santai ah, Tante Mer ini bukan mahasiswa gue.
Gue parkir di lahan yang tersedia lalu mengajak Merida turun. Kami berjalan bersamaan masuk ke club ini, langsung menuju meja bar..
"Minum apa lo?" Tanya gue.
"Emm samain aja."
"Macallan, dua!" Pesan gue ke bartender yang datang menghampiri.
Gue menunggu sambil membakar rokok, lalu menawarkan pada Merida, ia menerima, gue menyalakan api untuknya.
"Thanks!" Ujarnya, gue hanya mengedipkan sebelah mata, Merida tersenyum.
"Serius, gue masih gak ngerti kenapa gue berasa familiar banget sama muka lo." Kata gue, Merida tertawa.
"Lo gak mau kasih tau gue?" Tanya gue.
"Not now!"
Gue mengangguk. Lalu minuman kami datang, gue menyesap minuman itu sedikit.
"Lantai dansa?" Tanya gue, Merida mengangguk. Ia meletakkan minumannya di meja lalu berjalan terlebih dahulu.
Gue tersenyum, menyesap kembali minuman ini, baru menyusul Merida. Gue menyelip ketika ada seorang pria yang hendak berbicara dengannya.
"She's with me." Kata gue sambil menoleh ke pria asing ini. Dia tersenyum kecut, lalu berjalan menjauh.
"Jadi, lo dosen apa?" Tanyanya sambil menggerak-gerakan tubuhnya. Asli, gerakannya enak banget diliat, luwes gitu. Sesuai sama irama musik.
"Biologi."
"Ohh, jago teori dong?" Ujarnya. Gue tersenyum, paham dengan kata teori yang dia maksud. Gue mengangguk.
"Praktek juga." Sahut gue.
Sekarang giliran si Tante Mer ini yang nyengir, dia mengalihkan pandangannya dari gue, melihat sekeliling sambil terus berdansa-dansi.
"Care to find out?" Tanya gue. "Just if you dare." Tambah gue.
Cengiran Merida berubah menjadi tawa, memamerkan deretan giginya yang terlihat rapi. Dan sekilas, ia mengangguk.
Good, menang banyak nih gue.
****
Perlu gue kasih warn gak?
😂😂
****
"Tunggu, kita one night stand aja, apa jadi FWB?" Tanya gue, kemudian menyesap minuman yang ada di tangan.
Yak, gue adalah orang yang memastikan jenis hubungan apa yang gue lakukan dengan orang lain. Entah apapun itu, gue gak mau ada unsur-unsur perasaan di dalamnya.
"Friends with benefit? Gue jajal lo dulu, kalo enak, gue pikirin." Jawab Merida.
Gue nyengir, baguslah kalo dia jawab gitu. Artinya dia juga player macem gue. Jadi gue gak akan terlibat sesuatu yang berbau cinta-cintaan dalam hubungan ini.
Gue meletakkan gelas gue di meja kecil, lalu bersandar di kepala kasur sambil memerhatikan si Merida ini menyesap minuman yang ada di gelasnya, dia juga memandang ke arah gue, sesekali tersenyum. Kita di kamar hotel, fyi.
"Lo mau diem di sofa itu, apa pindah ke sini?" Tanya gue.
Merida tersenyum, menenggak habis minumannya lalu berjalan ke arah gue, dia meletakkan gelasnya di samping gelas gue, lalu naik ke kasur, duduk di atas paha gue.
Pelan-pelan, Merida melepas kemeja putih polos yang gue kenakan, lalu maju untuk mencium leher gue. Kemudian turun ke dada, gue menikmati sentuhannya sambil meraba-raba zipper yang ada di punggungnya, lalu menarik sampai bawah.
Dress yang ia kenakan sedikit melorot, sebelah payudaranya terpampang, for lord sakes, dia kaga pake bra.
Merida melepas kemeja gue, lalu menurunkan gaun yang ia kenakan, hingga menggantung di pinggang. Gue menarik wajahnya mendekat agar bisa merasakan bibirnya.
Red wine yang barusan ia minum meninggalkan rasa di bibirnya, dan gue juga merasakan sedikit rasa vanilla, manis.
Merida memeluk gue, kemudian sebelah tangannya menahan kepala gue agar tetap pada posisi ini. Sebenernya gak perlu, gue menikmati ciuman ini. Kerasa banget Merida nih udah handal banget. She's a good kisser.
Gue mencoba melepas kancing celana gue, Merida tahu apa yang gue lakukan dan dia sedikit mundur dari pangkuan gue, tanpa melepas ciuman ini tentunya. Kemudian, ia membantu melepas celana yang gue kenakan, dan gue juga melepas pakaiannya.
Begitu kami sudah tak mengenakan selembar kain pun, Merida duduk di samping gue, dan dia membungkuk.
Oh Gosh!!!
Merida nih kayanya jago main pake mulut deh, tadi ciuman jago, eh blowjob juga enak banget. Gue jadi penasaran sama mulut bawahnya. Gue tarik Merida untuk gue cium bibirnya.
"Lo bersih!" Katanya tiba-tiba.
"Hah?" Sahut gue heran.
Merida meletakkan kedua tangannya di rahang gue, lalu mencium gue sambil mengelus-elus wajah gue.
"Lo mukanya rame, tapi bawahnya sepi." Jawabnya sambil melirik ke bawah.
Oh gue paham maksudnya, ya, gue emang rajin cukuran rambut bawah sih. Soalnya gue gak nyaman kalo banyak, aneh aja gitu ngerasanya.
Gue gak menyahuti perkataan Merida barusan, hanya tersenyum lalu melanjutkan ciuman kami. Sambil ciuman gue pelan-pelan dorong dia ke belakang, biar dia merebah. Sekarang gantian gue yang enakin dia.
Merida sudah tiduran di bawah gue, sementara gue sudah memindahkan ciuman sekarang ke leher, hanya sesaat, lalu turun ke dadanya yang, well, lumayan gede untuk ukuran badannya yang kecil ini.
"Ugh, Tara!" Gue tersenyum saat mendengarnya mendesahkan nama gue.
Sementara mulut dan sebelah tangan gue sibuk dengan dadanya, tangan kiri gue piknik ke bawah, dan ternyata dia udah basah. Good. Gue memainkan jari gue di sana, dan desahan Merida makin terdengar seksi di telinga gue.
Tambah jari dan dia makin gak karuan. Gue tersenyum, kemudian mulut gue pindah ke bibirnya. Tangan gue dua-duanya masih tetep kerja.
"69, mau?" Tawar Merida. Gue mengangkat sedikit tubuh gue untuk melihat matanya. Udah sayu, udah sange parah, tapi masih mau yang asik-asik, okelah.
"Sure, you're on top!" Kata gue.
"Anjir! Belum apa-apa gue udah disuruh sujud di tytyd lo!" Sahutnya.
"Mau gak?"
Merida gak menjawab, ia mendecak lalu mendorong gue. Gue cuma senyum lalu menyambar bantal untuk alas kepala gue sebelum telentang. Merida mengatur posisi lali gue siap bermain dengan lidah dan jari-jari gue. Dan di bawah sana, skill mulut dan tangan merida ternyata jago parah. Anjir!
Gak kaya biasanya, gue keluar duluan, terus gak lama Merida juga nyusul. Eh gila banget dah ini. Sialan si Merida, liat aja, gue bales di ronde dua.
Merida bangkit lalu berlari ke kamar mandi, gue juga bangun lalu jalan nyantai ke kamar mandi. Pas gue masuk, gue liat dia minum pil gitu. Duh asik, bisa keluar di dalem dong. Uhuy!
Gue membersihkan diri gue di keran di bawah shower.
"Lanjut?" Tanya Merida.
"Iyalah! Belum beneran."
Merida mengangguk lalu keluar dari kamar mandi, gue menyusul di belakangnya. Pas dia mau naik ke kasur, gue tarik dia. Di soda dulu deh, kasur nanti.
Kami memulai pemanasan lagi, tapi gak pake lama, langsung aja. Otong gue udah pengin yang anget-anget, gile!
Gue bergerak stabil sementara Merida mendesah dan sesekali mengecup bibir gue.
"Shit! Terus Tar!" Pintanya. Gue mengangguk lalu memperbarui ritme gerakan gue. Tiga kali setengah, satu kali full, ngerti kan?
Merida jadi meracau tak jelas, semua kata makian keluar dari mulutnya. Gak lama, Merida melingkarkan kakinya di pinggang gue, tangannya memeluk gue agar tidak bergerak. Di bawah sana gue merasa miliknya berkedut dan jadi lebih basah.
Nah loh, dia udah keluar lagi dan gue belum apa-apa ini mah!
Setelah rangkulan tangan dan kaki Merida mengendur, gue kembali bergerak dan Merida kembali mendesah setelah mendapatkan kembali tenaganya. Gue terus mengubah ritme gerakan gue, kadang cepet kadang santai.
Gue sedikit membungkuk agar mulut gue bisa bermain dengan payudaranya sementara Merida terus mendesah membuat gue makin semangat.
"Duh Tar, uhhh shit!"
Kali ini Merida menjenggut rambut gue, dia keluar lagi ternyata, gue sedikit naik dan bermain di lehernya, memberikan bekas merah di sana dan ia membalas dengan mencium pelipis gue.
"Lo belum?" Tanyanya, gue menggeleng.
Merida nyengir lalu tangannya menyambar rokok dan korek gue yang ada di meja, ia membakar satu lalu menghisapnya dalam-dalam.
"Awas ya lo bikin gue pegel ngangkang!" ujarnya santai sambil menyemburkan asap rokok ke muka gue. Njir, sexy!
Gue mengangguk lalu mempercepat gerakan. Rokok di tangan Merida udah gak berguna karena dia sudah sibuk mendesah. Sambil bergerak, gue mengambil rokok tersebut dari tangannya, menghisapnya lalu menyemburkan asapnya ke wajah Merida, gantian.
Gue terus bergerak.
Saat sudah merasa akan keluar, gue mempercepat gerakan gue, Merida menjerit, ini klimaksnya yang keberapa? Entah lah, gak usah diitung. Gue terus mempercepat gerakan gue, sambil menghisap asap rokok dalam-dalam. Kemudian, gue membungkuk, gue mengarah ke bibir Merida dan membuang asap rokok di dalam mulutnya, dan bersamaan dengan itu, dedek gue juga memuntahkan isinya ke mulut bawahnya Merida. Lega.
"Oh shit!" Merida kembali mendesah, gue merasakan milik gue dijepit berkali-kali. Lha anjir, lagi??
Gue melempar rokok ke asbak di meja lalu menggeser tubuh Merida agar gue bisa rebahan di sampingnya. Tapi, karena ini di kursi, kami jadi bisa hadep-hadepan doang.
Gue tersenyum ketika mata Merida menatap gue dengan lembut. Lalu, ia mencium gue. Ciumannya pelan, lidahnya bermain di bibir gue lumayan lama sebelum masuk. Gue merengkuh wajahnya dengan kedua tangan, membalas ciumannya. Kami saling membelitkan lidah, bertukar ludah dan sesekali mengigit bibir bawah.
Dia yang mulai, dia juga yang narik diri. Gue menatapnya ketikania menarik nafas panjang, mengisi udara banyak-banyak untuk paru-parunya.
"So?" Tanya gue.
"Apaan?"
"Gak jadi!"
"Ye, apaan?" Tuntutnya.
"Gak usah."
"Apaan sih?"
"Balik malem ini apa pagi aja?" Tanya gue.
"Jam berapa sekarang?"
Gue melirik jam tangan gue, pukul setengah dua pagi. Malam sedang berada di puncak terbaiknya nih.
"Hampir jam 2."
"Gue cape, kalo di sini dulu aja gak apa?" Tanyanya. Gue mengangguk.
Merida bangun, ia mengecup dagu gue sekilas sebelum melangkahi gue dan berlari ke kamar mandi. Sementara ia di dalam, gue bangkit dan pindah ke kasur.
Gue menemukan underwear gue terselip di antara selimut, langsung saja gue memakainya.
Pintu kamar mandi terbuka, Merida keluar dan ia tersenyum sambil berjalan ke kasur. Gue mengamati tubuhnya yang telanjang itu. Badannya bagus, dan lagi-lagi, gue merasa familiar sama mukanya, badannya. Seolah-olah gue sudah sangat akrab dengan wanita asing ini.
Aneh.
Merida merebahkan diri di samping gue, langsung saja gue merangkulnya dan ia kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh kami.
"Tidur ya?" Ujarnya.
"Iya, paling nanti pagi lanjut, ya?"
"Okay!"
*****
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xx
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top