3. Kok kaya pernah liat?
"Pak Tara?" Gue menoleh ketika nama gue dipanggil, dan agak sedikit kaget juga liat siapa yang manggil.
Bu Fatimah, Dekan Fakultas Teknik. Tanpa basa-basi, langsung aja gue samperin.
"Kenapa Bu?" Tanya gue.
"Mau kasih ini, anak pertama saya nikah, dateng ya!" Serunya sambil mengulurkan sebuah kertas undangan berwarna marun.
"Ohh selamat ya Bu! Dateng kok saya!" Kata gue sok asik. Padahal belum tau ini kapan nikahnya, kali aja kan gue mendadak sibuk gitu?
"Iyaa makasih Pak Tara, jangan lupa dateng!"
"Iya Bu, makasih loh udah diundang saya."
Bu Fatimah tersenyum lalu berbalik. Gue melihat undangan di tangan gue ini, ada nama gue dan partner, aelah, partner apaan nih yang dimaksud? Kalo partner tidur, bingung gue mau ajak siapa.
Gue berjalan santai ke ruang dosen, siang ini lagi paket komplit, semuanya ada.
"Siapa yang nikah?" Tanya Pak Lutfi.
"Belum dapet emang?"
"Siapa?" Pak Lutfi nanya lagi.
"Anaknya Dekan Teknik, masa gak dapet?" Tanya gue.
"Gue dapet kok!" Sahut Daru,
"Nahh!"
"Kok gue enggak ya?" ujar Pak Lutfi.
"Jarang begaol sih!" Ujar Bu Dina.
"Gaulin dong, Bu!" Sahut gue.
"Dih, udah punya laki, sorry nih!"
"Gue juga punya bini woo!" Sahut Pak Lutfi.
Kami berempat memang seperti ini, status memang dosen, tapi kalau lagi di ruangan, dan hanya kami berempat, ya gini, kami gak ada beda sama mahasiswa diluar sana yang lagi nongkrong.
"Kita semua kaum berpasangan kali, Tara doang yang hina sendiri." Daru, jarang banget ngomong, kalo ngomong gini, bikin pengin ninju.
"Tapi pengalaman gue jauh lebih banyak dari kalian wahai para tetua!" Seru gue. Ya, gue termuda di sini. Seumur sih kalo sama Daru, gue lebih muda 5 bulan lah.
"Halah! Kasian Tar sama badan lo, belom nikah entar udah turun mesin." Ujar Pak Lutfi.
"Gak ada ceritanya Akatara begitu, sorry nih!" Sahut gue.
Ketiga teman gue ini hanya geleng-geleng kepala. Tiba-tiba, pintu ruangan kami diketuk, sesaat kemudian terbuka, lalu muncul seorang staf tata usaha.
"Kenapa Linda?" Tanya Bu Dina, yang mejanya paling deket pintu.
"Permisi ya, Bu. Itu, Pak Tara dipanggil sama Pak Is." Ujarnya. Is itu Isjaya, Dekan MIPA.
"Kenapa Lin?" Gue langsung bertanya.
"Gak tau, Pak Tara, cuma disuruh manggil." Katanya.
Gue mengangguk, lalu berdiri dari singgasana gue, berjalan keluar nyamperin Linda. Kami berdua berjalan bersama menuju ruang dekan.
"Apa kabar Pak?" Tanyanya basa-basi.
"Baik!" Jawab gue kalem. Gue nih tau kalo Linda suka sama gue, dari dulu, cuma gue gak minat untuk seriusin orang, dan gue juga gak kepengin untuk pake rekan kerja sendiri. Dia gak kaya mahasiswa yang selang beberapa tahun ilang dan berganti baru. Dia akan tetap di sini karena dia bekerja kaya gue. Dan gue gak nyaman kalau seperti itu.
Sampai di ruang Dekan, Linda mempersilahkan gue, ia sendiri kembali ke ruang TU yang bersebrangan dengan ruang Dekan.
"Permisi, Pak Is manggil saya?" Tanya gue.
"Iya Tara, ayo duduk!" Serunya.
Gue menghampiri beliau, lalu duduk di kursi di seberang mejanya. Tadinya mau duduk di sofa biar nyantai, tapi, ah si Bapaknya aja berdiri deket mejanya, gak nyuruh di sofa.
Pak Is duduk, menghadap gue, senyum-senyum bahagia gitu. Gue bingung ada angin apa gue dipanggil kaya gini.
"Ada apa ya Pak?" Tanya gue, penasaran tentu saja.
"Proposal yang dua bulan lalu kamu kirim ke DIKTI (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi), tembus. Nih ada fax masuk ke kantor saya tadi pagi."
"Wah? Bener Pak?" Tanya gue memastikan.
Pak Is mengangguk, lalu memberikan gue beberapa lembar kertas. Ya, Pak Is benar, ada nama gue selaku pemohon, judul penelitian dan lain sebagainya di kertas tersebut.
"Ajak anak-anak mahasiswa, biar mereka ada bahan juga untuk skripsi." Ujar Pak Is.
"Iya Pak, emang rencananya mau begitu. Saya ya gak bisa sendiri."
"Emang penelitian apaan sih? Kok dana ajuannya sampai 700 juta gitu Tar? Tembus lagi. Biasanya yang gede-gede gak dilolosin."
"Di proposal saya emang satu judul penelitian Pak Is, tapi dalemnya ada banyak. Jadi nanti jurnalnya juga ada sekian." Kata gue, lalu menjelaskan soal judul lebih detail.
"Saya nyontoh kamu ah, tahun ini saya belum bikin jurnal."
Gue mengangguk.
"Udah tuh, urusin. Selamat ya!"
"Makasih Pak, permisi."
Gue keluar ruangan dengan membawa kertas penyataan lulus tadi, lalu kembali ke ruangan dengan tampang sumringah.
"Kenapa lo?" Tanya Daru saat gue masuk.
"Ada project!" Jawab gue.
"Apaan?"
"Penelitian, Pulau Rambut sama Pulau Burung, mau ikutan lo?"
"Kalo belum nikah mah gitu yee, banyakin penelitian di luar. Sekarang mah gue mending di rumah, main sama istri."
"Apa sih lo? Gue ajak penelitian, malah bahas istri. Gak jelas!" Kata gue sambil duduk di kursi.
Gue mengecek lagi jadwal ngajar gue, gak ada yang ketemu mahasiswa semester 7 dalam waktu dekat. Jadi gue keluarkan ponsel gue, menghubungi salah satu mahasiswa.
Me:
Intan
Bilang ke temen-temen kamu
Kalo ada yang belum punya judul penelitian, terus tertarik ke laut, pantai, algae, hewan laut, dan sejenisnya,
suruh kumpul besok jam 10 ya?
Di ruang rapat 2.2.1
Makasih!
Terkirim dan gak lama masuk balasan
Intan mhs bio7:
Oke Pak
Siap!!
Gue membaca pesan tersebut, lalu memasukan kembali ponsel ke saku celana. Kemudian gue membuat rencana kasar beberapa judul penelitian yang akan gue berikan kepada anak-anak, rencananya sih 5 aja kayaknya, gue gak mau nyulik anak orang kebanyakan buat dibawa ke Pulau seberang. Makin banyak ya tanggung jawabnya makin gede.
"Lo gak ngajar?" Tanya Daru, dia terlihat siap-siap mau keluar.
"Jam berapa sekarang?"
"Jam dua."
"Oh gue ada ngajar Biola jam setengah tiga." Sahut gue.
"Sejak kapan lo jadi violinist?"
"Biola... Biologi Kelautan! Ah gak asik lo!"
"Ohhh!" Daru cuma oh oh doang, terus keluar dari ruangan.
Gue kembali memandang judul-judul penelitian ini. Otak gue langsung terbang ke metode, mana yang bisa dikerjain sekaligus, untuk mempersingkat waktu, dan mana aja judul yang bisa dikerjain sama mahasiswa yang minim pengalaman, biar gue gak pusing ngajarinnya.
Gue melingkari beberapa judul, semua balik ke mahasiswanya, kalo mereka mau, ya jadi, kalo gak? Wassalam, kelar gue ngerjain semua sendiri.
Sudah hampir setengah tiga, gue merapikan coretan gue, lalu siap-siap ngajar anak semester 5 di gedung sebelah.
****
Resepsi pernikahan anak Bu Fatimah benar-benar meriah, ada banyak dosen yang hadir, bahkan gue sekilas melihat Pak Utomo, sang rektor hadir di tengah-tengah kami walau hanya sebentar.
"Biji lo aja sepasang, Tar. Lo mana pasangannya?" Daru menepuk punggung gue.
"Berisik lo!"
Kemudian seorang wanita manis tersenyum ke arah gue. Sayangnya cewek manis itu istrinya Daru yang lagi hamil. Asli sih, cantik istrinya. Pantesan dia lempeng-lempeng bae kaga nengok kiri kanan buat cuci mata.
"Udah salaman lo?" Tanya Daru. Kita nih dateng barengan, cuma Daru ngurus istrinya dulu, dan gue juga sibuk ngobrol sama beberapa dosen yang hadir, jadi mencar deh kita.
"Udah, lo?"
"Gue juga udah. Antri makan ayok, lo diem mulu deket puding, gue ngeri vla-nya lo campur sperm."
"Eh kontlo! Gue gak segila itu!" Kata gue sambil meninju bahunya Daru. Di sampingnya, istrinya cekikikan. Lha? Kaya kunti.
"Ayok ah makan!" Daru mendorong gue untuk antri terlebih dahulu.
Gue langsung masuk antrian, pas gue nengok belakang eh yang percis dibelakang gue malah istrinya si Daru, bukan dia.
"Mbak, di depan aja!" Gue mempersilahkan istrinya Daru untuk lebih dulu di depan gue, sumpah gue lupa ini cewek namanya siapa hahaha.
Gue memilih berdiri di belakang Daru sambil ngobrol sama dia.
"Istri lo hamil berapa bulan?" Tanya gue.
"Enam. Kenapa gitu?"
"Gak apa. Nanya aja, basa-basi."
Daru menoleh ke belakang cuma buat geleng-geleng.
"Berdua mangkanya Tar, biar gak kebanyakan basa-basi."
Gue diem, tau gitu gue cari joki pendamping kondangan dah, biar kaga di-bully sama si Daru kampret ini terus. Gak di kampus, gak di luar, diledek mulu. Hina emang 33 tahun belum nikah? Kayanya kaga deh. Iya kan?
Setelah makan, gue menepi sebentar ke luar untuk rokokan, duduk di salah satu bangku taman yang ada. Keren sih ini konsep nikahan anaknya Bu Fatimah, ada outdoor sama indoor gitu.
Gue membakar rokok dan menghirup asap beracun itu dalam-dalam. Baru beberapa isapan, eh tiba-tiba ada anak kecil, cowok, deketin gue.
"Hey Om!" Serunya. Gue mematikan rokok tersebut dan membuangnya.
"Nyasar?" Tanya gue.
"Engga, pusing di dalem banyak orang." Sahutnya, lalu duduk di samping gue.
"Heh? Anak kecil gak boleh sendirian, malem-malem gini lagi."
"Tenang Om, aku udah izin Mama buat keluar. Kata Mama boleh dan harus ditemenin orang gede, aku pilih Om. Jadi Om yang jagain aku ya!" Katanya santai.
"What? Anak raja dari mana lo? Tiba-tiba nyuruh gue jadi baby sitter?"
"Gak boleh gitu Om, aku lagi menawarkan pahala tau!"
"Terserah!"
"Om sendiri aja? Gak sama istrinya gitu? Anaknya?"
"Heh? Anak kecil gausah kebanyakan kepo."
"Kepo apaan Om?"
"Tau ah!"
Anak kecil ini nyengir, dia memerhatikan gue dari atas sampai bawah, lalu tersenyum. Gue gak ngerti deh, kenapa anak ini sok tua banget ya?
"Aku Romeo, Om!" Katanya sambil mengulurkan tangan.
"I am not Juliet!" Sahut gue menjabat tangannya.
Si Romeo ini tertawa, kemudian dia mengeluarkan sebuah makanan ringan dari balik jaket yang ia kenakan.
"Om mau?" Tawarnya, gue mengambil sedikit makanan ringan itu lalu mengunyahnya.
"Thank you!"
"Om kok sendirian sih?"
"Engga."
"Mana pasangannya?"
"Kamu!"
"Dihhhhhh!" Serunya dengan nada merendahkan, okee lebih ke-jijik malah.
"Father-son? Kalian berdua akur banget." Gue langsung menoleh ketika seseorang bergabung dengan kami, duduk di samping Romeo.
"Punya anak kaya dia?? Dihhh!" Seru gue.
"Aku juga gak sudi punya Papa kaya Om ini, well, aku gak tau sih punya Papa rasanya kaya apa, tapi ya jangan kaya Om ini juga." Ujar Romeo.
Gue melirik anak ini, apaan maksudnya? Dia gak punya Papa? Kok bisa sesantai itu bilangnya? Gue aja sampai detik ini kalau bahas bokap masih suka kesel.
"Oh, sorry!" Sahut cewek asing ini.
"Santai aja, Tante. Oh iya, aku Romeo." Anak ini tingkat kepercayaan dirinya tinggi banget, serius deh.
"Oh, hei Romeo. Tante namanya Merida."
Gue langsung menoleh pas denger nama itu. Kok kaya gak asing yaa? Gue mengamati si Merida ini. Tuh kan, mukanya kaya yang kenal. Tapi di mana ya? Gue lupa, tapi asli, gue kenal sama cewek ini.
"Aku panggilnya Tante Mer aja ya, boleh?" Tanya Romeo.
"Sure!"
"Oh iya, Om ini, aku gak tau namanya siapa, pas tadi kenalan, cuma bilang kalau dia bukan Juliet."
"Diem, bocah!" Sahut gue.
"Om ini sensian kayanya, ya, Tante?" Ujar Romeo.
"Lagi datang bulan, kali." Ujar Merida.
Duh, Merida. Gue masih kepikiran. Gue kaya kenal banget, tapi gue lupa. Serius, cewek ini siapa ya?
"Om, emang cowok bisa datang bulan juga? Sama aja dong cewek sama cowok kalo gitu? Huh!" Ujar Romeo.
"Tante itu ngarang, santai aja." Jelas gue.
"Om namanya siapa sih?" Tanya Merida.
"Akatara." Ujar gue.
"Ohh ciki taro!" Sahut Romeo.
"It's Tara!"
"Aku dengernya Taro, Om!"
"Haha udah jangan debat sama anak kecil." Ujar Merida.
"Tante Mer, kok gue kaya familier ya sama lo?" Kata gue, tiba-tiba muka si Merida pucat.
Nah kan, kayanya emang gue gak ngayal. Sepertinya gue dan Merida memang saling kenal. Cuma ya kaya yang gue bilang, gue lupa.
Sial!
Sejak kapan gue lupa kalau gue kenal sama cewe seksi macem gini?
Tara emang kadang mendadak goblo.
****
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo
*****
Merida Purwani
***
Ps: ada kah yg bisa nebak di mana Tara bisa kenal sm Tante Mer??
Pss: sorry sorry, gak tau kenapa gue lebih semangat nulis Tante Mer daripada Conscience *ditabokberjemaah* ✌✌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top