Asa Untuknya
Alan merasa tidak yakin tentang apa yang akan dia lakukan. Rencana awal yang sudah dia susun sebelum ayam berkokok buyar begitu saja. Hatinya masih menimbang-nimbang apakah ingin lanjut atau berhenti. Tentu dengan memperhitungkan resiko masing-masing. Jika dia terus melangkah, bukan hal yang tidak mungkin dia akan ditolak ataau tidak diacuhkan sama sekali. Bila dia berhenti, dia akan kehilangan wacana menarik untuk bisa memperbaiki hubungan dengan teman sebangkunya.
Alan menghela napas. Berjongkok di depan tembok yang bagian dalamnya adalah ruang perpustakaan. Dia tidak ingat pasti kapan tepatnya hubungan dia dengan Asa, teman sebangkunya, renggang. Hanya ada sisa-sisa kenangan masa lalu saat mereka masih anak ingusan. Di mana Alan selalu meneriaki nama Asa di depan rumah Asa untuk mengajaknya bermain. Berbagi makanan atau saling meminjamkan mainan.
Tidak masalah bagi Alan untuk meminta hal seperti itu kembali terjadi pada mereka. Namun, yang menjadi permasalahan adalah mereka bukan lagi anak kecil yang bisa memperbaiki situasi hanya dengan saling menempelkan jempol. Baik dirinya maupun Asa tidak hanya berubah secara fisik, tapi pola pikir mereka juga ikut berubah.
Alan sudah meminta maaf, terlepas dari apa yang membuat matanya terbuka bahwa Asa membutuhkan teman untuk berkeluh kesah, tetapi respon Asa hanya menanggapi seadanya. Sungguh, dia ingin bersahabat dengan Asa seperti dulu. Walau tidak bisa lagi seperti anak kembar, setidaknya Asa mau berbagi beban dengannya. Meski dia tidak bisa menjanjikan penyelesaian secara langsung, sekiranya Asa tahu bahwa ada orang yang dapat memahami kondisinya.
Alan memaksakan tubuhnya berdiri. Bukankah dia ingin membantu Asa? Asa memang menolak dan mengatakan apa yang dia lakukan bukanlah suatu hal yang serius. Namun, sanggahan seperti itu membuat dia yakin bahwa Asa memang membutuhkan teman.
Tanpa keraguan lagi, Alan memasuki ruangan yang tidak pernah dia kunjungi itu. Tidak perlu waktu lama menyisir ruangan dengan matanya untuk menemukan sosok Asa. Asa duduk di salah satu bangku, di dekat rak yang memajang buku-buku biografi. Sendiri. Beberapa lembar kertas berserakan di meja dan dia yakin Asa tengah menggeluti tugas akhirnya. Alan memalingkan wajahnya, merasa tidak enak hati bila mengajak Asa berbicara. Sekarang bagaimana? Alan merasa bagai nyamuk bila situasinya seperti ini.
'Ingat tujuan, Alan!' Alan menarik oksigen dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. 'Aku siap!' Meski sudah meyakinkan diri siap, tetapi detakan pada dada di sebelah kirinya semakin kuat seiring langkah yang dia ambil untuk menjangkau sisi kosong di sebelah kiri Asa. Entah karena gerakannya yang terlampau halus atau karena keseriusan Asa, dia bisa duduk tanpa membuat perhatian Asa beralih padanya.
Dibandingkan dengan mengamati wajah Asa, Alan lebih tertarik menatap lekat lengan kiri Asa yang terbungkus jaket. Di hari dengan sengatan matahari yang seolah balas dendam dan ruang perpustakaan yang hanya mengandalkan angin dari luar untuk memberi kesejukan, bukankah aneh melihat seseorang mengenakan jaket yang lumayan tebal?
Pikiran Alan kembali menerawang tentang apa yang dia lihat minggu lalu. Saat itu dia tengah terburu-buru untuk menanyakan arahan dari guru pembimbing tugas akhirnya dan Asa yang tidak dia mengerti. Tanpa mempedulikan privasi Asa, orang yang memiliki kamar, dia masuk begitu saja. Tidak hanya Asa, dirinya ikut terkejut. Terlebih saat dia melihat dengan jelas apa yang Asa lakukan.
Kehidupan Asa memang bisa membuat iri, tapi tidak ada yang tahu bagaimana realitanya. Sedikitnya Alan tahu, Asa dididik untuk selalu menjadi sempurna. Penuh dengan tekanan dan tuntutan menjadikan waktu bermain Asa berkurang yang justru di saat lalu Alan mengartikan sebagai sifat sombong yang tidak ingin berteman. Pemikirannya belum dewasa saat memutuskan untuk berpaling mencari teman baru yang mau diajak bermain.
"Apa kau sedang mengalami masalah dengan orientasi seksual?" tanya Asa tanpa mengalihkan perhatian dari kertas yang dia corat-coret.
Alan terkesiap. Lebih terkejut untuk suara Asa, bukan pertanyaannya. "Aku masih normal," jawabnya lirih.
"Tapi kau menatapku seolah aku adalah gadis cantik. Aku merasa seperti itu. Padahal kita satu gender."
Alan melihat sudut bibir Asa yang tertarik ke atas. Menghela napas lega. Ternyata tidak sulit mengajak Asa berbicara, mengingat Alan yang selalu merasa tidak perlu memulai.
"Aku ingin mengajakmu ikut membeli hadiah sepulang sekolah," ujar Alan. Tidak masalah baginya untuk langsung ke inti niatnya.
"Apa ada yang berulang tahun?"
Perlahan, Alan mengalihkan bola matanya untuk melihat wajah Asa. "Untuk White Day besok," jawabnya. "Bukankah itu waktu yang tepat?" Buru-buru dia menambahkan saat merasakan aura penolakan dari Asa. "Maksudku ..., untuk membalas hadiah yang kita terima saat Valentine kemaren. Akan sangat baik jika kita membuat mereka senang dengan memberikan hadiah balasan."
Asa menghentikan gerakan tangan kirinya yang tadi sibuk menulis angka. "Kau tahu? Negara pertama yang merayakan White Day adalah Jepang, sekitar tahun 1970-an. Awal mula diadakan White Day adalah untuk meningkatkan penjualan, walau memang membantu para pria yang ingin membalas kebaikan dari para wanita yang mereka kenal. Namun, tetap saja White Day dibentuk untuk mencari keuntungan. Itu menurutku."
Alan tidak tahu bahwa Asa memiliki pemahaman seperti itu. Selama ini dia beranggapan bahwa isi otak Asa tidak jauh dari apa yang ada dalam neraca keuangan. Bahkan Alan yang dikenal hampir seluruh siswa di sekolah ini saja baru mengetahui White Day kemaren.
"Aku tidak memiliki kekasih atau seseorang yang ingin aku berikan hadiah," lanjut Asa.
"Tidak masalah bila yang ingin kau berikan hadiah bukan kekasihmu," tanggap Alan.
Walau Asa sudah menunjukkan tanda-tanda menolak ajakannya, Alan tetap mencari jalan. Alan tahu betul bila sudah melewati bulan Maret, mereka akan lebih sibuk dari sekarang. Sebagai siswa tingkat akhir, mereka harus dipersiapkan untuk segala ujian demi kelulusan mereka. Itu artinya akan sulit mencari waktu seperti sekarang.
"Misalnya untuk Ibu."
Seketika Asa mengarahkan sorot matanya pada Alan. Alan bisa melihat itu. Kesedihan. Alan tahu, dia salah sudah menyinggung soal sosok ibu pada Asa, tapi dia sangat menginginkan Asa mau menuruti ajakannya.
Tidak bisa dilupakan dalam ingatan Alan, bagaimana raut wajah ibunya Asa saat mendatangi sekolah hanya karena nama Asa tidak terdaftar dalam peserta Lomba Keterampilan Siswa. Wanita yang seumur ibunya itu berjalan dengan dagu yang sedikit dinaikan dan sorot mata tajam. Dia bersyukur, ibunya tidak menakutkan seperti itu.
Apa yang dilalui Asa setelah hari itu, Alan tidak tahu. Dia hanya mampu mengamati Asa yang lebih pendiam dan selalu menghabiskan istirahat siangnya di perpustakaan, seolah membangun tembok tinggi untuk mengejar prestasi. Namun, dia tahu tentang sesuatu yang tersembunyi di balik lengan jaket Asa. Tepatnya sebelah kiri.
"Aku tidak tahu-"
"Dia sangat marah padaku."
Alan menunggu apa lagi yang ingin diucapkan Asa. Namun, melihat sorot mata Asa yang kosong, dia tahu Asa tidak akan melanjutkan sepatah katapun.
Tangan kiri Alan terangkat dan menyentuh pundak kanan Asa. "Karena itu, kau harus memberinya kejutan yang bagus. Tidak harus bagus, sih, asal diberikan di saat yang tepat. Jangan lupa juga untuk mengucapkan maaf." Alan mengambil jeda sejenak menunggu respon Asa. Tampak di matanya sorot mata Asa yang masih kosong, tapi dia tahu Asa menyimak. "Bukankah Ibu mu pernah tinggal di Jepang? Dia pasti paham akan tradisi White Day di sana. White Day memang untuk mencari keuntungan bagi para penjual kue manis, tapi bagi yang membelinya tersimpan makna lebih dalam pada hari itu. Bukan hanya untuk sekedar membalas."
Alan merasa seperti orang tua sesudah mengatakan hal itu. Dia masih menanti Asa untuk memberikan tanggapan. Yang dinanti hanya menghembuskan napas. Alan tidak tahu, Seberat apa masalah Asa dengan ibunya sehingga untuk memberi hadiah saja keraguan jelas terlihat di wajah Asa.
"Kau tidak akan tahu bila tidak mencobanya. Siapa tahu Ibu mu memiliki kenangan indah saat hari itu dan hubungan kalian bisa membaik setelahnya."
"Em."
Alan tersenyum hanya mendapat respon seperti itu. "Tidak perlu dijawab sekarang. Aku akan tunggu jawabannya saat bel pulang nanti." Sedikit memberikan pijatan pada bahu Asa sebelum dirinya melangkah keluar dari perpustakaan. Dia tahu, Asa ingin merenung sendiri.
****
Senyum Alan terus menempel pada bibirnya. Sensasi rasa senang pada hatinya bahkan lebih besar dibandingkan saat Emma menerima pernyataan cintanya. Tidak, dia tidak mengalami penyimpangan orientasi seksual. Dia hanya terlalu lama diam-diaman dengan sahabat masa kecilnya, Asa. Jadi terlalu meluap-luap saat dia mengingat kembali bagaimana Asa menerima ajakannya.
Hanya keliling pusat perbelanjaan dengan Alan yang seolah pemandu wisata. Berbicara ini-itu dan hanya mendapat jawaban ya dan tidak dari Asa. Meski masih sedikit canggung, Alan sangat optimis bahwa dia dan Asa bisa bersahabat lagi. Khayalan itu tak ayal membuat Alan merasa yakin bila dia bisa membantu Asa untuk berhenti melampiaskan tekanan dengan melukai anggota tubuh.
Alan tidak bodoh untuk mencari tahu sendiri tentang apa yang terjadi pada Asa. Self injury adalah istilah asing yang dia temukan saat mencari tahu perihal tersebut. Dia sangat ingin Asa sembuh. Walau sempat terlibat pertikaian tak kasat mata, tapi Alan masih menaruh kepedulian yang besar untuk Asa, sahabat masa kecilnya.
Alan sudah menghubungi Eni, sepupunya yang seorang psikiater, jika nama Asa tidak terlebih dahulu terpampang pada layar handphone.
"Halo," sapa Alan. Untuk beberapa detik tidak ada suara yang menyahut. Hingga ...
"Alan, kurasa aku tidak bisa."
Suara Asa yang terdengar putus asa membuat jantung Alan memompa lebih cepat. Ada yang tidak beres. Dia tahu itu.
"Ibu ..., dia benar-benar marah padaku. Aku sudah berusaha melakukan apa yang dia diperintahkan. Berusaha untuk bisa seperti Kak Rei, tapi Ibu selalu menuntut lebih.
"Tadi dia benar-benar marah karena aku pulang terlambat. Dia menuduh bahwa aku tidak pernah memikirkan masa depanku, bahwa aku hanya bisa bersenang-senang saja. Bukankah itu konyol?"
Alan mendengar Asa menghela napas. Sedikit tercekat. Pasti sahabatnya itu tengah menangis. Namun, Alan menahan diri untuk berbicara, dia ingin mendengar beban Asa.
"Kau tahu apa yang membuatku lebih lelah lagi? Dia membuang hadiah dariku, berkata bahwa apa yang aku beli tidak bisa menyuapnya. Demi Tuhan, Alan. Aku tidak berpikir seperti itu. Aku hanya ingin Ibuku mau menyapaku lagi setelah aku gagal saat menjadi peserta lomba. Tidak untuk peraturannya.
"Dan Ibuku ... dia ... mengetahui apa yang aku lakukan pada tubuhku."
Mata Alan membulat. Jadi ibunya Asa sudah tahu? Sejak kapan dan kenapa-
"Dia berkata bahwa apa yang aku lakukan adalah hal yang sia-sia. Itu tidak akan menarik perhatiannya."
Menarik perhatian? Jika Asa tidak menutupi lukanya dengan memakai jaket bahkan di hari panas, Alan akan setuju dengan ibunya Asa. Namun-
"Dia menyuruhku untuk melakukan hal yang jelas akhirnya."
Alan merasakan firasat buruk. Dia mengerti arah pembicaraan Asa. "Asa dengar, dia tidak bermaksud seperti itu. Demi Tuhan, dia tidak bermaksud menyuruhmu untuk bunuh diri!" teriak Alan frustasi. Dia bahkan sudah menyambar celana panjangnya untuk dipakai.
"Aku akan melakukan apapun yang dia minta, Alan. Aku lelah selalu disangka sebagai anak pembangkang."
"Asa, tolong dengar-"
"Alan, terima kasih karena kau sudah mau berusaha agar kita bisa dekat seperti dulu. Dan maaf kemampuanku hanya sampai sini. Terima kasih, Alan."
"Asa dengar-"
"Tolong, biarkan kali ini aku bebas ...."
"Halo, Asa? Asa? Sial!" Alan menjerit saat nada panjang berdengung di telinganya.
Tanpa mempedulikan dirinya yang hanya memakai kaus tanpa lengan serta celana pendek, Alan keluar rumah dengan sebelumnya menyambar kunci motor kakaknya. Dia ingin Asa tahu bahwa ada dia yang bersedia memberikan harapan bagi Asa agar terbebas dari sakit batin yang selama ini menjerat sahabatnya itu. Berdoa dalam hati semoga dia tidak terlambat.
***
Dalam semua kesakitan yang dia rasa, senyum masih bisa dia berikan untuk segala tekanan yang selama ini dia derita. Setelah ini, tidak akan ada lagi tuntutan yang harus dia penuhi untuk membuat keluarganya bangga. Dia akan bebas dari dunia yang selama ini menindas batinnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top