Untuk Siapa?
Assalamualaikum. Halo. Nitip tulisan ya nanti direvisi lagi.
---------+
Nisrin tercekat. Bukan menyadari kekeliruannya, Aidan justru marah dan ingin mengusirnya?
Entah cara apalagi yang harus dia kerahkan, Aidan seperti kekurangan sifat pengertian untuk memahami perkataan orang lain.
“Apa itu berarti Abang mengakui telah main serong di depanku?” Serak suara Nisrin seolah mengurai ekspresi kemarahan dan kesedihan yang dia rasakan.
Aidan menyadari mungkin sudah agak kelewatan. Itu bukan kesengajaan, dia tidak serius meminta Nisrin pergi, malah dia yang akan menemui kesulitan nantinya. Aidan berbalik, enggn menggubris ocehan Nisrin lebih lama. Terima saja kenyataan ini, Gadis Bebal! Dan bisakah perempuan itu berhenti memasang wajah menjijikkan. Dia sudah sangat muak disalahpahami.
“Saya tidak perlu menjawab. Kepercayaan itu sendiri tidak saya butuhkan. Bukan sesuatu yang mengejutkan, hal semacam ini sudah sering terjadi.”
Apa maksudnya? Mungkinkah Aidan memang telah sering bersama wanita? Jika benar begitu maka yang dikatakan Rahmadi adalah kebohongan. Kebohongan besar bahwa Aidan telah bertaubat dari dosa zina yang telah dia lakukan. Artinya… apa yang dikatakan Abi itu benar?
Percakapan belum tuntas, tetapi Aidan lebih memilih menyingkir. Nisrin hendak mengejar, tetapi Aidan menghilang secepat kilat. Satu-satunya kesempatan terakhir yang Nisrin berikan tidak menyelesaikan apa-apa.
Akan menjadi sulit jika ini terus berlanjut. Setidaknya dia ingin tahu alasan Aidan membencinya.
Nisrin masuk ke kamar mengganti pakaian setelah membsuh wajah di wastafel, dia butuh menjernihkan pikiran. Semua rasa sesak yang dirasakan dalam dadanya perlu diredakan. Hanya satu tempat yang sealu dia datangi.
Nisrin menaiki mobilnya menuju ke sana, berjalan sedikit menurun di dekat kaki bukit, berjajar beberapa batu nisan putih yang tertancap di antara gundukan tanah. Nama Afiqa Au Naya Bilqis binti Ikhsan Badrie tertera di salah satunya.
“Assalamualaikum, Fiq. Kakak datang.”
***
Pagi itu berkumpul para lansia, ibu-bapak, pemuda-pemudi di dekat balai desa. Tak luput Ikhsan juga mengikuti kegiatan senam bersama tersebut.
Karena kesehatannya yang belum stabil, Ikhsan mulai membiasakan hidup sehat dan teratur. Kesehatan itu mahal harganya. Dia menyadari, ujian sakit yang Allah berikan merupakan teguran agar dirinya segera berbenah. Bersyukur di waktu lapang dan sehat adalah dengan menjaganya
Selepas pendinginan, salah seorang pemuda menghampirinya. Anak itu kawan Afiqa, sekaligus teman pria barengsek yang merebut masa depannya. Ikhsan tidak mendendam pada Ardi, hanya saja setiap melihat anak-anak seusia puterinya, hatinya terasa sesak. Lalu, dimulailah pengandaian-pengandaian tidak berguna memenuhi kepalanya.
“Apa kabar, Om.”
“Seperti yang kamu lihat. Alhamdulillah Om baik-baik saja. Kamu juga bagaimana? Sudah dapat kerja?”
“Alhamdulillah, bulan kemarin Ardi sudah mulai buka usaha sendiri, Om.”
“Masyaallah, mudah-mudahan lancar.”
“Terima kasih, Om.” Ikhsan memintanya untuk singgah, tetapi ardi menolak dan segera menuntaskan tujuan awalnya.
“Mmm, sebenarnya ini soal permintaan Om waktu itu.”
“Permintaan? Yang mana?”
“Tentang nomor telepon pria itu.”
Ikhsan terdiam. Saat itu dia memang benar-benar kalap, bahkan dia menghubungi semua teman Afiqa yang diketahuinya untuk mencari pria itu. Namun, saat ini dia justru enggan bila harus berhadapan dengan Aidan kelak.
Ikhsan menerima selembar kertas yang diberikan Ardi dan hanya berucap terima kasih seadanya sebelum berpisah jalan dengan pemuda yang pada awalnya hendak dia jodohkan dengan salah satu puterinya itu.
Diamatinya kertas itu lamat-lamat. Mungkin hari ini akhirnya tiba, dia harus menghadapi Aidan, mempertanyakan kelakuan bejadnya dan meminta pertanggung jawaban yang layak.
***
Nisrin terpaku diam di taman sepulang dari ziarah sekitar siang hari. Angin berderai senarai dengan gugurnya daun-daun kering. Hari itu angin juga menggelontorkan harapan mereka. Harapan untuk tetap berpegang teguh dan berbahagia tanpa adiknya, untuk memulai awal baru bersama bagian dari adiknya.
Untuk siapa sebenarnya dia bertahan?
Nisrin bukan pecinta yang tengah mengejar pujangganya. Dia memilih bersikap terbuka untuk menerima. Karena sebuah janji, sehingga penolakan dan sikap Aidan masih bisa dia toleransi. Nyatanya, semakin dirinya berusaha, hatinya serasa dipecah.
Nisrin menjenguk wajah Muhammad yang terlelap dalam troli. Biasanya dia memang mengajaknya berjalan-jalan ke taman setiap Minggu pagi. Kali ini dia lupa karena terlalu larut terhadap masalahnya sendiri. Dulu, sewaktu melihat Muhammad pertama kali, tak pernah terbesit, dia akan mencintainya sedalam ini, bahkan menjadikannya bagian dari dirinya sendiri.
“Apapun yang terjadi, Umma akan selalu menjagamu,” tekad Nisrin tak akan pernah surut. Tidak berubah sejak Rahmadi datang padanya secara tiba-tiba. Mengeluarkan ultimatum hendak memisahkan mereka.
Saat itu, keluarga Nisrin masih berkabung atas kematian adiknya. Tak tanggung-tanggung Rahmadi menunjukkan kekuatan dan kekekuasaan. Direktur rumah sakit tempatnya bekerja yang dijadikannya pion untuk menemui Nisrin. Dari sana kemudian mereka mengetahui nama Aidan.
Penolakan Nisrin tak didengar. Setelahnya Rahmadi datang langsung ke rumahnya. Sungguh ironis, dulu ketika masih muda ayahnya pernah berseteru dengan Rahmadi. Penolakan keluarga Nisrin bak melemparkan kotoran ke wajahnya. Rahmadi muntab dan mengutuki mereka. Sengaja dia memancing keributan untuk mempermalukan keluarganya.
“Jangan main-main denganku! Aku bersumpah akan kuhancurkan kalian!”
Sumpah itu tidak main-main. Berawal dari pemecatan Nisrin, usaha butik ibunya tutup, kemudian berbagai fitnah datang perlahan tapi pasti mulai mengikis pendapatan mereka. Ayahnya jatuh sakit karena bekerja terlalu keras. Kendati hidup mereka diujung tanduk, ayahnya bersikeras dengan keputusannya.
“Keluargaku tak akan jatuh miskin hanya karena seorang Rahmadi mengusik kehidupanku. Aku masih punya Tuhanku yang Maha Kaya. Mau jungkir balik dia kebakaran jenggot juga tak kubiarkan dia mengambil cucuku.”
Nisrin tahu orang licik seperti Rahmadi bahkan rela memenggal kepala seorang hanya demi mendapatkan keinginnaya. Berbekal nekat, Nisrin berniat menemui Aidan untuk berbicara baik-baik, malah yang ditemuinya Rahmadi yang telah menunggu kedatangannya. Pria itu seolah dapat memprediksi keputusan yang akan Nisrin ambil di kemudian hari.
Melihat kekuasaan itu di depan matanya, tidak salah Nisrin merasa takut bahwa Rahmadi mungkin akan dengan mudahnya mendapatkan anak Aidan, tetapi yang diinginkannya bukan hanya Muhammad semata. Rahmadi menginginkan pengganti dan Nisrin dengan rela hati menggigit umpannya. Nisrin tidak sebodoh yang pria culas itu pikirkan, karena hal itu juga dia memiliki amunisi untuk melawan dan membebaskan keluarganya dari cengkeraman Rahmadi.
“Menikahlah dengan Aidan dan saya berjanji akan melepaskan keluarga kamu.”
Jika dipikirkan ulang, Nisrin tidak menyesali keputusannya. Lantas kemudian kehidupan mereka kembali normal. Hanya satu yang berubah, hidup Nisrin kini berada di telapak tangan Rahmadi.
Rupanya cukup lama dia berada di sana, sampai-sampai Mbak Noni tegopoh-gopoh menghampirinya.
“Maaf, Mbak, saya kelamaan di tamannya.”
“Nyonya, itu, tadi ada telepon dari ibu Nyonya.”
“Ada apa? Kok heboh sekali, Mbak Noni.”
“Katanya ayah Nyonya kena serangan jantung dan sekarang dibawa ke rumah sakit.”
Tanpa mengulur waktu, Nisrin bergegas melakukan mobilnya selepas menyerahkan anaknya kepada Noni.
Setibanya di sana, Ai Nisrin terpaku. Aidan berada di sana, baru saja melenggang pulang tanpa melihatnya. Ketegangan terasa di antara ibu dan pamannya.
Nisrin berharap pikirannya adalah salah, sedetik kemudian dia bak ditampar keras dengan kenyataan menyakitkan.
“Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukan itu?!”
“Belum tentu, Man. Lagipula, Aidan yang sudah memanggil ambulans ke sana.”
“Halah. Pasti cuma akting! Orang kaya tidak punya adab itu lebih baik jauh-jauh, daripada nanti malah mendatangkan bala ke keluarga kita.”
Sirat kebencian dari perkataan pamannya, mengukuhkan presepsi Nisrin terhadap Aidan.
Tiba-tiba saja pikiran sesat merasuki Nisrin, mungkin ini adalah batasnya. Dia tidak mungkin bisa memenuhi wasiat membangun keluarga yang diinginkan seseorang itu bersama Aidan. Sudah berakhir.
Kemarin dia bimbang untuk memutuskan. Tapi nampaknya kali ini dia bisa melihat dengan gamblang. Aidan benar-benar seorang b****gan.
Tekadnya bulat. Saat dia datang ke makam Afiqa untuk meminta maaf,
Dia mungkin bisa menoleransi semua perlakuan kasar terhadap dirinya, namun, Nisrin tidak bisa memaafkan Aidan yang telah menyakiti ayahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top