Pindah(Part2)
Hari itu juga, mereka pindah ke sebuah rumah kecil dengan halaman yang cukup luas. Harga sewanya cukup terjangkau dan pas di kantong Nisrin. Dan yang paling penting, sesuai dengan alasan yang dikatakannya pada Rahmadi, tinggal di lingkungan natural dengan halaman luas sangat baik untuk tumbuh kembang Muhammad sebagai pewaris keluarganya.
Senyum kemenangan Nisrin terkembang. Rahmadi tak mungkin bisa menolak jika sudah berurusan dengan kata pewaris, walaupun harus melalui perdebatan kecil mengenai keberadaan babysitter. Toleransi Rahmadi rupanya telah mencapai batas.
Lain hal dengan Aidan, perasaannya juga senang karena mengira sebentar lagi akan terbebas dari Nisrin. Dia mengira tidak mungkin juga ayahnya mengizinkan Aidan tinggal di tempat yang tak lebih luas dari ruang tamu rumahnya sendiri. Jadi, dia mungkin akan diizinkan sesekali datang mengunjungi Nisrin, selebihnya dia akan mendapat kebebasannya kembali.
Pemikiran itu terpatahkan dengan segera. Pupus sudah harapan Aidan sewaktu mendengar pembicaraan Nisrin yang malah melibatkannya.
Nisrin memberikan smartphonenya yang masih tersambung dengan panggilan Rahmadi. "Papa mau bicara sama Abang."
"Aku?"
Perasaannya sudah tak nyaman sejak ponsel itu berpindah padanya.
"Halo. Aidan kamu ini gimana?! Bukannya sudah Papa katakan untuk tinggal di apartemen itu! Dasar tidak becus! Pokoknya Papa tidak mau tahu, kamu harus tetap di sana. Pastikan Nisrin tetap di tempatnya. Jangan sampai dia kabur dan membawa lari anak kamu, mengerti!" perintah Rahmadi, cukup keras untuk mencambuk telinga Aidan.
Kata-kata pedasnya begitu menohok Aidan, tetapi dia diam saja. Mana berani dirinya menentang titah Rahmadi. Ayahnya bukan pria yang akan mengampuni satu kesalahan, terlebih lagi mengampuni pemberontakan. Satu saja kata yang salah, dia akan dihabisinya tanpa bersisa.
Speechless. Aidan bahkan tidak diizinkan menjawab selain kata, "Baik, Pa."
Napas yang tertahan dia embuskan. Punggung Aidan merosot ketika sambungan telah diputus sepihak. Nisrin mengamati perubahan raut wajah Aidan yang memucat.
Apa yang salah? Nisrin tidak menemukan jawaban, Aidan hanya melenggang keluar setelah mengembalikan ponselnya.
Pria itu memang tidak pernah menunjukkan senyum di hadapan Nisrin. Kerutan di dahi, ekspresi murung, kadang memonyongkan bibirnya sembari memainkan lidah di dalam mulutnya, satu-satunya hal yang baru-baru ini Nisrin ketahui menjadi kebiasaan Aidan di saat merasa kesal.
Aidan menghela napas panjang sesampai di halaman depan rumah yang masih diselimuti dedaunan pohon mangga yang berguguran. Dia akan tinggal di rumah sekecil ini bersama orang yang selalu dia hindari.
Setiap hari bertemu Nisrin, seatap dengan wanita itu. Dapat dipastikan dia tak akan bisa berpikir jernih. Atau malah akan berimbas pada kestabilan mentalnya kelak.
Dia tidak benar-benar mengenal Nisrin, mereka hanya pernah bertatap muka tiga kali, dan itu pun dalam waktu yang singkat. Namun, satu hal yang pasti, Aidan membenci wanita. Dia tidak mungkin bisa hidup bersama siapapun yang jelas-jelas berjenis kelamin wanita.
Ini sangat menyebalkan. Dia tidak pernah menyangka bahwa keberadaan Nisrin seolah menjadi sinyal bahaya yang membuat pria tua itu sungguh ketakutan akan kehilangan pewaris.
Aidan berjalan mondar-mandir, tak memperhatikan beberapa petugas pindahan yang bolak-balik membawa barang, memperhatikan tingkahnya.
Setelah petugas pindahan pergi, Nisrin menyuruh Mbak Noni, babysitter yang diperkerjakan Rahmadi untuk mengajak Muhammad jalan-jalan sambil membeli makan selama dia membersihkan rumah.
Rumah yang baru beberapa waktu lalu masih kosong, sudah dipenuhi berbagai macam perabotan dan kebutuhan rumah tangga, baik yang baru dibelinya maupun yang sudah dimilikinya sejak lama.
Kendati tak menggelar resepsi, karena keberadaan Muhammad yang harus disembunyikan --meski Nisrin juga tak yakin apa yang perlu disembunyikan--Beberapa benda-benda kebutuhan rumah tangga juga didapatnya sebagai hadiah pernikahan dari keluarga yang datang.
Nisrin mengerling ke arah Aidan yang duduk santai di sofa tengah, mengeluarkan gawai dan menelpon seseorang. Hampir satu jam dia dalam posisi itu. Nisrin yang mulai merasa agak kewalahan mencoba meminta bantuannya.
"Abang, bantuin."
"Jangan sok akrab." di luar dugaan, Aidan justru membalas dengan ketus. Tubuh Nisrin menegak, dadanya seperti tercubit. Apa begitu yang selama ini dipikirkan Aidan? Dia hanya wanita SKSD yang mengganggunya? "Dan jangan panggil saya dengan sebutan itu, karena saya tidak suka." Kata-katanya begitu tajam dan dingin.
Sekali itu, Aidan bangkit dari duduk, tatapannya lurus ke depan, tanpa memandangnya seolah Nisrin adalah persona non grata* yang bahkan kehadirannya begitu memuakkan untuk dipandang.
Nisrin bisa memahami jika Aidan marah karena dia mengaitkan namanya pada keputusan egoisnya ini, tetapi wajah itu, ekpresi lain yang menunjukkan kemarahan. Apa dia telah salah langkah yang justru menjauhkannya dari Aidan?
Dia tak tahu seberapa besar rasa benci Aidan untuknya. Yang Nisrin tahu, dia tidak boleh menyerah. Ini barulah awal dari kesekian cobaan yang menanti di hadapannya.
"Jadi, aku harus panggil sampeyan dengan sebutan apa?"
Aidan tertegun sejenak, tidak menyangka Nisrin akan membalas begitu tenang. Perempuan itu memang selalu tak terduga.
"Ya... kamu tidak perlu memanggil saya. Karena yang tidak saya suka, adalah panggilan dari kamu."
"Ini maksudnya, karena yang manggil Nisrin jadi sampeyan enggak suka?" Nisrin memastikan bahwa dia tidak salah memahami intisari ocehan Aidan.
"Benar."
Benar?
"Tapi kalau Nisrin butuh sesuatu sama sampeyan gimana?"
Aidan gelagapan menjawabnya. Nisrin merasa percakapan ini begitu ganjil dan aneh. Terlebih, tidak jelas juga apa yang sebenarnya diinginkan Aidan.
"Ya... ya... Ah, terserahlah. Cerewet sekali jadi perempuan!"
Nisrin beristighfar dalam hati, tanpa sadar mengelus dada, hampir saja dia meledak hanya karena percakapan anak SD yang tidak penting ini.
Aidan mengutuki dirinya. Apa sih yang dia katakan! Berhadapan dengan Nisrin malah membuatnya terlihat seperti idiot, padahal dia sudah berusaha tidak memandangnya, tetapi tetap saja dia jadi gelisah dan tidak dapat mengontrol perkataannya dengan tepat.
"Oke terserah." Nisrin sendiri juga ogah untuk membahas kelanjutannya. Dia hanya harus menghindari sebutan itu sementara 'kan? Dan pada saatnya, mungkin saja Aidan akan lupa. "Jadi gini, sesuai yang sampeyan katakan, karena ini adalah rumah kita berdua, dan rumah tangga adalah manajemen bersama. Kita akan membagi tugas untuk bagian sanitasi dan memasak. Ada beberapa peraturan yang aku siapkan demi kepentingan dan kedamaian rumah, dan kalau sampeyan mau menambahkan, silakan saja."
"Merepotkan!"
"Tapi ini--"
"Tidak perlu. Intinya, saya enggak setuju. Dan pembahasan cukup sampai di sini."
Nisrin benar-benar tidak dapat memahami Aidan lagi.
"Jadi, aku harus bagaimana?"
"Diam saja dan lakukan pekerjaan kamu."
Nisrin menyerah untuk membujuk Aidan. Mungkin dia salah memilih waktu yang tepat. Membicarakan hal normal ini juga membutuhkan ketenangan.
"Jadi, sampeyan mau bantuin atau enggak?"
"Bersih-bersih rumah itu tugas istri. Dan siapa yang berperan sebagai istri di sini?" Aidan menuding Nisrin dengan santainya.
Nisrin meremas sedikit ujung bajunya, kesabarannya sudah hampir mencapai ujung.
Tidak bisakah sekali saja Aidan menanggapi permintaannya dengan benar?
Sabar, sabar. Nisrin jadi heran dengan dirinya, karena begitu mudahnya terpancing amarah. Satu-satunya cara menghadapi Aidan adalah dengan tidak menunjukkan emosi berlebihan yang malah membuat pria itu merasa menang.
"Ndak ada tuh ketentuan pekerjaan rumah hanya harus dilakukan istri. Baginda Rasulullah aja mau bantuin istrinya. Apalagi sampeyan juga akan tinggal di rumah ini kan?"
Nisrin mulai melancarkan Insinuasi-insinuasi halus, untuk mempersuasi Aidan yang terlihat memikirkan perkataannya.
Karena kejadian ini, Nisrin jadi mengingat penjelasan guru ngajinya, mengenai sifat tawaadhu' (rendah hati) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal beliau adalah seorang pimpinan dan qadhi tertinggi kaum muslimin, tetapi ketika di rumah, beliau tanggalkan segala gelar dan jabatan yang melekat pada dirinya.
Berbeda sekali dengan kaum lelaki zaman sekarang . Masih saja ada suami yang merasa diri menjadi rendah jika melakukan perbuatan dan pekerjaan rumah tangga, hanya karena dia adalah orang besar dan berkedudukan, bahkan bos di tempat kerjanya.
Nisrin tekan kemarahannya dalam-dalam, bukan saat yang benar untuk mengedepankan egonya, sementara emosi hanya akan menguras tenaganya dengan sia-sia. Mari berharap Aidan akan berubah pikiran.
Nisrin tidak begitu memperhatikan sewaktu Aidan mengambil tongkat pel dan mulai mengambil ember di sumur belakang. Berani taruhan, Aidan mungkin belum pernah menggunakan pel seumur hidupnya. Mana mungkin juga pria yang terlahir dengan sendok perak di tangan itu pernah menggunakan tenaganya untuk bersih-bersih. Meski dia juga tidak mengerti mengapa Aidan menyimpan motor butut yang selalu dibawanya kemanapun.
Dan keajaiban itu terjadi di depan mata Nisrin. Tanpa sadar dia jadi memperhatikan Aidan yang mengepel asal-asalan. Aidan menginjak kembali bagian yang sudah di pelnya, dan banyak juga bagian yang dilewatkannya.
Pria memang sangat payah dalam mengerjakan pekerjaan rumah, komentar Nisrin. Dia jadi mengingat sang ayah yang bahkan mencuci baju sendiri.
Tidak. Tidak semua laki-laki itu payah dalam urusan rumah. Lihat saja ayahnya yang sering membantu tatkala sedang senggang, malah kadang hasilnya jauh lebih baik.
Nisrin hampir tertawa melihat Aidan yang bingung karena jejak kakinya tertinggal di lantai.
Nisrin sengaja menjahilinya dengan menumpahkan tanah dari pot yang diangkutnya, atau mengibaskan debu yang menempel pada kemoceng dan serbet yang dia gunakan.
Aidan melirik Nisrin yang berpura-pura melakukan pekerjaannya, menangkap basah muslihat Nisrin yang bermaksud mengerjainya.
Aidan membanting tongkat pel ke lantai, hingga Nisrin terlonjak di tempat. "I am done!"
"Loh, mau ke mana? Itu masih belum selesai."
"Lakuin aja sendiri!"
"Kerjaanku banyak loh, masa sampeyan ndak mau bantuin."
"Kamu saja yang merepotkan diri!
"Hmm, payah," gumam Nisrin yang sengaja dia keraskan agar Aidan mendengarnya.
"Apa kamu bilang barusan?"
"Sampeyan payah. Pekerjaan begini aja enggak bisa."
Satu hal lagi yang dia ketahui dari sosok pria di hadapannya, sangat mudah menyulut emosi Aidan. Dia seperti melihat sosok adiknya yang senang merajuk.
Syukurlah Aidan bukan orang yang merasa tidak perlu belajar, pria itu bahkan dengan tekun memperhatikan saat Nisrin mencontohkan cara mengepel yang benar.
Pukul lima sore, Nisrin menyuruh Mbak Noni pulang saja karena rumahnya tidak jauh dari sana.
Pekerjaannya hampir genap, tinggal memasukkan baju-bajunya dan Aidan yang bisa ditunda sampai esok hari. Saat ini, tubuh Nisrin begitu merindukan ranjang. Dijamin besok pagi badannya akan ngilu-ngilu akibat memaksakan diri.
Nisrin menuju kamar. Muhammad telah dia letakkan di boxnya. Sekilas dilihatnya Aidan masih sibuk dengan laptop. Nisrin memutuskan membagi ruang di ranjangnya untuk Aidan.
Tubuhnya sangat lelah, namun matanya enggan terpejam. Nisrin gelisah saat mengingat ini kali pertama mereka berada di tempat yang sama, hanya berdua.
Jantung Nisrin bekerja ekstra mendengar langkah-langkah Aidan yang mendekat, pintu dibuka, Nisrin berbalik memunggungi. Beberapa saat Nisrin menunggu, Aidan justru menutup pintu. Di keheningan malam, Nisrin mendengar suara pintu lain yang ditutup.
Aidan menghindarinya dengan memilih kamar lain.
Sudah pasti begini. Apa yang dia harapkan? Sebuah pernikahan normal bersama ayah dari putranya. Untung saja Nisrin belum begitu mengenal Aidan, sehingga sakit hatinya hanya sebatas karena pengabaian, tidak lebih. Jika saja ada wanita lain yang berniat mendekatinya, mereka haruslah bersiap dengan mental baja.
Nisrin mengangkat selimutnya lebih tinggi hingga menutupi batas lehernya, matanya terpejam, satu bulir jatuh mengalir pipinya.
Demi malam dan kegelapan yang dibawanya, Demi Allah yang menciptakan segala keindahan langit berbintang.
Aidan... dalam diam Nisrin berdoa. Dia berharap esok hari sesuatu akan berubah.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top