My Sweet Home (Part 2)
OK, nanti kurevisi lagi. Happy reading!
__________________________________________________
Hari Mingggu pagi Aidan sudah berada di depan meja makan. Mata Nisrin lekat memerhatikan gerak-gerik Aidan hingga duduk di atas kursi, langka bagi Aidan karena biasanya Minggu dan rumah tidak selaras dengan kebiasaan Aidan selama beberapa bulan Nisrin mengenalnya. Kemarin adalah waktu yang tepat untuk mengakrabkan hubungan mereka. Nisrin merasakan gumpalan bola yang mencegat tenggororkannya untuk bicara. Dia merasa kesal dengan sikap Aidan yang seharusnya tidak dia lakukan. Karena itu moodnya tak lekas membaik.
"Ai Nisrin."
Nisrin mengakkan kepala yang selama beberapa waktu terus tertunduk. Syukurlah Aidan membuka percakapan, karena dia seperti akan merasa sesak jika tidak segera berbicara. "Ada apa? Apa Abang butuh sesuatu?"
"Bagaimana agenda kamu hari ini?
Eh? Nisrin tercekat. Mengapa Aidan bertanya? Apa dia ingin menebus apa yang terjadi kemarin. Setelah menimbang-nimbang Nisrin pun menjawab, "Mungkin tidak terlalu penting. Maksudku, jalan-jalan bersama Muhammad dan mungkin... berkebun."
"Karena sepertinya saya punya banyak waktu hari ini. Saya akan ikut."
Nisrin hampir memekik karena kejut. Mungkin kemarin tidak seburuk yang dia pikirkan. Sekalipun Aidan bertingkah seperti orang sombong, dia mungkin memiliki alasan. Karena sikap anehnya yang tiba-tiba, entah mengapa Nisrin merasa pria itu hendak menghibur dengan caranya atau begitulah yang dia ingin sangka.
Aidan menangkap raut keheranan Ai Nisrin. Hari ini dia tidak terlalu peduli. Yang terpenting adalah mencegah Nisrin pergi keluar sendirian dan sebenarnya dia memang memiliki janji untuk bertemu, tapi kesempatan yang diberikan Aidan juga sangat jarang terjadi. Jika harus memilih, dia punya firasat bahwa pilihannya akan menentukan masa depan mereka. Karena itu, dengan keyakinan, Nisrin pasti memilihnya, kecuali jika dia tidak melihat kepentingan mana yang lebih diunggulkan.
"Saya ada janji siang ini. Tapi kita masih punya banyak waktu sampai siang, kan."
Aidan terdiam. Tak menyangka disisihkan demi pilihan ketiga. Dan sejak kapan Nisrin mengubah kata pengganti aku dengan saya. Dia merasa telah terjadi sesuatu yang salah tanpa disadarinya.
"Abang mau bantu bersihkan halaman? Bagaimana kalau tanam bunga?" lanjut Nisrin antusias. "Mmm sebaiknya kita pergi ke taman yang agak jauh. atau mungkin kebun binatang?"
Melihat cerah warna wajah Nisrin sepertinya dia hanya bisa mengangguk. Dan Aidan menyesali keputusannya untuk tinggal di rumah.
Dalam sepluh menit kemudian mereka sudah memakai pakaian berkebun. Awalnya mereka hendak memilih keluar, Namun Nisrin mengubahnhya ke sore hari dan memilih berpanas ria di halaman rumah.
Mereka mulai dengan membersihkan daun-daun gugur, menumpuknya di sudut yang akan mereka gunakan sebagai pupuk. Aidan merasa bodoh telah mengikuti keinginan Nisrin. mengapa wanita itu menyebut kegiatan mengotori pakaian sebagai aktifitas yang menyenangkan, dia terlihat menikmati dirinya. Mereka bukannya tidak mampu membayar tukang kebun, kadangkala Pak Joko--yang dihadiahi obat gatal oleh Aidan--dia minta untuk mengurusnya di minggu-minggu sibuk. Hanya saja Ai Nirsin merasa berkebun adalah hal yang menyenangkan karena sejak muda dia senang merawat makhluk hidup, baik itu adiknya, kucingnya, atau tamannya. Merawat dan membesarkan adalah berkah dan kesempatan yang tidak diberikan kepada setiap orang. Karena itu juga yang mendasarinya menjadi dokter kandungan. Dia jadi bisa melihat dunia dengan lebih bijak..
Sengatan panas melelehkan kulit, peluh bergilir di balik kerudung hitamnya. Sedangkan Nisrin begitu serius bergelut dengan tanah dan pupuk, Aidan tak kalah pendiam dibandingkan sehari-hari. Nisrin tak bisa menebak suasana hatinya. Aidan sendiri yang meminta, meski wajahnya menyiratkan hal berbeda. Mungkin sedikit percakapan ringan bisa mencairkan suasana. Dia diam-diam mendekati Aidan.
"Cuacanya mulai panas, mungkin sudah sekitar jam sembilan. Kalau Abang haus, nanti aku buat minuman yang seger-seger deh."
Aidan melirik Nisrin yang seolah bersenandung sembari berjongkok mencabuti rumbut di sekitar pohon yang ditanamnya. Dia mengubah panggilannya menjadi aku. Satu fakta yang tak luput dia ketahui, dari ronanya Ai Nisrin tidak semasam kemarin. Apa dia sudah melakukan hal yang tepat? Sepertinya benar.
Amboi. Dia sama sekali tidak mengerti hati wanita.
"Boleh," jawabnya singkat.
"Tunggu, kalau bibit yang ini pupuknya jangan terlalu banyak."
Nisrin selalu mampu menyambung percakapan yang dia putus, mereka beralih topik dengan mengajari Aidan cara menanam pohon yang benar, dan tampaknya tidak akan selesai dalam waktu dekat. Itu pun jika tidak diganggu pembantu yang berlari ke arah mereka membawa handphone Nisrin yang berdering. Nisrin melepas sarung tangan dan mengangkat telepon yang ditunggunya sejak beberapa hari lalu.
Aidan ikut bangkit dari posisinya, tahu siapa yang diteleponnya, karena hal itulah yang sebenarnya dia rencanakan. Dan sebentar lagi kegundahannya akan menghilang, dan Ai Nisrin akan kembali ke dirinya yang sebelumnya. Harusnya berakhir seperti itu.
Sesaat Nisrin selesai dengan urusannya, Aidan berpura-pura menggali tanah yang sudah digali, dia meringis jijik pada serangga-serangga yang bermunculan dari dalam lubang. Mungkin lain kali dia harus menawarkan jalan-jalan keluar alih-alih berkubang dengan humus.
Ai Nisrin tampak bersemangat, muncul di samping Aidan tanpa disadarinya, dalam pandangannya bahkan cacing yang menari-nari di tanah sekarang terlihat menggemaskan. Dia menoleh ke arah Aidan yang masih--berpura-pura--serius dengan apa yang dilakukannya, terdiam berpikir dan teralihkan oleh hal lain. tampaknya dia tidak akan bercerita.
"Wah ada cacing." Ai Nisrin mencoba mengambil cacing licin yang masih menggeliat di atas tanah tanpa rasa jijik. Cacing itu jatuh ke tangan Aidan yang sedang menggali dan secara reflek dia harus menyentuh tangan Aidan untuk menyingkirkannya. Rasa panas menyentuh kulit yang meski sebentar itu menjadi petaka tidak terencana.
Nisrin bersumpah itu hanya sekelebat tapi Aidan bereaksi seolah terkena sengatan listrik.
Suara gedebuk jatuh pria itu terdengar keras. Posisinya yang semula jongkok menjadi terjengkang, darah seolah surut dari wajahnya, dia bisa melihat dadanya naik turun dengan cepat dan tangannya yang gemetar.
Nisrin tidak yakin bagaimana harus merespon karena semakin dia mendekat, Aidan mundur secara membabi-buta, sampai dia khawatir rasa sakit di tulang ekornya semakin parah.
"Abang, ndak apa-apa? Dimana yang sakit? Ayo kita obati dulu."
Aidan bisa tahu bahwa reaksi berlebihan yang ditujukannya membuat Ai Nisrin salah paham. Tetapi, sekarang yang terpenting adalah menenangkan debaran jantungnya dan keringat yang membanjiri tubuhnya. Dia tidak sadar menghindari menatap Ai Nisrin, bangkit tergesa-gesa, tidak memedulikan rasa sakit di pantatnya, mempercepat langkah menjauh sejauh mungkin dari Ai Nisrin. Bisa dibilang dia berlari meninggalkan Ai Nisrin yang mematung dengan wajah terluka.
***
Aidan menghindarinya seolah dia kuman atau karena saat ini bajunya berbalut lumpur dan kotor jadi dia tidak ingin Ai Nisrin menyentuhnya. Dia yakin bukan karena itu. Biarpun Nisrin kotor, Aidan juga tidak jauh berbeda.
Dia sedikit khawatir dengan Aidan yang berlari seolah ketakutan. Bingung antara menyusulnya atau membiarkannya menenangkan diri. Cemas akan rasa sakit yang dirasakannya.
Satu-satunya hal yang dapat disimpulkan Nisrin Aidan mungkin mengalami serangan panik. Dia menduga Aidan punya fobia serangga atau sesuatu?
Namun dia tidak bisa hanya diam di sana tanpa melakukan apapun. Setidaknya dia ingin memberikan dorongan spiritual untuk membuatnya lebih tenang.
Dia tahu sejak awal semua ini adalah kesalahan. Dia tidak seharusnya mengajak Aidan berkebun dan menuruti keegosiannya, hingga kejadian seperti ini tidak akan terjadi,
Nisrin hendak melihat keadaan Aidan sebelum memutuskan akan berbuat apa atau membiarkan Aidan menanganinya sendiri. Jadi dia kembali ke rumah, mencari-cari keberadaannya selama beberapa waktu dan tidak menemukannya di manapun. Sepertinya Aidan sudah keluar melalui jalan belakang karena mustahil mereka tidak berpapasan. Nisrin menghempaskan dirinya ke kursi meja makan, tempat mereka biasa makan bersama. Mengembus napas panjang, lebih lelah dari yang seharusnya.
"Aku harap Abang baik-baik saja."
***
Dia pasti sudah gila karena berkendara dalam keadaan gemetar. Saat ini dia hanya ingin pergi sejauh mungkin hingga Ai Nisrin tidak tampak dalam pandangannya. Sekelebat waktu yang singkat itu membuatnya berpikir ulang. Menjadi sandaran seorang sangat berlebihan dan dia terlihat bodoh karena sempat memikirkannya.
Sekarang ini rasanya dia ingin menjedotkan kepalanya ke tembok untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang berkecamuk. Lebih-lebih menghilangkan gambaran kekecewaan yang terpancar dari mata Ai Nisrin.
Dia sudah lebih tenang setelah menepi ke Masjid tempat Firman biasanya nongkrong. Dia tahu tidak akan menemukan Firman, pria itu sempat berpamitan akan pulang kampung karena istrinya yang hendak melahirkan. Dia hanya ingin menenangkan diri, setelah waktu itu dia memutuskan mencoba menemukan sandaran.
Aidan masuk setelah berwudhu', hanya diam mengamati interior Masjid, ada beberapa orang yang melaksanakan entah shalat apa yang dilakukan sebelum dzuhur datang, lalu duduk di dekat mimbar tanpa melakukan apapun. Hatinya diliputi perasaan tenang hanya dengan duduk diam, lari dari kebisingan di luar.
Dia mungkin akan lebih lama berada di sana seandainya dering ponsel yang lupa dimatikannya tidak menjadi penyebab gangguan. Gangguan itu berwujud ayahnya yang tiba-tiba datang tanpa diundang.
Tujan motor Aidan berbalik ke arah penthouse yang gagal mereka tempati di awal pernikahan. Dia tidak berharap melihat ayahnya, meski melihat ayahnya saat ini terasa bagus sebagai rehat atau pengalihan sementara.
"Baju macam apa itu. Tidak sopan!" adalah kalimat pertama yang Rahamadi katakan sejak beberapa bulan mereka tidak bertatap muka.
Aidan merutuki kebodohannya, dia hampir lupa dengan perangai Rahmadi yang freak soal kerapihan. "Aku terburu-buru."
"Alasan! Yah terserahlah." Tidak terduga. Rahmadi melepaskannya dengan mudah.
"Bagaimana kabar Papa?"
Rahmadi tersentak seolah Aidan menanyakan pertanyaan ganjil. "Tentu saja baik, apa kamu tidak bisa lihat."
Mendapat respon keras Rahmadi justru membuat pikiran Aidan menjadi jernih dan perasaannya, anehnya, sangat tenang. Dia menjadi sangat sabar berhadapan dengan Rahmadi yang meledak-ledak dan penuh akan dirinya, mengingat "ayahnya" itu bahkan tidak bertanya balik mengenai kabar mereka.
"Seperti yang terlihat. Aku juga baik, begitu juga Nisrin dan bayinya. Apa Papa tidak mau berkunjung ke rumah? Setidaknya minum kopi."
"Tidak perlu. Mana bisa Papa duduk di gubuk kecil mirip kandang itu. Langsung saja ke intinya. Mama kamu menyelenggarakan pesta untuk mengumumkan pernikahan kamu sekaligus ulang tahun pernikahan kami. Acaranya minggu depan. Jadi pastikan kamu datang bersama wanita jalang itu." Rahmadi melempar undangan tebal ke atas meja. "Kamu boleh pergi."
Begitu saja. Aidan cukup sabar untuk melangkah keluar seorang diri, jika tidak, dia mungkin akan meledak dan menyebabkan kegaduhan atas perkataan tidak mengenakkan Rahmadi, yang mana resikonya jelas tidak akan ringan.
Dia mungkin bukan anak Rahmadi, dia selalu berpikir begitu, berharap begitu. Memangnya orangtua mana yang berbicara kepada anak kandungnya dengan nada merendahkan dan bossy. Mungkin di mata Rahmadi dia sama rendahnya seperti para bawahan yang dikenalnya. Aidan yakin, selamanya mereka tidak akan memiliki percakapan yang layak, karena Rahmadi menganggapnya tidak setara. Bahkan dia ragu Rahamdi berbicara seperti itu pada koleganya.
Aidan nyaris meremasnya alih-alih dia membanting undangan itu ke meja food court di halaman hotel. Dia duduk dan diam, lama menatap tajam undangan berwarna gold tebal yang bergeming di atas meja, berharap dengan tatapannya kertas itu akan terbakar atau menghilang. Tapi kertas busuk itu masih di situ, balas mencemooh kegundahannya.
Pertama-tama dia harus pulang, menghadapi Nisrin yang tengah dihindarinya. Kedua, mereka harus menghadapi perang di Minggu indah pekan depan, dia sama enggannya dengan koala--karena tidur jauh lebih berfaedah daripada menghadapi nenek sihir dan raja iblis di kediaman Bramawijaya.
Tidak bisa dihindari juga. Toh, dia pasti akan pulang ke rumah. Sejauh apapun Aidan pergi, dia akan kembali, itulah yang dirasakannnya belakangan ini. Mungkin saja dia termasuk orang yang serakah karena menginginkan kemanaan dan kenyamanan yang belum pernah dia rasakan. selama 25 tahun hidupnya, dalam naungan sebuah rumah yang hangat dan tenang.
Dia harus menghadapi Ai Nisrin karena Ai Nisrin adalah wajah dari rumah itu sendiri.
Aidan terus menyangkal sepanjang perjalanan pulang. Dia tahu wanita itu menungguinya di teras depan hingga mega marah cakrawala mulai membentang, dan dia masuk ke dalam seolah tak pernah ada di depan rumah. Nisrin pasti mencemaskannya.
Aidan di ambang pintu, ragu-ragu. tapi wanita itu memaksanya menghadapi pintu yang terbuka tanpa aba-aba.
"Abang sudah pulang." Nisrin menatap khawatir. Dia sengaja memberinya ruang untuk masuk.
"Abang sudah tidak apa-apa?"
Dia masih tidak terbiasa dengan pertanyaan beruntun Nisrin dan memilih mengangguk tanpa sepatah kata. Nisrin melepaskannya selepas memastikan kejujuran Aidan.
Mereka bertemu di ruang makan setelahnya. Wajah khawatir yang terpasang di muka Nisrin telah berganti keriangan yang ditahannya sejak tadi.
Begini lebih baik. Melupakannya seolah tidak terjadi apa-apa. Ai Nisrin sangat memahami dia sedang tidak ingin membahas ketakutannya, Aidan terlihat lemah dan merasa malu karena memperlihatkannya di depan seorang wanita yang sangat ingin dia sembunyikan.
"Sebenernya Nur bilang sudah menemukan pinjaman, dan alhamdulillah semuanya sudah teratasi."
"Saya ikut senang," ujar Aidan tulus.
"Karena itu aku gak sengaja masak banyak. Syukurnya Abang sudah pulang."
"Ya," sahut Aidan singkat.
Ai Nisrin kemudian menceritakan tentang bermacam hal lain dan seperti biasa Aidan hanya menanggapi seperlunya.
Malam itu dihabiskan dengan makan malam khidmat tanpa percakapan panjang. Aidan memerhatikan rona di wajah Nisrin yang membaik, wanita itu memberikan senyum yang jarang dia tampilkan. Senyum yang merenggut napasnya sesaat. dan Aidan menikmati sensasi nyeri yang asing itu. Sudah seharusnya seperti ini. Ai Nisrin kembali menjadi dirinya yang bersemangat. Dia suka melihatnya.
Senang rasanya bisa kembali ke rumah.
Sambung lagi...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top