My Sweet Home (Part 1)
Malu sekali rasanya. Dia tidak menduga bahwa Aidan akan pulang lebih awal. Dia tidak awas dengan kehadirannya sampai dia melihat kedua iris mata hitam itu mengintipnya dari pintu yang terbuka.
Kedatangan Nur sama sekali tidak terencana, dia bahkan tidak tahu bagaimana istri sepupunya yang berasal dari Situbondo itu bisa mengetahui alamat rumahnya, terlebih wanita itu meminta bantuan yang sulit untuk dipenuhi. Suaminya yang tinggal bersama kakaknya yang berbeda ibu mengusir mereka setelah perebutan hak warisan selepas kematian ayahnya, terlebih orang yang selama ini membantu mereka justru berkhianat berpihak pada sang Kakak. Nur dan suaminya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup karena harus melunasi hutang besar yang sudah jatuh tempo.
Kalau saja hanya sebagian uang mungkin Nisrin mampu, tetapi dia juga bukan orang berlebih. Keluarganya juga bukan termasuk kalangan berada.
"Apa tidak bisa kalau minta tolong suamimu, Mbak?"
Nisrin tidak yakin Aidan mau terlibat dengan kesulitan orang lain, terlebih yang berurusan dengan keluarga Nisrin.
"Aku denger katanya kalian akur. Aku minta tolong sekali saja, Mbak."
Bahkan jika Nur bersimpuh di kakinya saat ini, sepertinya tidak mungkin meminta bantuan Aidan. Semua pengeluaran Aidan selalu tercatat rapi dan diatur secara ketat. Jika sampai terdengar Rahmadi, mungkin hanya akan membuat mereka celaka. Rahmadi yang sangat licik kemungkinan besar akan memanfaatkan kelengahannya untuk menyerang keluarga Nisrin. Tidak boleh. Meminta bantuan Aidan adalah pantangan yang tidak bisa dilanggar.
"Tenang saja, Nur. Mbak akan cari solusi. Kamu teruslah berdoa. Fauzan juga sekarang sedang berjuang, kan? Sabar dan tunggulah, percaya saja di balik kesulitan pasti ada kemudahan."
Nur sempat ragu-ragu barubkemuadian mengangguk patuh, setelah menangis dan tidur seharian, Nur berizin pulang keesokan harinya. Dan sudah tiga hari berlalu.
Nisrin memang mengatakan akan mencari, tapi kemana dia harus pergi. Kenalannya tidaklah banyak, karena sejak dulu Nisrin orang yang tertutup, kebanyakan dokter yang ditemuinya di seminar atau perkuliahan. Jika dia tiba-tiba meminta bantuan pada orang yang sudah lama tidak berhubungan, pasti rasanya canggung, Mungkin dia harus memulainya dari teman terdekatnya.
Sudah semenit yang lalu tidak ada pergerakan dari Ai Nisrin. Hanya helaan napas yang tanpa sadar dia keluarkan sembari memegang roti panggang yang digigitnya setengah. Wanita itu juga pasti tidak menyadari kehadiran Aidan di depannya.
"Sepupu kamu tidak menginap lebih lama?"
Nisrin tersentak dari lamunannya. "E-ndak."
Aidan sudah duduk di hadapannya tapi dia sama sekali tidak menyadari, dan lagi dia berbicara padanya sejak seminggu terakhir kali. Nisrin memang sudah memberitahu secara singkat kemarin bahwa Nur adalah sepupunya dan sedang ada masalah, tetapi Aidan sungguh perhatian dengan menanyakannya. Sikapnya pun mulai membaik dibanding awal pernikahan.
"Dia bilang mau ada di sisi suaminya," tambah Nisrin. Dia bingung hendak beralasan seperti apa, semoga saja Aidan tidak mempertanyakan lebih lanjut. Dia tidak bisa mengutarakan permasalahannya pun meminta bantuan Aidan, karena itu lebih baik Aidan tidak mengetahuinya.
"Begitu."
Hanya itu. Kekhawatiran yang bodoh. Bahkan selama tiga hari ini Aidan tidak menanyakan masalah Nur. Dia justru membuat suasana menjadi canggung.
"Ehem. hari ini aku mau belanja kebutuhan yang habis. Mungkin Abang mau titip sesuatu?" ujar Nisrin mencoba menyambung pembicaraan. Mereka jarang sekali punya waktu berbincang. Pria itu juga tidak akan membalas jika bukan yang membuka pembicaraan lebih dulu.
Usaha keras mencari jalan keluar dari situasi canggung yang dibuatnya hanya menghasilkan pertanyaan yang tampak konyol. dia takut mendapat respon negatif dari Aidan karena kesan berbelanja bersama mereka tidak sesuai perkiraannya.
Dia sedikit ragu karena Aidan terlihat berpikir dalam. Mungkinkah Nisrin secara tidak sengaja telah memaksanya dengan pertanyaan yang tidak bisa ditolak?
"Mmm, boleh juga. Saya ingin beli sesuatu jadi saya akan ikut."
"Ya?" Nisrin meyakinkan jawaban Aidan sesuai yang didengarnya.
"Saya ikut belanja."
Respon yang mengejutkan. Nisrin pikir Aidan jadi membenci berbelanja bersamanya karena kejadian shampo waktu itu. Ternyata dia hanya berpikir berlebihan.
"Kalau gitu kita berangkat setelah siap-siap."
Setelah beberapa menit Aidan telah menunggunya di bawah. Nisrin sudah terbiasa memperhatikan pemandangan Aidan dengan tabnya di sofa tengah seperti anak anteng dengan mainannya--khusuk bahkan tidak menyadari sekitarnya. Aidan tidak berganti pakaian dan hanya menutupi pakaiannya dengan jaket santai. Nisrin juga baru mengetahui dari Noni bahwa Aidan bahkan tidak pernah memakai pakaian sesantai itu sebelumnya. Dia punya sejenis penata gaya tersendiri dan pakaian sehari-harinya seharusnya eksklusif. Hanya saja setelah mendarat di rumah sederhana mereka, Aidan bisa memilih pakaiannya secara bebas atau entah malas sesuka hatinya. Tentu saja Rahmadi tidak akan histeris hanya karena hal semacam itu, Aidan tampaknya perlu merasa menang sedikit.
Hari ini setelah sekian lama mereka akan menghabiskan waktu bersama. Sejujurnya dia ingin membawa Noni untuk menjaga anaknya, tapi ada sesatu yang terasa tidak benar. Setiap kali ada kesempatan untuk berkumpul, Nisrin merasa harus mencatut orang luar dan menghabiskan waktu khusus hanya dengan keluarga untuk kenangan yang lebih intim. Mereka perlu membiasakan dan mengakrabkan diri mengingat tempramen Aidan yang sangat sulit didekati.
Awalnya semua berjalan seperti biasa. Mereka sampai di tempat, Aidan membantu menggendong Muhammad.
Entah bagaimana Nisrin merasakan perubahan Aidan cukup signifikan. Namun kata yang tepat menggambarkan perilaku Aidan saat ini adalah, "dia menggila". Nisrin masih tercengang melihat Aidan memasukkan entah apa saja ke dalam troli setiap mereka maju tiga langkah dari tempat semula.
"Apa ini perlu?"
"Beli saja sesuka kamu." Nisrin tidak salah mendengar nada bangga dari suaranya.
"Tapi kita gak perlu krim penghilang bulu kaki sebanyak ini."
"Apa?" tanya Aidan terlihat kaget seolah dia tidak bersalah. "Sepertinya saya salah masukkan." Ralat. Dia memang sengaja.
"Terus apa gunanya salep gatal ini?"
"Pak Joko sepertinya perlu."
Nisrin rasanya ingin menepuk jidatnya, sejak kapan Aidan peduli dengan tukang kebun tetangga.
Semakin lama diperhatikan semakin tidak masuk akal.Nisrin akhirnya menyerah menghentikan Aidan memasukkan botol cat rambut ke dalamnya.
"Ya, terserah. Uangnya juga punya Abang."
"Benar sekali. Rupanya kamu tidak lupa."
Hah? Apa maksudnya tadi?
Aidan terus saja memasukkan dan mengeluarkan barang-barang aneh yang dia lempar, dengan tatapan pura-pura tidak tahu, dia juga memborong berkotak-kotak cokelat, makanan ringan dan hal-hal yang melenceng jauh dari daftar belanjaan miliknya. Nisrin curiga Aidan kesurupan jin belanja, tapi dia bahkan tidak memperhatikan apa yang dimasukkannya secara asal seolah alasan mereka berbelanja hanya untuk menghabiskan uang yang akan expired esok hari.
Nisrin semakin tidak mengerti tatkala Aidan mengeluarkan kartu berwarna hitam yang sekilas lihat saja terkesan mahal dan nampaknya dibuat dengan bahan yang mahal, sembari mengayunkannya di depan Nisrin dan berkata dengan gaya angkuhnya.
"Kamu bisa beli apa saja dengan kartu ini."
Kali ini perasaan tidak berdaya lambat-lambat menggerayapi hatinya. Kemarahan Nisrin sudah sampai di ubun-ubun. Setelah mengacaukan acara belanja yang jarang mereka lakukan, pria itu bertingkah bak anak remaja puber yang ingin pamer kekayaan. Dia jadi merasa Aidan sengaja mengejeknya, secara baru beberapa hari yang lalu dia mengetahui kemalangan Nur yang kekurangan uang. Ketidakmampuannya memenuhi bantuan Nur membuatnya sensitif. Walaupun Aidan tidak bermaksud demikian Nisrin merasa sedikit... tersinggung.
Apa maksud dari tindakan Aidan? Dia pikir hanya Rahmadi orang yang paling angkuh di keluarga itu. Dia bukan tidak tahu bahwa sekalipun tidak pernah secara gamblang ditunjukkan, Aidan memiliki sifat angkuh yang biasa dimiliki kalangan atas. Dia tidak akan mempermasalahkannya jika pria itu tidak menggila dan melakukan hal-hal di luar kebiasaannya. atau jangan-jangan ini adalah diri Aidan yang sesungguhnya.
Dan sepanjang perjalanan Ai Nisrin memutuskan untuk diam.
***
Aidan memerhatikan wajah tertekuk Ai Nisrin semakin masam di jalan pulang. Bukankah berbelanja dikatakan bisa memperindah suasana hati para wanita. Dia juga telah memperlihatkan kekayaannya. Sejujurnya dia sedikit bingung. Awalnya dia merasa kesal karena Nisrin tidak meminta bantuannya. Apa dia pikir Aidan hanyalah pria miskin? Dia merasa perlu memberitahu Ai Nisrin tentang kenyataan karena wanita itu hanya terus memendam kebingungannya sendiri dan membuat Aidan tidak nyaman. Dan upaya yang coba dia lakukan justru menampakkan hasil jauh dari kata puas dan lega.
Sebenarnya bagaimana mengutarakan bantuan tanpa membuat tanpa membuat Ai Nisrin tersinggung. Dia tidak tahu caranya, dia juga tidak mengerti mengapa dia peduli padahal selama ini tidak. Semua ini karena Hayran yang menyarankannya, mungkin seharusnya dia tetap tidak peduli saja dan lambat laun Ai Nisrin akan kembali seperti biasa.
Keesokannya pun suasana hati Nisrin tidak kunjung membaik. Wanita itu bahkan tidak ada di meja sarapan. Aidan merasa ini salah. Sesuatu yang tidak tepat dan itu menganggunya.
Aidan tanpa sadar memperhatikan kegiatan Nisrin yang tampak sibuk seharian. Puncaknya dia tak sengaja mendengar pembicaraan Nisrin di telepon.
"Benar, Mbak. Dia kenalannya Mas Fuad?"
"..."
"Mmm. mungkin aku pikir-pikir dulu. Makasih buat Infonya."
"..."
"Assalamu'alaikum."
Setelahnya Nisrin terlihat ragu-ragu. Dari situ dia bisa menebak siapa Fuad yang dimaksud. Meski dia awalnya tidak peduli, Aidan sempat diberitahu bahwa Ai Nisrin pernah memiliki tunangan sebelum pernikahan dadakan mereka memutuskan hubungan keduanya. Yang dia ingat nama pria itu adalah Fuad. Dia tidak tahu mengapa tapi sepertinya dia harus melakukan sesuatu.
***
Sambung lagi....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top