Antipati
Ibunya menghabiskan waktu hingga senja datang, bermain dengan Muhammad sampai anak itu terlelap untuk ketiga kalinya. Selama itu pula tidak ada tanda-tanda Aidan pulang.
Nisrin melihat tudung saji yang bergeser dari keadaan semula selepas siang hari. Isinya tidak berkurang dan makanannya telah menjadi dingin. Dia tidak begitu tahu kesukaan Aidan jadi dia memasakkan seadanya. Rendang, kuah lodeh, sambal hijau, dan sayur-mayur telah dia sediakan, termasuk makanan yang enak, tetapi Aidan tidak menyentuhnya sama sekali.
Aidan datang saat makan malam kemudian. Kali ini Nisrin mencoba memasak masakan lain yang dia tanyakan pada temannya yang pernah menjadi koki di restoran masakan barat, tetapi Aidan mengabaikan makanan di meja, dan tetap berjalan menuju ke kamar tanpa menggubrisnya.
Nisrin melihatnya, khawatir Aidan memilih tidak makan karena masakan itu bukan yang diinginkannya, jadi dia mengejar, berinisiatif menanyakan keinginannya.
"Abang sudah makan?"
Aidan agak terkejut ketika Nisrin mengekorinya menuju koridor kamar. "Saya sudah makan di luar," jawabnya datar.
Di luar dugaan Aidan memilih makan di luar dibandingkan makanan yang tersedia. Nisrin sedikit cemberut. Sebenarnya apa yang dia harapkan. Tentu saja masakan sederhana yang da sediakan tak akan dapat memuaskan lidah ningrat pria itu.
"Dan...," Aidan melirik ke arah meja tempat makanan Nisrin terhidang. "kamu tidak perlu memasak untuk saya."
Pernyataan itu membuat Nisrin tertegun. Apa masalahnya? Toh, dia hanya melakukan tugasnya sebagai seorang istri.
"Ah, satu lagi," Aidan berbalik saat Nisrin terlihat mengernyitkan dahi. "Sudah berapa kali saya bilang, saya tidak suka kamu panggil."
Lagi-lagi serangan kaktus berduri. Nisrin merasakan dorongan untuk memprotes sedikit hal yang menurutnya tidak benar untuk dilakukan. Sewaktu Aidan hendak berbalik, dia mencegahnya pergi.
"Anu!"
"Apa?" sahut Aidan malas.
"Meski Sampeyan bilang begitu, saya akan tetap memasak. Suka atau tidak."
Aidan menampakkan wajah bosan saat Nisrin mencoba serius dengan keputusannya.
"Kalau begitu, kamu cuma membuang-buang sumberdaya. Apa kamu orang yang boros dan suka membuang-buang makanan?"
"Tapi kan sampeyan belum pernah mencicipi masakan saya, jadi sampeyan tidak berhak untuk melarang. Kecuali... sampeyan mau mencicipinya, mungkin akan saya pertimbangkan." Nisrin memberikan senyum bisnis untuk menegaskan kesan dari kalimatnya yang sejujurnya terdengar lucu.
"Jangan merasa kamu penting."
Nisrin merasa salah mendengar pernyataan Aidan yang semakin kasar. Geesh, dengan seenaknya Aidan mengucapkan hal menyakitkan tanpa berkedip. Dia jadi semakin yakin Aidan tidak punya hati.
"Saya penting," jawab Nisrin tegas. "Saya ratu di rumah ini," ucapan konyol yang berasal dari kedongkolannya.
"Saya enggak sudi jadi raja kamu."
"Siapa bilang Sampeyan rajanya? Muhammad rajanya, karena dia enggak bisa bicara maka diwakilkan ke saya."
Apa kali ini Nisrin tengah mencandainya? Aidan tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Nisrin mengucapkannya dengan wajah serius, dan itu menggelikan baginya.
Aidan mengibaskan tangan. Sudut bibirnya berkedut-kedut berusaha menerbitkan senyum tersembunyi.
Nisrin sedikit kesal dengan perlakuan Aidan yang masih belum mengharapkan keberadaannya. Apa Aidan mempunyai masalah dengannya?
Kalau diingat-ingat, ini adalah percakapan mereka yang ketiga. Dan mereka bahkan tidak sempat memulai percakapan yang sebenarnya. Sampai kapan lingkaran in akan terus berlanjut. Mereka mungkin harus lebih banyak melakukan percakapan di masa mendatang untuk menghilangkan perasaan antipati di antara keduanya.
***
Di bulan pertama pernikahan. Nisrin belum merasa nyaman untuk menampilkan diri tanpa jilbab di depan Aidan. Dia tidak bisa merasa dekat dengan pria itu. Sejak awal dia ditinggalkan di hotel, dia mengerti Aidan memasang benteng yang tinggi hingga dia kesusahan untuk melaluinya. Tapi bukan Nisrin namanya jika rintangan kecil itu menjadi penghambat baginya mencari tahu tentang seseorang.
Sayangnya, bahkan Mbak Noni sang babysitter yang telah cukup lama bekerja dengan keluarga Bramawijaya juga jarang mengerti keinginan tuan mudanya. Nisrin merasa lucu mendengar semua pembantu di sana memanggilnya tuan muda, rasanya ingin mengejek Aidan si tuan muda sampai membuatnya kesal. Jiwa usilnya menjadi kambuh setiap kali berbicara tentang sikap sinis Aidan.
Haruskah Nisrin menanyakannya langsung tentang makanan apa yang disukai pria itu?
Hmmm, rencana yang buruk, Aidan pasti akan mengelak dan berujung dengan mereka bertengkar. Nisrin curiga pria itu membencinya, karena itu dia selalu mencari gara-gara dengannya. Mungkin juga ini karena Aidan belum mengenalnya, sehingga mereka hanya terlibat pembicaraan yang canggung
Nisrin tidak kehabisan akal. Dia meletakkan berbagai macam buah di kulkas, di tempat yang paling terlihat, sehingga Aidan bisa memilihnya sendiri. Dan dengan keyakinan apapun buah yang menghilang dari sana adalah apa yang disukai pria itu.
Hasilnya, buah-buahan itu tidak tersentuh selama seminggu penuh. Syukurnya, Mbak Noni memberitahu alasannya.
"Tuan muda tidak pernah makan buah secara utuh atau digigit, Nyonya. Biasanya selalu dikupas dan dipotong kecil-kecil sekali telan. Terus buahnya bukan yang terlalu berair atau mengotori bibir."
Jadi begitu. Pantas saja Aidan tidak menoleh. Bahkan urusan makan buah pun Aidan punya tata kramanya sendiri. Nisrin merasa semua aturan itu ribet dan tidak efisien. Nisrin menduga Aidan belum pernah memakan banyak variasi buah meski dia orang berada. Apa salahnya menggigit buah yang baru dipetik, atau makan buah berair sampai mulut belepotan, begitulah hidup. Terkekang aturan sampai membatasi diri. Dan dari informasi Noni juga dia tahu bahwa kesukaan Aidan merata pada setiap hal, dalam artian tidak ada yangmenjadi favoritnya.
Nisrin memutuskan untuk menghormati aturan dan tata krama keluarga Aidan.
"Kamu masih saja melakukan hal yang tidak dibutuhkan," Kalimat pertama yang Aidan ucapkan saat Nisrin meletakkan sepiring apel yang dipotong kecil-kecil di hadapannya.
"Buah baik untuk kesehatan."
"Saya tidak tanya."
"Itu alasannya."
"Saya gak minta."
"Anggap aja Nisrin ingin berbuat baik."
"Saya menolak. Saya tidak suka."
Dan Nisrin tidak bisa mencegah Aidan yang beranjak. Lagi-lagi dia gagal. Sungguh sulit mendekati Aidan. Apa pria itu mengira Nisrin meracuninya?
Dan betapa bodohnya Nisrin karena saat dia menyerah mencari tahu, Aidan justru menunjukkannya tanpa dia minta. Kejadiannya tidak sengaja. Nisrin meletakkan selirang pisang di atas meja bersama krim puff yang dia beli seperjalanan pulang. Hari itu bayinya rewel dan menangis di tengah malam. Aidan yang merasa terganggu datang ke kemar bayi hanya untuk menegurnya.
"Bisa gak kamu bikin anak itu diam. Sangat menganggu tahu gak."
"Nisrin tahu Abang terganggu, tapi tolong bersabar, Nisrin juga lagi berusaha buat nenangin bayinya."
Sekembalinya pun Aidan hanya menggerutu menyuruhnya cepat sebab dia tidak bisa berkonsentrasi dengan tugas.
Dia menunggu sampai tangisnya mereda dan bisa tidur dengan nyaman. Keesokan paginya, Nisrin melihat banyak kulit pisang di atas meja dan krim puff yang tersisa setengah. Dia jadi tahu buah kesukaan Aidan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top