Pindah Kos

Mareta baru saja pindah ke tempat ini. Sebuah perumahan sederhana, bukan perumahan elit. Tempat ini akan menjadi tempat yang akan dia tinggali. Entah untuk berapa lama karena tidak ada yang tahu kehidupan masa depan, termasuk dirinya. Yang jelas, pindah kos adalah pilihan yang harus diambil olehnya.

Layaknya orang baru, Mareta pun belum mengenal penduduk di sekitar kediamannya. Dia memang mengalami kesulitan berbaur dengan orang baru. Meski perumahan sederhana, tetapi tembok dan pagar-pagar tinggi seakan membuat jarak 5 langkah terasa 5 kilometer. Jangankan tetangga, teman satu kos pun hanya sekadar tahu nama. Belum pernah dia menyapa.

Gadis bergigi kelinci itu hanya bisa mengembuskan napas kasar. Apa aku bisa menjalani ini ke depannya? Berapa lama aku akan bertahan? Berinteraksi dengan penghuni kos-kosan saja masih nol besar. Batinnya.

Mareta memutuskan pindah dari kampusnya yang pertama ke kampus yang dia pilih sekarang. Semuanya dengan alasan yang kuat. Di kampus yang sekarang, Mareta masuk sebagai dirinya bukan sebagai bagian dari keluarga seorang konglomerat, keluarga Wijaya. Dia ingin belajar mandiri. Di kampus yang lama, Mareta diperlakukan terlalu istimewa. Dia tidak nyaman. Sudah cukup dia hidup dalam pengawasan penuh dari keluarganya. Sehingga tanpa sepengetahuan dari kakak sepupu laki-lakinya yang super protektif dan juga dari sosok seorang om yang selalu berusaha memenuhi semua kebutuhannya tanpa diminta, Mareta pindah. Bukan karena tidak bersyukur. Namun, dia perlu kesempatan untuk membuktikan diri. Hidup dalam kendali keluarga Wijaya yang memiliki pengaruh di mana-mana sangat tidak nyaman.

Suara klakson mobil avanza hitam membuyarkan lamunan Mareta. Kepala seorang wanita berkacamata bening menyembul dari jendela, rambut hitam bergelombangnya tergerai. Wanita yang cantik. Mareta memuji perempuan tersebut dalam hati.

"Mbak Mareta?" tanya wanita tersebut. Dia adalah pengemudi taxi daring.

"Betul, Mbak," jawab Mareta. Tidak lupa gadis itu membalas senyuman sang pengemudi dengan senyuman pula. Jika dilihat dari profil di aplikasi, namanya Nina. Setelah memasukkan beberapa kantong plastik yang berisi pakaian ke jok belakang, keduanya masuk mobil. Mereka melaju keluar perumahan dan masuk dalam keramaian jalan raya kota Malang.

"Nak Reta, terima kasih. Seharusnya tidak perlu repot sampai sesering ini. Satu bulan ini kamu sudah tiga kali mengantar pakaian dan makanan yang sangat banyak." Bunda Yasmin menginterupsi begitu melihat Mareta turun dari mobil dengan bawaan yang sangat banyak. Bunda Yasmin adalah pengasuh Panti Asuhan Bunda Yasmin.

"Tidak apa-apa, Bunda. Lagi pula, yang aku bawa ini bantuan dari teman-teman untuk adik-adik di sini. Apa yang aku lakukan tidak seberapa dibanding mereka." Mareta mencairkan kesungkanan perempuan paruh baya tersebut. Mareta sudah sangat akrab dengan Bunda Yasmin sehingga dia tidak lagi menggunakan panggilan formal.

"Mbak Mareta!" seru salah satu anak asuhan panti, Jojo. Di belakangnya menyusul Sinta dan Ajeng. Mereka tampak antusias menyambut dan memeluk Mareta. "Main ke kamar, yuk. Kita mau dengar cerita dari Mbak lagi." Sinta yang bersuara menawarkan. Mareta pun mengangguk, menuruti keinginan mereka. Bersama mereka menyadarkan Mareta akan keadaannya yang sama, tidak memiliki orang tua kandung.

***

Pagi ini Mareta tidak sempat memasak. Jangankan nasi dan lauk, sekadar membuat susu sereal saja tidak memungkinkan. Batas pengumpulan tugas hari ini memaksanya mengeliminir aktivitas lain, termasuk sarapan. Dia pun berakhir di warung nasi kuning Bu Suyono.

Bu Yono, begitu perempuan yang sudah hampir sepuh itu akrab dipanggil, sedang berbicara dengan seorang waninta yang mengenakan daster dan kain sejenis pashmina yang diselempangkan saja di kepala. Awalnya wanita tersebut mengenakan masker menutupi separuh wajah. Tanpa alasan yang diketahui Mareta, wanita tersebut melepas masker. Dari wajah, umurnya menjelang 40 tahun.

"Loh, Mbak tinggal di mana? Kayaknya baru lihat," tanyanya dengan antusias penuh keheranan.

"Blok T, Bu," jawab Mareta singkat dengan senyuman kilat agak kaku sebagai formalitas.

"Blok T? Nomor berapa? Saya di blok U," tanyanya lagi.

"Tiga belas, Bu."

"Berarti dekat sama saya, Mbak. Rumah kita berhadapan. Mbak nge-kos?" Mareta hanya mengangguk. "Baru pindah juga, kan? Pantas baru lihat."

Wanita tersebut mengambil kesimpulan dengan menebak meski tebakannya tepat. Ketidaknyamanan mulai merayapi Mareta. Dia hanya bisa mengelus-elus punggung tangan kanannya dengan telunjuk tangan kiri.

"Saya tinggal persis di depan rumah yang Mbak tempati. Itu loh, Mbak, yang biasa marah-marah, yang sering rame," ungkapnya sambil tersenyum antusias. "Maaf kalau ribut. Suara saya memang keras."

"Saya malah enggak dengar, Bu." Mareta memang tidak bisa mendengar suara yang di maksud oleh wanita tersebut karena kamarnya berada di bagian belakang.

"Mbak sudah berkeluarga?" Salah satu FAQ (Frequent Ask Question) atau pertanyaan yang sering ditanyakan kepada Mareta, yang rasanya tidak sah jika tidak terdengar dari siapa pun yang baru ditemuinya, baik karena lama tidak bertemu atau baru kenal. Mareta hanya bisa berdecak dalam hati. Mareta merasa dirinya masih sangat muda untuk diserang dengan kalimat-kalimat itu. Dia masih 20 tahun. Masih banyak hal yang bisa dikerjakannya selain menikah.

Mareta hanya melempar senyum singkat, tidak mengangguk, tidak pula menggeleng. Dia tidak berniat memperpanjang perbincangan yang sudah mulai mengusik.

"Bagus, Mbak kalau belum menikah." Mareta terpaku. Wanita di hadapannya menyimpulkan dengan mudah. "Mending kerja dulu. Nggolek duit sing akeh disek1). Kalau sudah waktunya, nanti pasti ketemu. Tidak usah pusing-pusing. Lagian, lek kerjo ora wedi2) meski nanti cerai. Kamu bakal tetap punya penghasilan. Tidak bergantung pada suami. Jangan kayak saya. Saya sekarang menyesal. Saya sudah bercerai, tapi tidak ada penghasilan lagi. Mau cari pekerjaan usia sudah tidak diterima di tempat kerja mana pun. Ijazah akhirnya nggak terpakai sama sekali.

Sekarang saya hanya bisa usaha kecil-kecilan jualan kue. Dititip dari warung ke warung meski yang laku tidak seberapa. Mantan suami saya selingkuh sama germo." Mareta terdiam mendengar cerita panjang wanita tersebut yang blak-blakan. Mareta bingung. Di satu sisi dia terenyuh dan berempati terhadap yang dialami. Di sisi lain, Mareta tidak sepenuhnya sepakat.

Mareta hanya bisa berasumi, kemungkinan wanita tersebut terlanjur kecewa atas jalan hidupnya. Bisa jadi kalimat demi kalimat yang keluar adalah luapan emosinya yang terpendam. Bagaimana pun, pernikahan bukan untuk bercerai.

"Kalau ada laki-laki yang datang, jangan lupa minta petunjuk sama Gusti Allah, Mbak," sahut Bu Yono memberi saran. Mareta mengangguk, mengiakan.

Mareta hendak beranjak setelah memberi lembaran sepuluh ribu ke bu Yono. Namun langkahnya terhenti saat wanita tadi menyahut kembali.

"Nama Mbak siapa, toh?"

"Panggil saja Mareta, Bu."

"Saya Diana. Saya punya putri. Mbak Mareta mau ngajari anak saya? Kayak les privat gitu."

Mareta berpikir sejenak. "Sebenarnya saya senang sekali, Bu, tetapi jadwal saya tidak menentu karena kerja. Berubah-ubah," jelas Mareta berselimut ragu.

"Baik, Mbak. Boleh minta nomor HP-nya?" Setelah wanita yang bernama Diana tersebut menyalin nomor ponsel Mareta, Mareta segera beranjak tanpa ada niatan melanjutkan pembicaraan.

µµµ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top