8
"Kamu siapa? Berani-beraninya mau mengusir kami! Rumah ini sudah saya kontrak untuk tiga tahun ke depan, yang punya rumah ini Bu Liana, kami sudah buat perjanjian sewa selama tiga tahun, sana ke Bu Liana, jangan seenaknya main usir!"
Seorang wanita bertubuh gempal menolak ke luar saat Agus dan Ranti ingin menempati rumah peninggalan orang tua Ranti dan Liana.
"Saya adiknya Liana, saya berhak atas rumah ini juga."
"Oh kamu, kan rumah ini untuk membiayai uang kuliah kamu begitu Bu Liana pernah bercerita, ya sudah sana datangi kakak kamu, jangan main usir seenaknya, aku punya surat perjanjian sewanya."
Dan Ranti tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia dan Agus segera pergi dari rumah itu, saat akan menuju motor milik Agus tiba-tiba saja Ranti merasa pusing dan mual.
"Kamu kenapa?" Agus terlihat khawatir.
"Mual dan kepala rasanya berputar-putar."
Agus segera memapah Ranti ke sebuah warung tak jauh dari rumah peninggalan orang tua Ranti. Mereka duduk di sana sambil memesan segelas teh hangat.
"Kita ke dokter saja, kamu terlihat pucat."
Ranti hanya menggeleng sambil meneguk teh hangat yang ada di depannya.
"Ranti! Kamu kenapa, kok pucat? Dan ini kan Mas Agus ya? Suaminya Mbak Liana, mana Mbak Liananya? Kok kalian berdua?"
Pemilik warung langsung menyapa mereka.
"Kita pergi saja, nggak aman di sini."
Ranti segera membayar segelas teh hangat yang baru seteguk ia minum, tanpa menghiraukan sapaan pemilik warung tadi dia segera pergi diiringi langkah Agus di belakangnya.
"Kenapa sih? Tehmu belum habis."
"Males nanggepin mulut orang itu, tanya-tanya lagi."
"Gitu aja sewot kamu, masalahnya kamu terlihat lelah."
Dan benar dugaan Agus tiba-tiba saja Ranti telah lemas dan hampir saja jatuh jika Agus tidak menangkap tubuhnya.
Terdengar langkah di belakang Agus dan Agus menoleh, ternyata pemilik warung.
"Itu ada klinik kecil, jarak dua rumah, Mas Agus, bawa saja ke sana kalau Ranti memang sakit."
Agus hanya mengangguk dan memapah Ranti yang meski masih bisa berjalan tapi seolah tak bertenaga.
.
.
.
"Makasih Mas, aku sudah dicarikan tempat tinggal sementara, aku nggak mau tinggal di rumah itu lagi, sudah aku tawarkan lewat perantara, siapa yang mau tinggal di rumah yang ada jejak-jejak pengkhianatan mereka."
Bram hanya mengangguk sambil melanjutkan memasukkan barang ke dalam kamar belakang.
"Maaf kalo nggak besar, ini juga punya temanku yang lagi butuh uang, makanya dia langsung mau saat aku tawar, lalu anakmu sekarang ada di mana? Secepatnya pindah ke sini, aku juga punya pembantu yang bisa kamu pinjam sementara."
"Bi Asih? Nggak lah Mas, aku sungkan sama Bu De, Mas sudah membantu terlalu banyak, aku sungkan sama Bu De Narsih."
"Ibu sudah tahu masalahmu, kaget banget, malah ibu pinginnya kamu tinggal di rumah."
"Nggak Mas matur suwun, anakku masih ada di rumah ibu mertua, ibu mertua dan adik iparku kaget saat aku ceritakan semua masalahku, nggak nyangka aja Mas Agus kayak gitu, adiknya emosi waktu aku ceritain, dia malah pinginnya mukuli Mas Agus kalo misal pulang tapi aku larang, karena ini masalahku, ibu mertuaku sampai nangis, beliau minta maaf, nggak nyangka aja punya anak kayak Mas Agus."
Bram akhirnya duduk setelah semua barang bawaan Liana selesai ia masukkan ke dalam rumah dan travel bag besar ke dalam kamar. Ia melihat di rumah itu hanya ada empat kursi di ruang tamu plus meja, belum ada apa-apa selain itu.
"Besok aku belikan kursi dan meja makan, lalu perlengkapan dapur kamu."
"Nggak Maaas, nggak! Aku nggak mau jadi beban siapapun, aku nggak enak juga sama Bu De atau pacar kamu."
"Aku nggak punya pacar, Ibu malah dari tadi telepon terus, aku disuruh jangan jauh-jauh dari kamu malah."
"Pokoknya aku nggak mau ngerepotin siapapun, karena semua bisa aku kerjakan sendiri."
"Nggak mau tahu, perintah ibu lebih aku dengarkan."
.
.
.
Ranti hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tak percaya jika ia hamil, lalu ini anak Siapa? Karena selama ini ia berhubungan dengan dua laki-laki. Gandi dan Agus. Sedang Agus terlihat sangat senang saat mendengar Ranti hamil. Ia peluk Ranti tapi segera ditepis oleh Ranti. Ia tak menginginkan bayi di dalam kandungannya.
"Kita mau ke mana?"
"Ya ke kosan lagi, mau ke mana?"
Agus melihat wajah Ranti yang semakin keruh.
"Aku mau ke apartemen dulu, males di kosan."
"Jangan Ranti, kamu sedang hamil anak kita, nanti dia menyakiti kamu lagi."
Ranti melihat dengan tatapan marah pada Agus.
"Aku ternyata nggak bisa hidup kere terus-terusan, panas, sesak di kosan."
"Kan tapi aku bisa muasin kamu."
"Hidup bukan cuman perkara itu ternyata."
Dan Ranti terlihat menelepon seseorang lalu meninggalkan Agus begitu saja di klinik yang masih bingung karena ia harus membayar biaya pemeriksaan tadi dan saat ke luar dari klinik Agus sudah tidak melihat Ranti.
"Ke mana dia? Mana sedang hamil anakku lagi." Agus terlihat bingung mencari-cari Ranti.
.
.
.
"Kamu harusnya tinggal di rumahku Liana, tak akan aku biarkan Agus menginjak rumah kami lagi, selama ia masih hidup dengan adikmu tak ada pintu maafku untuk Agus."
Rahma, ibunda Agus terlihat sangat marah, ia juga tak mengira jika anaknya akan main gila dengan adik iparnya sendiri.
"Nggak papa Ibu, biar saya sama anak-anak di sini, Alhamdulillah ada Bi Asih yang tinggal di sini."
"Siapa Bi Asih?"
"Pembantu Bu De saya, untuk sementara tinggal di sini sampai saya menemukan pembantu yang bisa saya percaya."
"Terus terang aku jadi kepikiran kamu terus."
"Saya in shaa Allah baik-baik saja Ibu, ada Allah tempat saya menangis, in shaa Allah saya kuat karena anak-anak."
.
.
.
Saat Ranti masuk ke apartemen Gandi, ia melihat Gandi yang duduk di bar mini dengan hanya menggunakan bathrobe, ia meneguk vodca dari gelas yang ada di tangannya lalu menatap tajam ke arah Ranti.
"Sudah bosan hidup miskin hem? Akhirnya kembali lagi padaku kan? Aku tahu itu, aku tahu kau akan kembali menjadi jalangku, menjadi budakku, buka bajumu, semuanya hingga tak tersisa, lalu merangkak ke arahku, lakukan atau kau akan aku sakiti lagi."
Ranti menuruti semua permintaan Gandi, ia buka seluruh kain yang melekat di tubuhnya lalu merundukkan badannya dan mulai merangkak ke arah Gandi duduk.
Gandi terkekeh pelan, ia melihat dada besar Ranti yang menggantung bergerak-gerak searah gerakan badan Ranti yang semakin dekat dan akhirnya ada di depannya. Gandi meletakkan gelasnya lalu membuka bathrobenya dan dua orang di ruangan itu sama-sama tak menggunakan baju. Gandi menarik dengan kasar rambut Ranti. Ranti hanya mendesis menahan sakit, ia berdiri dan dipaksa membelakangi Gandi, berpegangan pada meja yang ada di bar mini lalu terdengar jeritan Ranti saat tanpa aba-aba Gandi sudah memacu tubuh Ranti dari belakang, rasa perih yang teramat sangat Ranti rasakan karena ia belum siap. Gandi bagai kesetanan, sesekali ia remas dan ia tampar bokong Ranti hingga Ranti berteriak kesakitan dan Gandi kaget saat di paha Ranti terlihat darah segar mengalir. Ia lepaskan penyatuannya dan membalik tubuh Ranti. Ia tatap nanar mata Ranti.
"Mengapa kau tak mengikuti saranku? Mengapa tak kau minum pilmu? Ini bayi siapa yang keguguran?"
Dan Ranti merosot, terjatuh di lantai, pingsan. Gandi menatap Ranti dengan tatapan tajam.
"Wanita tak tahu diuntung, sudah aku beri uang dan segala kemewahan masih mencari laki-laki lain yang hidupnya saja tidak jelas."
Gandi meninggalkan Ranti yang tergelak di lantai, terlihat ia menelepon seseorang dan melihat Ranti lagi sekilas.
"Tidurlah dulu kamu di sana sampai ada yang datang untuk mengurusmu, wanita yang tak pernah puas! Tak tahu berterima kasih!"
🔥🔥🔥
9 Januari 2023 (21.32)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top