Bagian Dua
Budayakan vote dan komen setelah membaca👌
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kinara berlari melewati lorong rumah sakit. Dia benar-benar terkejut setelah mendengar kabar dari Mamanya jika Papanya dirawat di rumah sakit. Kesehatan Papanya semakin memburuk hingga akhirnya membuat Mamanya memutuskan untuk membawa Papanya ke rumah sakit. Kinara menoleh ke kanan, dia mendapati Mamanya yang duduk di kursi depan ruangan dengan wajah pucat. Tangannya terlihat gemetar, dan keningnya terlihat ada keringat.
"Mama." Panggil Kinara cepat. Dia duduk di samping Mamanya.
Arum hanya diam saja. Dia tidak punya tenaga untuk menoleh atau sekadar menjawab panggilan dari anaknya. Matanya terus menatap ubin rumah sakit. Napasnya begitu berat. Dia takut jika terjadi sesuatu dengan suaminya.
Kinara bangkit dari duduknya. Dia berjalan pelan ke pintu rumah sakit. Matanya melihat ke dalam ruangan tempat Papanya dirawat. Di sana dia melihat Papanya yang sedang terbaring lemah di atas bankar rumah sakit. Dokter dan suster melakukan segala upaya agar keadaan Papanya segera membaik. Walaupun tidak terlalu jelas, namun dia tahu jika saat ini Papanya sedang melawan sakit yang dideritanya.
"Selamatkan Papaku, Ya Allah." Gumam Kinara dengan pelan. Dia memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa.
Clek.
Pintu rumah sakit terbuka menampilkan lelaki paruh baya yang memakai jubah putih. Di belakangnya ada seorang perawat yang membawa alat kedokteran yang Kinara tidak tahu namanya. Kinara segera mendekat ke arah dokter itu begitu juga dengan Arum.
"Pak Yanto saat ini sudah mulai stabil tapi tetap butuh dipantau. Saya sarankan sebaiknya Pak Yanto dirawat saja di rumah sakit." Kata Dokter itu memberitahu keadaan Yanto.
"Lakukan saja yang terbaik untuk Papa saya." Jawab Kinara memohon.
"Baik, kalau begitu kami permisi dulu." Jawab Dokter itu.
Arum dan Kinara menganggukkan kepalanya secara bersamaan. Setelah itu mereka bergantian masuk ke dalam kamar rawat Yanto. Arum duduk di kursi yang ada di samping bankar, sedangkan Kinara berdiri mematung sambil menatap Papanya dengan lekat. Matanya memanas, dia ingin menangis merasakan masalah hidupnya yang datang bertubi-tubi. Belum sempat dia memperbaiki masalah ekonominya, Papanya sudah jatuh sakit, lukanya kian bertambah ketika dia harus menerima kenyataan jika dia dicampakkan oleh tunangannya, dan kini dia harus kembali memikirkan bagaimana caranya dia mendapatkan banyakuang untuk pengobatan Papanya. Rasanya Kinara benar-benar tidak sanggup menghadapi semua ini. Dia ingin menyerah, dia ingin pergi saja dari bumi ini.
"Kamu nggak perlu terlalu memikirkan masalah uang, Mama akan mencoba menagih uang Mama yang dipinjam oleh teman-teman Mama." Kata Arum lirih. Dia seperti bisa membaca apa yang ada dipikiran anak semata wayangnya itu.
Kinara hanya menghembuskan napasnya dengan kasar. Dia rasa dia memiliki nasib yang sama seperti apa yang dirasakan oleh Mamanya. Berkali-kali dia menghubungi teman-temannya namun satu pun tidak ada yang nyambung. Setiap kali dia datang ke rumah mereka, pasti pembantu mereka mengatakan jika mereka sedang tidak ada di rumah. Dan ketika Kinara menitip pesan untuk temannya, sampai sekarang tidak ada satu pun teman yang menanyakan keadaannya. Semuanya berubah sejak kebangkrutan perusahaan Papanya. Tidak ada lagi kawan setia yang selalu ada untuknya. Semuanya pergi dengan sendirinya,tanpa Bela bisa mencegahnya.
Kinara melangkahkan kakinya mendekati Arum. Dia mengelus pundak rapuh Arum. Pipinya terlihat basah karena air mata. Kinara tidak bisa meminta Arum untuk tidak menangis, karena memang sakit jika melihat orang yang kita sayang sedang tidak baik-baik saja.
"Jika Mama tidak berhasil menagih mereka, tidak usah dipaksa, Kinara akan berusaha keras untuk mencari biaya pengobatan Papa." Jawab Kinara dengan lembut. Dia tidak yakin jika teman Mamanya akan mengembalikan pinjaman mereka tapi dia tetap berharap semoga rencana Mamanya besok berjalan dengan lancar.
"Jangan menanggung beban ini sendiri, ayo, kita tanggung beban ini bersama-sama. Kamu masih punya Mama yang akan selalu mendukung dan membantu kamu." Kata Arum mengingatkan Kinara. Arum tahu jika anaknya sedang berpikir keras bagaimana cara keluar dari ujian yang mereka hadapi. Dan dia tidak ingin membuat anaknya mengalami kesulitan itu sendiri.
"Kinara baik-baik saja, Mama tidak perlu mengkuatirkan Kinara." Jawab Kinara mencoba menghibur Mamanya.
Arum menepuk-nepuk tangan Kinara yang ada dipundaknya. "Kamu memang anak yang bisa Mama andalkan." Kata Arum dengan tersenyum.
"Karna aku memang selalu bisa diandalkan." Ucap Kinara berusaha tersenyum.
Arum menganggukkan kepalanya dengan mantap. Dia seperti bisa mempercayai anaknya itu, namun tetap saja dia mengerti jika anaknya sedang memikirkan uang untuk pengobatan Yanto dan juga kebutuhan mereka sehari-hari.
"Ma, Kinara tunggu di depan saja ya." Kata Kinara lirih.
"Iya." Jawab Arum dengan lembut.
Kinara melangkahkan kakinya keluar ruangan tempat ayahnya dirawat. Dia duduk di kursi yang ada di depan ruangan. Wajahnya dia tutup dengan kedua tangan. Air matanya langsung lolos melewari pipinya. Sedari tadi dia sudah menahan tangis hanya saja dia tidak bisa menangis di depan Mamanya. Beban hidup yang dia rasakan benar-benar berat. Dia tidak hanya mencari uang untuk keluarganya tapi dia juga berpikir bagaimana caranya dia dan keluarganya bisa segera keluar dari belenggu yang begitu menyakitkan.
***
Kinara berjalan pelan menyusuri trotoar di sepanjang jalan Pahlawan. Tangannya sesekali mengusap keringat di dahinya. Kinara yang biasanya hidup serba mewah dan berkecukupan dengan membawa mobil kemana pun dia pergi kini harus merasakan panasnya berjalan dibawah terik matahari. Tidak ada satu pun kenalannya yang lewat sehingga dia tidak bisa meminta tumpangan. Langkahnya semakin dia percepat ketika dia melihat jam yang melingkar ditangannya. Jam makan siangnya hampir habis jadi dia harus segera sampai di kantor. Kinara menyempatkan untuk menjenguk Papanya di sela-sela jam makan siangnya. Hingga matanya menangkap sosok yang sangat dia kenal. Hatinya tiba-tiba merasa sesak dan sakit. Akalnya memintanya untuk tidak melihatnya lagi namun matanya terus saja menatap orang tersebut. Kinara mengepalkan tangannya menahan emosi. Rasanya dia ingin melabrak dan memaki-maki orang tersebut. Namun dia masih bisa menahan apa yang saat ini terjadi.
"Eh, nggak nyangka bisa ketemu tuan putri yang lagi turun kasta." Kata seorang perempuan yang ada di samping Rio.
"Sudah jangan dekati dia, nanti dia minta bantuan." Kata Rio menyahut.
Kinara menghembuskan napasnya dengan berat. Telinganya panas mendengar apa yang dikatakan oleh kedua makhluk yang ada di depannya itu. Dia ingin melampiaskan amarahnya kepada kedua orang itu namun dia mencoba untuk menahan.
"Bener juga kata kamu, Sayang. Sekarang kan dia sudah tidak punya apa-apa lagi, bahkan untuk makan sehari-hari saja dia harus kerja keras." Jawab Sindi, perempuan yang ada di samping Rio.
Rio hanya tertawa sinis sambil melihat Kinara. Dia terlihat begitu tidak sudi berada di dekat Kinara. Dia seperti ingin memusnahkan Kinara dari muka bumi ini.
"Setidaknya walaupun aku hidup susah tapi aku tidak pernah meminta uang sepeser pun kepada kalian." Kata Kinara dengan datar.
"Kita lihat saja apakah kamu mampu berusaha sendiri." Kata Sindi merendahkan Kinara.
"Ya, aku yakin kalau aku mampu. Karena aku bukan kamu yang pergi begitu saja ketika ada teman yang kesusahan." Jawab Kinara dengan tegas.
"Dulu memang kita teman, saat kamu kaya raya. Sekarang kamu bukan siapa-siapa, jadi malas berteman dengan orang miskin seperti kamu."
Kinara memelototkan matanya. Dia tidak terima mendapat penghinaan dari teman dekatnya itu. Kata-kata yang dia dengar barusan seperti apa yang dia dengar dari Rio. Rio juga mencampakkannya ketika dia jatuh miskin.
"Walaupun aku miskin tapi aku tidak pernah punya utang." Jawab Kinara yang langsung membuat Sindi malu.
"Oh iya, kenapa kalian keluar dari sana?" tanya Kinara lirih. Pasalnya saat ini mereka sedang berada di depan Afsana butik. Butik yang menyediakan berbagai jenis baju pengantin. Mulai dari adat daerah hingga gaun modern.
"Kenapa lagi kalau bukan untuk membuat baju pengantin." Jawab Rio dengan cepat.
"Aku dan Rio akan segera menikah." Kata Sindi dengan cepat. Dia juga melingkarkan tangganya di lengan Rio.
Kinara tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Sindi. Bagaimana mungkin Rio secepat itu melupakannya. Dua hari yang lalu mereka baru saja putus dan sekarang dia sudah memesan baju pengantin untuk pernikahannya dengan wanita lain.
"Nggak usah terkejut. Saat aku masih pacaran sama kamu, aku juga pacaran sama Sindi." Kata Rio yang seakan-akan bisa membaca pikiran Kinara.
"Kamu benar-benar sempurna menjadi pria brengsek. Kalian pasangan yang serasi, pria brengsek dan wanita tak punya hati. Semoga rumah tangga kalian selalu dipenuhi dengan bencana yang sulit kalian selesaikan." Kata Kinara memberi selamat kepada pasangan kejam dihadapannya itu.
Sindi sangat terganggu dengan doa Kinara. Dia sudah bersiap untuk menyerang Kinara namun Rio segera mencegahnya. Dia segera mengajak Sindi untuk meninggalkan Kinara yang masih memasang wajah jengkel. Rio tidak ingin terjadi pertengkaran hingga mereka menjadi tontonan banyak orang.
Kinara tersenyum kecut melihat Rio dan Sindi berlalu dari hadapannya. Dia mengumpat dalam hati. Ingin sekali dia segera mendengar kabar jika pasangan itu pisah. Jika memang hal itu terjadi, maka dialah orang pertama yang sangat bahagia. Kinara melanjutkan jalannya menuju kantor. Waktunya berkurang beberapa menit karena menanggapi pasangan kejam tadi. Kinara semakin cepat melangkahkan kakinya karena dia ingin segera sampai di kantor.
================================
Bojonegoro, 07 Juli 2020
Author balik lagi dengan part baru. Author maraton nulis nih gara-gara waktu menulis Author berkurang karna sekarang Author udah kerja😁
Oh iya, kalian bisa baca kisah pemilik Afsana Butik tempat Rio dan Sindi membuat baju pengantin di Dreame dengan judul AFSANA. Di cerita AFSANA emosi kalian akan meledak-ledak. Jangan lupa mampir di lapak Author yang ada di Dreame ya🤗🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top