Tanah Sengketa: Awal Mula

"Jika ada suatu permintaan yang bisa dikabulkan, maka aku menginginkan kematian ...."

Umumnya, orang-orang memang berharap mendapat umur panjang untuk menggapai cita-cita. Namun, sebagai makhluk abadi, ia justru kehilangan alasan untuk hidup. Semua perubahan pada zaman purbakala sampai modernisasi telah dilewati. Ia juga sudah mencicipi banyak hal, sehingga tidak ada yang terlihat menarik lagi di dunia ini.

Ia bukan sosok palasik yang meminum darah manusia, sehingga dapat mencapai kehidupan abadi. Etintasnya sebatas manusia abadi ... saat seorang Ibu mengorbankan nyawa demi sebuah kelahiran, maka sang anak akan menolak kematian. Puspa adalah hakikat dari fenomena tersebut; lahir dari kehilangan, dan hidup kekal.

Hampir sepanjang hari dalam kehidupan, Puspa melakukan berbagai cara untuk mati. Usaha bunuh diri yang selalu gagal itu membuat seorang sejarawan memberikan sebuah tawaran, "Aku akan mencari cara untuk menghilangkan keabadianmu, tapi itu berarti kamu bersedia menjadi objek penelitianku."

Puspa tak perlu berpikir panjang untuk mengangguk setuju. Ia tidak memiliki ketakutan apa pun dalam objek penelitian keji, sebab yang dinginkan hanyalah kematian sejati. Alhasil, pria itu memberi syarat, "Kamu harus menikah bersamaku, karena dengan begitu aku memiliki hak dan tanggung jawab sepenuhnya atas dirimu."

Puspa terdiam cukup lama. Sepanjang hidup dalam keabadian, ia bahkan tidak pernah memiliki hubungan spesifik dengan seseorang. Puspa selalu terpaku pada kematian, hingga lupa bahwa ada satu hal lagi yang belum dicicipi di dunia ini ... cinta. "Baiklah, kuterima tawaranmu."

Pradipta dan Puspa pun menikah. Mereka membangun rumah pada lahan tanah nan jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, agar tak ada yang tahu progres penelitian tersebut. Kemudian, ia mendirikan tembok tinggi dengan rumah besar di dalamnya. Bangunan itu diberi nama wastu.

Sejalan dengan mencari cara untuk menghilangkan keabadian, hubungan mereka kian dekat. Pasutri muda itu memiliki enam anak, dua di antaranya adalah anak kembar. Dalam kurun waktu singkat, wastu pun menjadi tempat ternyaman untuk tinggal.

Keluarga besar mereka diberi gelar Bunga Bangsa. Namun, berbanding terbalik dengan keindahan namanya, Bunga Bangsa justru melakukan hal-hal berbau kematian untuk menghancurkan keabadian Puspa. Yaitu Panca Makra Puja, dengan melakukan lima ma; mada, maudra, mamsa, matsya dan maithuna sebagai ritual terlarang dalam kehidupan bermasyarakat.

Ritual mada dengan cara mabuk-mabukan. Sementara maudra dikenal dengan tarian yang tidak akan berhenti hingga mereka jatuh pingsan. Untuk menyambut musim hujan yang datang setelah kemarau panjang, Pradipta--sebagai pemimpin wastu pun membimbing anak-anaknya melakukan ritual itu.

"A-Ayah, aku lelah," ucap Mayang dengan lirih untuk meyakinkan alibinya, tatkala mereka melakukan maudra cukup lama.

Meski demikian, ia tetap terus melakukan pergerakan, agar dapat mengalihkan perhatian Pradipta dari Naika. Ia prihatin, sebab Naika-lah yang sudah kelelahan, dan tampak tak sanggup menari lagi.

"Jangan merengek. Ini sudah menjadi bagian dari tradisi keluarga kita." Pradipta menatap sekilas ke arah Puspa, kemudian kembali beralih kepada sang anak. "Apa kamu tidak prihatin jika hanya ibumu yang kesakitan?"

Mayang tak menyahut lagi, dan terus menari dalam diam. Hingga satu per satu Bunga Bangsa kian pingsan, sementara Puspa menjadi orang terakhir yang bertahan sambil meratapi Naika. Kali ini, anak bungsunya telah mengorbankan nyawa akibat melakukan maudra.

Mayat Naika pun dijadikan sebagai ritual mamsa, dengan memakan daging dan meminum darahnya untuk mengembalikan energi selepas maudra. Tanpa disadari, mereka sudah melenceng dari tujuan sebenarnya. Bahkan setelah itu, tak ayal Pradipta mengimbau Bunga Bangsa untuk makan ikan beracun dalam bentuk ritual matsya.

Karena terus dikekang dan hidup terkungkung dari dunia luar, anak-anaknya tak memiliki pergaulan dengan masyakarat. Mereka pun jatuh dalam ritual maithuna. Yaitu, saling 'bersenggama' satu sama lain tanpa memikirkan akibatnya.

Wastu menjadi kacau, sementara Pradipta sudah cukup menua untuk memimpin mereka ke ranah lebih baik. Ia menatap sang istri dengan netra yang mulai merabun. "Puspa, lihatlah diriku. Aku sudah menjadi kakek-kakek keriput. Sedangkan kamu masih tampak seperti gadis muda."

Puspa menelengkan kepala, sementara alisnya semakin bertautan tatkala memandang skeptis ke arah sang suami. "Apa karena hal itu kamu meragukan perasaanku?"

Pradipta menggeleng cepat. "Tidak juga, hanya saja tampaknya aku akan lebih dulu mati dibandingkan dirimu." Ia mendengkus pelan. "A-apa jika saat itu tiba, kamu akan siap mempertahankan rumpun Bunga Bangsa?"

"Itu sebenarnya seruan yang dibungkus dengan kalimat pertanyaan, bukan?" Puspa tersenyum getir. Namun, mau tak mau ia harus mengemban hal itu. Walau batinnya berseru, ia ingin lebih dulu mati dibandingkan yang lain!

Akan tetapi, kehidupan terus berjalan begitu saja, hingga tiba saat anak-anaknya melahirkan bayi dari 'perkawinan saudara'. Alhasil, mereka memiliki garis keturunan murni sebagai Bunga Bangsa. Hanya saja, cucunya yang lahir jadi mengalami kelainan genetik.

Ada yang tidak bisa berbicara, buta, bahkan lima bayi kembar siam yang kekurangan ginjal. Namun, seolah petaka membuka jalan kebajikan, Pradipta justru bergembira ketika mengetahui hal itu. "Sekarang aku tahu bagaimana cara untuk menghancurkan keabadianmu."

Tatapan kosong yang sudah lama Puspa miliki, kini berubah menjadi berseri-seri. Ia berjalan lebih dekat ke arah Pradipta, dan bertanya dengan antusias, "Bagaimana?"

Pradipta terdiam cukup lama, raut wajahnya kini berubah menjadi serius. Karena tak kunjung mendapat sahutan, Puspa pun kembali angkat suara, "Ayolah, cepat katakan. Jangan membuatku penasaran!"

Pradipta tak bermaksud mengabaikannya. Hanya saja, sekarang situasinya sudah berbeda. Meski dahulu Pradipta menikahi gadis itu sebagai objek penilitian, semua permasalahan di wastu kini menyadarkannya bahwa itu hanya bagian dari ambisi sesaat. Justru sekarang ia tidak siap kehilangan.

Sayangnya, ini adalah permintaan sekali seumur hidup dari Puspa. Alhasil, dengan berat hati Pradipta pun memaparkan, "Donorkan seluruh bagian tubuhmu hingga tak bersisa, dengan begitu kamu akan mati."

Puspa membalas pernyataan tersebut dengan tersenyum, seolah memberi isyarat bahwa ia bisa menjalani hal ini. Jiwanya pun manifestasi menjadi bagian paling samar yang tak terjangkau mata manusia. Sayup-sayup, ia melihat orang-orang tengah berkumpul membentuk sebuah lingkaran.

Ia berjalan lebih dekat untuk masuk di antara barisan. Topeng yang dikenakan membuat Puspa tidak bisa mengenali wajah mereka, tetapi Puspa melihat dengan jelas tubuh fisiknya tengah terbaring pada pancaka berbentuk sebuah makam kayu.

Satu per satu dari mereka mulai melepaskan topeng seraya berjalan menuju pancaka, untuk mengambil organ Puspa yang dibutuhkan bagi tubuhnya. Membuat Puspa terkesiap tatkala menyadari mereka adalah para keturunannya. Ia lantas membatin, "Te-ternyata sejak awal mereka telah meninggal bertahun-tahun lalu dibandingkan diriku ...."

Siapa yang menipu siapa? Ia tidak tahu. Namun, Puspa menarik satu kesimpulan, bahwa semua mulai berjalan salah sejak pertama kali ia dan Pradipta memutuskan untuk tinggal di sini, karena tanah ini adalah pembatas antara kehidupan dan kematian.

Tubuh fisik Puspa pun perlahan mulai hancur terkoyak. Dari kejauhan, ia meratapinya dengan tersenyum tipis. Selama ini Puspa memang tidak tahu kapan tepatnya ia hidup, tetapi ia memahami dengan baik kapan waktu panggilan kematiannya.

Demikianlah, perayaan ulang tahun Puspa adalah akhir kehidupan untuk menyambut kematian. Para arwah anak-anaknya melakukan upacara perayaan pengembalian Panca Maha Buta, sebagai penghantar jiwa yang mati. Alhasil, kini Puspa telah kehilangan keabadian, tetapi ia menjadi hantu yang fasik di antara perbatasan. Di Tanah Sengketa.

Tanah Sengketa--Selesai

@shima_alqie
Sabtu, 17 Juni 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top