dua
Oracle by. Puyamoya
Naruto © Masashi Kishimoto
a SasuNaru Fanfiction
Sasuke x Naruto
snfanfict event 2018
Sore itu perlahan menggelap. Perayaan Shichiseki atau malam ke tujuh akan di mulai. Rumah-rumah sudah di hias. Sesembahan mewah untuk Kamisama. Semoga Konoha di berkahi.
Dari banyaknya hiasan yang di buat, yang paling terlihat menarik dan selalu ada setiap tahunnya adalah hiasan kertas tanzaku yang di gantung atau di berdirikan menyerupai pohon.
Kertas tanzaku adalah kertas permohonan. Warga bebas memohon apapun dengan menuliskannya di kertas itu lalu di tempel hingga menjadi pohon gantung. Kertas tanzaku sendiri memiliki lima warna khusus, yaitu merah, kuning, hijau, putih, dan hitam.
Naruto, Tenten, Ino, dan Hinata, keluar dari ruangan khusus di dalam istana. Beberapa pengawal telah bersiap membawa tandu untuk mengarak mereka di pusat kota.
Keempat remaja itu telah di dandani sebegitu cantiknya kecuali Naruto yang terlihat lebih bening dari biasanya hingga terlihat menonjol diantara pohon-pohon permintaan dan kertas warna-warni tanzaku.
Pada malam ke tujuh bulan ke tujuh di setiap tahun Tanabata atau Shichiseki di rayakan. Sebagai wujud syukur manusia kepada dewa dan mendoakan arwah leluhur atas keberhasilan panen yang melimpah.
Malam ini malam ke tujuh yang di maksud. Masyarakat merayakan Shichiseki ini dengan penuh kegembiaraan.
Berbagai kuliner di jajarkan. Meriah dengan tetabuhan musik yang gempita. Lampu obor yang menyala disetiap meter pusat desa dan tentu saja pohon kertas doa yang di pajang.
Selain itu, masyarakat juga menggunakan sasa atau daun bambu untuk hiasan karena daun bambu di percaya sebagai tempat tinggal para arwah. Terutama arwah leluhur.
Meriah.
Wajah-wajah berseri, suara tawa. Hingar bingar kembang api. Naruto tenggelam dalam keriuhan yang membuatnya tidak nyaman.
Bokongnya sudah mendarat mulus pada busa kursi tandu yang entah kenapa terasa lebih keras dari pada lantai rumahnya yang hanya tanah yang di pelur.
Sementara ketiga gadis calon peramal lain tersenyum cerah pada setiap warga yang melambaikan tangan secara acak. Entah tangan siapa yang melambai. Mereka membalasnya dengan suka cita.
Naruto tercenung. Menatap nanar pada kerumunan manusia di hadapannya. Iris safirnya sedang mencari seseorang. Bukan hanya seseorang. Tapi seorang teman. Sahabatnya dari desa seberang.
Dia tahu temannya itu akan datang.
Tangannya memilin kertas tanzaku yang ia bawa dari istana. Dia belum menuliskan harapannya disana. Sampai matanya tertumbuk pada wajah dingin seseorang yang dicarinya.
Senyumnya semringah. Lebih senang ketimbang harus mengemban tugas sebagai peramal.
"Hei!" panggilan dengan suara keras itu tertimbun riuh suasana perayaan. Tidak terdengar sekalipun jarak mereka berdekatan.
"Hei, kamu!" sekali lagi, berhubung Naruto punya semangat berlebih jika menyangkut pertemanan.
"Teme!"
Setelah tandunya persis berada di samping orang itu, barulah teriakan Naruto sedikit terdengar.
Kepala raven menoleh dramatis. Melihat seolah tak percaya pada apa yang di lihatnya. Apa bedanya teman pirangnya dengan kunang-kunang musim panas.
"Dobe!?" desis si rambut hitam. Tatapannya tertuju pada Naruto yang sedang nyengir lebar.
"Ya." Naruto mengangguk cepat, buru-buru ia menulis sesuatu pada tanzaku-nya, "tangkap ini!" gulungan kertas berwarna merah melayang di udara. Naruto melempar tanzaku itu pada pemuda yang di panggilnya tadi. Suara riuh genderang melatarinya.
Si pemuda menangkap tepat buntalan kertas, lalu kembali menatap datar si pelempar.
Tandu melaju lamban, namun seperti tertiup angin hingga si pemuda raven tak sempat berkata apapun pada Naruto. Remasan kertas disingkap cepat.
'Aku ingin bertemu kamu di tepi Amanogawa, Sasuke. Malam ini saja.'
Kenapa Naruto menyiakan harapannya dengan menulis pesan pada pemuda bernama Sasuke?
Hanya tuhan yang tahu.
.
Barangkali Naruto adalah remaja yang tak ingin menyia-nyiakan waktu terakhirnya menjejak tanah Konoha sebelum kemungkinan terpilih sebagai peramal negeri.
Langkahnya kecil. Mengendap pelan keluar dari kamarnya.
Nenek Mito disana. Terlelap di kursi rotan di tengah ruangan.
Karin dan suaminya, Suigetsu, pasti sudah tertidur didalam kamar mereka. Naruto lega dalam hati.
Sebenarnya tak perlu mencuri waktu dan keadaan seperti ini. Naruto sudah meminta ijin untuk keluar sejak tadi sehabis perayaan Tanabata, tapi mengeluarkan bebunyian saat orang terlelap dirasa kurang sopan menurutnya. Jadilah Naruto menjelma pencuri amatir, sebab ia tak memiliki kekuatan ninja dengan jurus menghilangnya.
Suasana malam sudah sepi. Hanya tersisa beberapa obor yang di biarkan menyala, sasa yang menggemerisik di tiup angin, dan pohon tanzaku yang mengerlip warna-warni di timpa cahaya dari obor yang meliuk.
Naruto mengeratkan kimono. Angin dingin berembus cukup kuat. Berhubung ini adalah awal musim gugur. Rambut emasnya bergoyang di tiup semilir angin.
Kali ini langkahnya lebar dan menghentak cepat menembus kegelapan. Merangsek kedalaman semak untuk segera tiba di gigir sungai Amanogawa.
Sempat terpikir bagaimana jika usaha bertemu dengan temannya itu percuma. Bagaimana jika si teman itu tak membaca pesannya. Tapi ia tepis.
Ia kembali melangkah cepat ke arah sungai besar itu. Rasa-rasanya jarak dari rumah ke sungai jadi dua kali lebih jauh jika seperti ini.
Sunyi. Berbeda dengan suasana sore tadi. Tengah malam memang mempunyai efek menyeramkan tersendiri bagi manusia sok berani seperti Naruto.
Bau air sungai sudah tercium. Naruto berlari kecil kesana. Tubuhnya oleng saat sepasang tangan menarik kasar kimononya hingga ia membentur sesuatu. Tersembunyi di balik semak dan belukar.
"Ssst.."
"Ha?"
"Sshh.."
"Lepaskan aku." bisik Naruto takut-takut. Bagaimana kalau ia tiba-tiba diculik kawanan bandit hutan. Kepalanya menggeleng keras.
"Jangan bergerak." suara itu berdesis menyamarkan jenis suara familier yang Naruto kenal. "Dobe."
"Teme!" Naruto menjerit tertahan membalikan badannya berhadapan dengan orang yang tengah mencengkeramnya. Hanya satu orang yang memanggilnya seperti itu. Ia yakin.
"Jangan bersuara. Bodoh." orang itu sibuk membekap mulut Naruto. Naruto mengangguk, berkata lewat matanya bahwa ia akan menuruti orang itu.
"Sasuke," panggil Naruto dengan suara pelan. Orang yang di panggil Sasuke mengangguk kecil lalu mengintip area sungai dari balik bahu Naruto.
"Ada apa?"
Naruto cerewet sekali kali ini. Seperti biasanya.
"Jangan menoleh. Ada orang." info Sasuke. Masih memegangi tubuh Naruto.
"Ya. Lepaskan dulu." ujar Naruto. Ia mundur pelan beberapa langkah ke belakang tubuh Sasuke.
Sasuke sibuk mengamati. Sesekali menoleh pada Naruto yang duduk tertunduk diatas sebuah batu. Mata arangnya tetap awas mengamati yang sedang terjadi di seberang sungai.
Beberapa orang berjubah dan bertudung seperti tengah membicarakan hal yang sangat penting. Mereka berbisik-bisik sambil menengok kanan kiri mencurigakan. Tak sadar sedang dalam pengawasan remaja raven jauh diseberang sini.
Sasuke menoleh. Naruto sedang membersihkan sepatu kain berbordir dari lumut dan lumpur basah.
"Naruto?" Sasuke menurunkan tubuh sejajar dengan Naruto.
"Hm?" suasannya cukup membuat Naruto untuk bersikap autis di depan Sasuke.
"Kamu datang." entah itu pertanyaan atau pernyataan tak sadar dari Sasuke.
Sasuke duduk di sebelah remaja pirang itu. Remaja yang usianya lebih muda setahun dari padanya.
Naruto mendongak cepat. "Harusnya aku yang berkata seperti itu. Kupikir kamu tidak membaca pesannya." Naruto memasang cengiran. Jenis cengiran yang di sukai Sasuke.
"Tanzaku tidak untuk di lempar. Aku baca pesannya. Ada apa?"
Saat pertanyaan itu terlontar, Naruto pandangi pusaran hitam dalam mata arang sahabatnya. Ini mungkin akan jadi akhir dari pertemuan mereka. Tapi Naruto ingin akhir yang berkesan.
"Uhm, Sasuke---"
"Hn?"
Jeda. Naruto urung berkata lagi. Sasuke mengeluarkan sebuah benda dari saku kimononya.
"Ini untukmu." ia menyerahkan sebuah patung kayu berukuran sejengkal tangan pada Naruto.
Patung berwujud seorang dewi dengan ukiran berbentuk matahari di dahinya.
"Siapa ini?" untuk sesaat Naruto menatapi benda itu. Terkesan sekaligus terkesima yang berkepanjangan. Patungnya bagus. Mulus.
"Amaterasu. Kaguya. Shokujo. Bahkan dewi Kwan Im. Apapun yang kamu suka. Namai saja dengan itu."
"Siapa Shokujo?" jejari sehangat lelehan madu di musim panen bergerak membelai wajah patung dewi itu. Bibirnya melengkung ke atas. Menandakan ia suka dengan pemberian si sahabat.
Sasuke menoleh cepat. Naruto tidak tahu siapa Shokujo?
"Tapi aku tidak membawa apapun untukmu, Sasuke." sekarang Naruto menyesal kenapa tadi tidak sempat membuat sesuatu untuk di berikan pada temannya ini. Rupanya perayaan itu malah menyita waktunya.
Sasuke tersenyum. Menepuk pelan kepala Naruto dengan telapak tangan.
"Aku tidak mau hadiah dari kamu." katanya. Ia berdiri, mengintip lagi dari kejauhan kegiatan orang-orang di seberangnya.
"Dobe, apa kamu bisa melihat apa yang akan terjadi dengan manusia-manusia berjubah itu?"
Naruto menegakan punggung. Mencoba menajamkan indera. Mengosongkan pikiran demi mencari tahu kejadian yang akan datang pada manusia berjubah itu.
"Tak ada." si pirang angkat bahu.
Sasuke sudah lebih dulu tahu pada kemampuan cenayang sahabatnya. Dia yang selalu menang bermain apapun menggunakan otak dan logikanya, tetiba sering dipecundangi oleh Naruto yang bisa melihat masa depan dengan hanya memejamkan mata.
Sasuke kembali duduk di sisi Naruto.
"Jadi, kenapa kamu menulis pesan itu pada tanzaku?" Sasuke bertanya sembari melemaskan otot kaki. Ia yakin setelah ini harus berlari lagi untuk kembali ke tempat tinggalnya di ujung hulu sungai.
"Kalau berteriak kamu tidak mungkin dengar, teme." sedikit kesal kenapa Sasuke malah menanyakan hal ini.
Ia tatapi langit cerah malam ini. Penuh bintang seolah tersenyum menaungi kebersamaan mereka.
"Apa itu juga mewakili harapanmu kali ini?" harap-harap cemas, Sasuke ingin jawaban jujur dari temannya.
Naruto menggeleng. Sasuke mengernyit.
"Harapanku tahun ini bukan itu." kilah si remaja pirang. Tangannya bergerak mewakili kata-kata, "aku tidak ingin terpilih jadi peramal tahun ini. Kalau bisa."
Sasuke terkekeh kecil. Jenis kekehan yang saat kau melihatnya seakan kau melihat padang tandus disirami air hujan. Sejuk.
"Bisa, kok." tangan Sasuke bergerak lagi menggusak rambut pirang temannya. "Jangan ikut pawai saja besok. Selesai."
Naruto menoleh. Menatap tak percaya pada Sasuke. Lalu tersenyum mantap.
"Benarkah?" dia sedikit antusias saat mendengarnya. Lalu perasaan surut saat wajah sang nenek tiba-tiba meneror dari kejauhan.
"Tapi sepertinya tidak bisa. Aku tetap akan ikut pawai esok hari, dan berharap tidak akan terpilih jadi peramal tahun ini."
Sasuke tersenyum mendengarnya. Suara aliran sungai terdengar jernih di telinga.
"Kenapa jadi plin plan begitu. Kenapa kamu tidak mau jadi peramal. Bukankah itu bagus. Aku bisa titip doa padamu setiap hari." Sasuke tersenyum.
Naruto cemberut lagi.
"Di menara---" dia menjeda untuk menerawang, "tidak ada teman sepertimu. Tidak bisa main di sungai. Menangkap ikan. Main layangan. Atau memanjat pohon seperti yang selalu kita lakukan." Naruto menjelma Sasuke, berwajah datar dan dingin saat mengatakannya.
"Aku juga tidak tahu bagaimana menara itu secara keseluruhan. Yang aku tahu, aku akan terkurung disana untuk meramalkan nasib kerajaan. Bila beruntung aku akan pulang setahun kemudian, tapi---"
"Kamu tidak cocok berwajah sedih dan dingin seperti itu. Itu bukan kamu yang sebenarnya." Sasuke memainkan telunjuk di depan wajah Naruto, memotong pembicaraan teman pirangnya. "Sudah. Lupakan saja."
"Kamu menyebalkan, teme jelek." lagi-lagi Naruto ngambek tidak jelas.
"Oke. Maaf." Sasuke angkat tangan, "Jadi, kamu menemuiku untuk pamitan?"
Sebentar mereka bertatapan. Sasuke yang pertama kali memutus kontak.
"Kamu akan melupakanku, Sasuke?"
"Tidak." kata Sasuke tanpa pikir.
"Kamu akan bermain dengan orang lain?"
"Tidak juga." bahu si raven mengedik cepat, "kamu tahu aku tidak punya teman lagi selain kamu."
Hening.
"Ya, walaupun kamu bodoh dan cerewet." Sasuke mencairkan suasana. Tangannya merangkul akrab bahu Naruto.
Naruto memberenggut kesal. Ingin menepis tangan seputih salju itu jika tak ingat ini mungkin terakhir kalinya ia melihat Sasuke. Menyesal ia tidak sempat bermain habis-habisan beberapa hari kemarin.
Lalu Sasuke menoleh ke arah Naruto yang menoleh ke arahnya. Untuk pertama kalinya manik mereka bertubrukan dalam jarak seekstrim ini.
Tak ada yang memutus kontak mata kali ini. Mereka terlalu menghayati hal yang baru mereka sadari selama ini. Ternyata hampir terlambat.
Sasuke memajukan wajahnya. Dekat. Naruto tidak menghindar. Tangan lain milik si raven menelusup bahu dan leher milik Naruto. Rangkulan berubah jadi pelukan. Di balas dengan dekapan hangat nan erat dari si calon peramal.
Suara malam tidak terdengar lagi. Langit hitam menjelang dini hari. Di tepi sungai. Luapan rasa itu mungkin bisa menyamai luapan air bah sekalipun. Pepohon nampak enggan bergoyang demi kekhidmatan pemandangan langka ini.
Masing-masing menghirup dalam aroma sahabatnya. Yang akan terpisah beberapa jam lagi.
"Jangan tinggalkan aku."
"Jangan lupakan aku."
Keduanya berucap serentak. Kompak. Seperti paduan doa dalam kuil Yato.
Lalu kepala mereka menggeleng.
"Tidak akan." ucap keduanya.
Malam ini. Suasana ini. Sungai Amanogawa saksinya. Harusnya kisah pertemanan mereka di bukukan dalam kitab setara kitab Kiyoji. Atau dibuat puisi dengan syair yang indah.
Tapi tidak. Karena fajar akan menyingsing. Memaksa mereka melepas pelukan, lalu cepat-cepat pulang ke rumah.
Di sisa malam itu, Sasuke dan Naruto sengaja tidak tidur.
***
Bersambung,
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top