🎋 ; 𝕄𝕠𝕠𝕟 𝕒𝕟𝕕 ℕ𝕚𝕘𝕙𝕥
Ensemble Stars!!
© Happy-elements Sakuma Mei ©
kisscholar
words count : 1,3K words
═ ═ ═ ╰☆╮ ═ ═ ═
Hiiro mengeratkan tali obi yang ia rasa sedikit longgar, rasa gugupnya perlahan surut kala pasar malam menjamu dengan keramaian, jumantara penuh gemintang juga ikut merayakan malam spesial ini. Sang adam terpaksa harus berjalan di tengah lautan manusia lantaran festival tahun ini lebih ramai dari tahun sebelumnya.
"Kalau tidak salah, kuilnya di sebelah kanan ujung jalan ya." Hiiro mencoba mengingat ulang lokasi tempat dia dan Mei berjanji untuk bertemu, lelaki tersebut menyusuri jalan tanpa mengalihkan pandangannya sekalipun, meskipun ramai sedikit mengacaukan pikirannya, meskipun sedikit ragu dengan jalan yang ia tempuh, Hiiro terus berjalan sesuai instruksi Mei, sama seperti saat dia berjalan menuju rumah.
Malam semakin gelap, dengan rembulan di atas kepala manusia dan gemintang yang berkilauan. Hiiro telah sampai tujuan, ia temukan wanita seindah malam sedang menantinya, ah, dia merasa bersalah telah membuat Mei menunggu terlalu lama. Dirapikan yukata yang ia kenakan, Hiiro bisa merasakan rasa antusiasme membakar dalam dirinya. Hiiro membaur ke dalam keramaian, matanya meneliti tiap insan yang mengunjungi kuil demi menemukan perempuan yang telah lama menanti. Dia menemukannya.
"Mei-san!!"
Pemilik nama menoleh saat namanya disebut, si bungsu dari keluarga Sakuma tampak elok mengenakan yukata pemberian kakaknya, rambutnya disanggul rapi ditambah hiasan hair stick bunga mawar. Mungkin di mata orang Mei hanya terlihat elok namun, tiada yang bisa menjelaskan seperti apa indah paras perempuan itu di mata biru Hiiro termasuk Hiiro sendiri. Seakan, tidak ada kata yang tepat untuk menjelaskan betapa cantik Mei di bawah sinar bulan dan indah nyala netra merahnya yang dapat membuat Hiiro terpana saat itu juga.
Di sisi lain, perempuan itu terbungkam akan ketampanan Hiiro yang mengenakan yukata. Parasnya begitu indah bagai lukisan tuhan, dan pemuda itu tersenyum kepadanya, ah, andai Hiiro dapat melihat apa yang dia lihat. Seorang pemuda dengan tatapan begitu terang menyaingi sang surya. Mei cekatan berdehem memecah sunyi di antara mereka.
"Kau telat Amagi, dari mana saja?" tanya Mei membuyar lamunan Hiiro, dia kesal lantaran pemuda tersebut hanya memasang senyum bersalah tanpa mengucapkan sepatah kata, "Kalau tersesat bilang dong."
"Bwahahaha! Maaf Mei-san, tanpa sadar aku meniru kakakku lagi."
Mei mendengus kesal, perempuan tersebut menarik ujung yukata Hiiro, "Ayo, nanti kita kehabisan tempat." Merah rona pipi Mei terlihat begitu imut mengingatkan Hiiro akan buah delima. Pemuda tersebut mengangguk seraya menggandeng Mei seakan hal tersebut bukanlah hal yang sulit. Sedikit yang pemilik rambut merah itu ketahui, rona pipi Mei lebih merah dari yang tadi.
Mereka memasuki deretan bambu berhias permohonan ribuan masyarakat, Hiiro mengambil dua kertas dari stall lantas menyerahkan satu untuk Mei. Keramaian sepertinya tidak mengganggu mereka, dua insan tersebut menulis permohonan mereka lalu berdoa sesuai tradisi yang ada.
Mereka lanjut menikmati festival yang ada, orang-orang begitu ramah saat mengetahui identitas mereka jadi hal sedikit lebih mudah walaupun penggemar terus saja meminta foto dengan sang pemimpin Alkaloid. Mereka berpindah atensi menuju beragam kuliner yang ada sambil menatap langit yang begitu terang penuh akan kembang api. Mei tidak bisa menyembunyikan senyumnya sebab Hiiro terus saja terpukau akan segala hal yang ada di festival, seperti tenda kuliner atau parade musik berjalan dan penari yang hampir mengajak Hiiro ikut dengan mereka.
Hiiro meresap baik-baik malam itu seperti belajar akan dunia baru, dunia dimana hanya ada dia dan Mei mencoba hal yang belum pernah mereka coba. Dan jadilah harapan baru si pemuda, harapan bahwa ada dunia dimana dia bisa melihat kesenangan di muka Mei tanpa setitik kesedihan merusaknya. Karena menurut Hiiro, kebahagiaan jelas sempurna di paras cantik sang perempuan bermarga Sakuma.
Keduanya menyusuri jalan tanpa melepas genggaman tangan, seakan tidak menemukan alasan untuk memisahkan tangan mereka. Es serut menjadi pilihan Mei untuk pemberhentian terakhir mereka. Duduk di salah satu bangku umum di dekat pasar, karpet percakapan digelar tanpa ada ujung menanti mereka sambil menghabiskan es serut sebelum berubah menjadi air sirup.
Mei berhasil mengambil atensi Hiiro lewat menyebut nama depannya, senyuman 'tak luput mengembang sempurna di bibirnya. "Terima kasih sudah menemaniku malam ini."
Hiiro ikut memamerkan senyum sejuta cahaya, Mei menyebut nama depannya sama seperti mendapatkan hadiah yang hanya terjadi sekali dalam hidupnya, "Justru aku yang harus berterima kasih! Ternyata festival di kota itu sangat menyenangkan, kita harus datang lagi tahun depan!"
"Ya boleh, tapi kamu harus meyakinkan dua kakakku kalau pergi bersamamu itu aman," gurau Mei dengan kekehan di ujung kata. Hiiro menautkan alis kebingungan, "Kenapa harus meyakinkan mereka kalau kamu prioritasku?"
Mei paham betul arti kata itu, tapi juga takut kalau makna perkataan Hiiro ternyata melenceng dari pemikirannya. Jika begini caranya siapa yang harus dia salahkan?
Mei hanya tersenyum kecut membalas jawaban Hiiro, dia memilih menaruh atensi kepada es serutnya yang sudah mencair setengah.
"Ah, tapi," Mei berhenti guna mendengarkan lanjutan kata dari si pemuda, "Aku sepertinya harus berkata lebih sopan kepada Rei-senpai dan Ritsu-senpai agar tidak meninggalkan kesan yang buruk 'kan?"
Mei hampir memukul mukanya mau sampai kapan Hiiro terus bersikap tidak peka, jika saja dia bisa berteriak tepat di kuping lelaki berambut merah itu akan perasaannya mungkin sudah sedari tadi Mei lakukan. Pemilik mahkota abu-abu menarik napas dalam dan mengangguk ringan agar percakapan berhenti di situ saja.
"Mei-san."
"Apa?"
Hiiro berbisik ke Mei, gelitik nafas hangat lelaki itu 'tak sengaja membuatnya tertawa kecil, Mei mengerjapkan mata bingung kenapa Hiiro tiba-tiba berbisik.
"Permohonan apa yang kamu tulis tadi?"
Mei semakin bingung. Namun, memilih untuk mengikuti alur Hiiro, "Kenapa harus berbisik seperti ini?" Mei bisa merasakan panas mukanya lantaran jarak yang semakin dekat antara mereka. Astaga dia harus bagaimana, dimana dia harus meletakkan tangannya? Mei panik karena alur yang meranah begitu cepat, ia buru-buru mendorong pelan dada Hiiro untuk menciptakan jarak yang semula ada. "T-tunggu Amagi, bisakah kamu mundur sedikit?"
"Oh, maaf. Jadi aku berbisik tadi supaya tidak ada yang tau selain kita." Hiiro berucap dengan nada yang cukup serius meskipun begitu Mei tertawa seperti ada hal yang lucu dari perkataan barusan. Ah, Mei mengganti perkataan yang ada dalam hatinya menjadi 'mau sampai kapan Hiiro terus bersikap lugu?'
"Rahasia. Kalau aku memberitahumu nanti permohonannya tidak akan terwujud tau."
Netra biru Hiiro menyala seperti mempelajari hal baru lantas dia mengangguk seraya mengepalkan tangannya, "Kalau begitu aku juga tidak memberitahu permohonanku. Permohonanku harus terwujud bagaimanapun itu!"
Apa yang dikatakan Hiiro menarik perhatian Mei, perlahan perempuan itu bergeser mendekat seperti lupa kejadian berbisik tadi, "Kenapa begitu?"
Mata mereka bertemu, merah bagai permata dan biru bagai samudra begitu kontras, tapi seperti ada sesuatu yang menarik dua warna kontras itu ke satu sama lain. Bagai dipasang magnet mata mereka terus bertaut menanti salah satu berbicara.
"Karena permohonan itu untuk seseorang yang begitu spesial bagiku. Sangat spesial bagaikan malam yang menjadi teman sejati bulan."
Mei tidak menyangka lelaki desa itu bisa sangat puitis menyebabkan semburat merah muncul mempercantik pipi tanpa sepengetahuan sang empu, "Sia— maksudku, semoga permohonan kita terkabulkan ya."
Mei tidak berani bertanya siapakah malam bagi sang rembulan di kisah hidup sang adam. Masih takut akan sakitnya kekecewaan yang akan menikamnya, karena dia tahu dari ratusan manusia yang Hiiro anggap sebagai keluarga dalam hidupnya, Mei hanyalah tamu yang tidak diundang. Tanpa kursi dan tanpa hidangan. Hanya berdiri menatap tuan rumah asik dengan mereka yang Hiiro sebut keluarga.
"Aku harap juga begitu! Sepertinya sudah saatnya pulang, aku akan mengantarmu Mei-san!!" Hiiro mengulurkan tangan siap untuk digenggam. Mei berpikir dua kali sebelum menerima tangan Hiiro, toh nanti mereka juga akan berpisah di depan kediaman Sakuma.
Mei hanya dapat berkata lirih, "Terima kasih, Hiiro."
"Hm? Tadi kamu bilang apa?"
"Ah, bukan apa-apa."
Mei merasa sangat senang malam itu, hanya ada mereka berdua dan ramai Tokyo seperti biasa. Dia tidak ingin hubungannya rusak hanya karena perasaan yang bersifat satu sisi saja. Mei masih ingin bersanding dengan Hiiro, sampai dia menjadi idol yang disebut di segala penjuru dunia. Semoga Dewi keberuntungan memihaknya, dan semoga orang yang lelaki sebutkan dalam permohonan di festival tanabata adalah dirinya. Dia berharap cinta berbuat baik kepadanya, seperti dahulu kala ketika Mei awal mengenal cinta.
═ ═ ═ ╰☆╮ ═ ═ ═
Here's what they really wished:
"AKU HARAP KITA DIPERTEMUKAN PADA CINTA YANG TIDAK MENYAKITKAN."
"AKU BERHARAP MENJADI BULAN YANG DAPAT MENYELAMATKAN MALAM DARI PENJARA BERNAMA KESEPIAN."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top