🎋 ; 𝔾𝕝𝕚𝕞𝕡𝕤𝕖
G L I M P S E
Kamishiro Rui x Kusanagi Nene
Disclaimer : Colour Pallette.
Written by : Callamelatte
"Festival Tanabata?"
Nene mengernyitkan dahi setelah mendegar dua kata tersebut dari Rui, yang menghubunginya lewat telepon seluler, pada tengah-tengah terik siang hari musim panas tersebut.
"Yap, Festival Tanabata." Rui mengulang kalimatnya dengan riang. "Malam ini aku akan mengajakmu kesana, kamu pasti memiliki waktu luang, bukan?"
"Entahlah." Sebuah dengusan pendek keluar dari mulut gadis bersurai green tea itu. "Walau aku ada waktu pun, kau 'kan tahu sendiri aku tidak suka tempat yang ramai-ramai. Aku juga ingin menghabiskan malam ini dengan mengerjakan quest game favoritku yang sempat tertunda karena persiapan ujian semester."
"Tapi Tsukasa-kun dan Emu-kun ikut, lho?"
"Yah, kalau begitu sampaikan salamku pada mereka ya."
"Bukan begitu maksudku, Nene," sanggah Rui cepat. Kini, dia-lah yang menghela napasnya. "Aku mengajakmu kali ini karena setelah dipikir-pikir lagi, kita sudah lumayan lama juga 'kan tidak pergi ke festival tanabata? Jika ingatanku tidak salah, terakhir kali kita pergi sewaktu SD."
Benar kata Rui, mereka memang sudah lama sekali tidak menjejakkan kaki ke festival Tanabata. Terakhir sewaktu mereka berdua masih sangatlah kecil, seingat Nene, pada waktu itu dia menduduki kelas lima SD dan Rui berada di tingkat akhir.
Namun, Nene telah bersumpah pada dirinya bahwa festival tersebut adalah festival terakhir yang ia datangi. Terakhir kali, kenangan festival yang membekas dalam hatinya tidak meninggalkan kesan baik, dan musim panas waktu itu merupakan musim panas terburuk sepanjang masa baginya.
Nene percaya, bahwa Rui selama ini mengetahui alasannya menghindari berbagai acara festival, dan itulah mengapa lelaki tersebut tidak pernah mengajaknya lagi untuk pergi semenjak saat itu. Akan tetapi, mengapa hari ini Rui mendadak mendesak?
"... Sudah katakan, saja. Apa yang sedang sebenarnya kau sedang rencanakan?"
"Hah?" terdengar sebuah nada bingung dari seorang Kamishiro Rui. "Apa maksudmu dengan rencana?"
"Jangan pura-pura lugu! Aku tahu setiap kau mendesakku, kau pasti sedang merencanakan sesuatu, 'kan?!" tukas Nene tanpa ragu.
Bukannya membalas dengan serius, Rui malah tertawa renyah. " Benar-benar deh, Nene. Kau terlalu berpikir berlebihan, aku serius karena ingin jalan denganmu biar aku ada teman. Tsukasa-kun dan Emu-kun pasti akan sibuk sendiri nanti, kau tega membiarkan sahabatmu sendirian menjadi nyamuk?"
"Kau juga biasanya akan sibuk sendiri, dari dulu juga begitu," ungkap Nene sebal.
"Ya ampun, aku janji deh tidak akan meninggalkanmu."
"Tapi ... bagaimana jika malah aku yang kehilanganmu?"
Ada banyak keraguan dalam diri Nene, akan tetapi ia pun akhirnya memutuskan untuk mengungkapkannya karena ingin mendengar reaksi lelaki itu. Barangkali Rui lupa terhadap kejadian yang lalu, kejadian mengerikan itu.
Rui bergeming untuk waktu yang cukup lama, menyebabkan Nene yang tadinya mengapit ponselnya di antara bahu dan telinga, menjadi ia turunkan untuk mengecek apakah sambungan telepon mereka masih tersambung atau tidak. Ternyata sambungan masih berjalan dengan lancar, hanya saja orang yang berada di sebrang sana sama sekali tidak menanggapi apa-apa. Kening Nene mengerut.
"Rui?"
"Ah! Keretaku sudah tiba! Aku matikan dulu ya teleponnya! Pokoknya kau siap-siap saja, nanti sore sekitar pukul empat atau lima akan aku jemput! Sampai jumpa!"
"T-Tunggu! Hei! Rui---"
Tuuuut.
Nene menatap layar ponselnya seiring berdecak sebal, Rui sama sekali tidak menjawab pertanyaanya, bahkan ia-lah yang memutuskan sambungan telepon secara sepihak!
"Dasar menyebalkan, kenapa sih selalu saja seenaknya," gerutu Nene sembari melempar ponselnya ke atas meja kopi secara pelan. Dia pun membaringkan badannya di atas sofa dibarengi dengan helaan napas lelah.
Melihat langit-langit ruang tengah keluarganya yang berwarna putih itu, pikiran Nene menjadi melayang dan membayangkan bahwa yang ada di atasnya adalah hamparan ribuan bintang di langit malam beserta ratusan lampion festival yang tergantung berjejeran, mengedarkan cahaya merah keemasan, melukiskan kehangatan suasana festival yang ramai.
Sayup-sayup dalam imajinya pula, Nene dapat mendengar bising keramaian festival yang terasa khas; sahutan para penjual yang memanggil pengunjung untuk mampir ke stand mereka; tawa dan segala percakapan; langkah kaki berlalu-lalang; serta bunyi kertas-kertas tanzaku tertiup angin malam di pohon bambu.
Juga, sosok Rui cilik yang menggenggam tangan mungilnya erat-erat seiring tertawa lepas, membawa dirinya masuk ke dalam keramaian festival dan menyusup di antara bayangan orang-orang. Sekelebat kenangan indah itu memenuhi angan-angan Nene, sampai segalanya seketika melebur dengan cepat.
Ingatannya berpindah kepada sosok gadis cilik yang menjerit histeris, terdapat sesosok lelaki muda yang tergeletak di atas tanah bermandikan darah tak jauh di depannya. Beberapa pengunjung festival berupaya mencari pertolongan dengan cepat; mencari petugas, menelepon polisi dan ambulans, dan melakukan pertolongan pertama, sisa di antara mereka hanya diam menyaksikan pemandangan mengenaskan itu dengan beragam ekspresi menyedihkan.
Pada waktu itu Nene sama sekali tidak dapat menggapai Rui, seorang wanita dewasa terus menahan tubuh Nene agar tidak mendekat dan berupaya menenangkan isak tangisnya yang tak kunjung usai. Bahkan ketika ambulans datang dan membawa kawan semasa kecilnya tersebut pergi, Nene tetap tidak bisa melihat Rui.
Bagaimana jika malah aku yang kehilanganmu?
Pertanyaan yang tidak sempat Rui jawab itu, kini terus terulang-ulang dalam benak Nene. Menimbulkan rasa cemas bahwa mimpi buruk tersebut akan terulang kembali, lebih buruknya jika ternyata mereka mencapai akhir yang lebih tidak baik.
'Apa kali ini akan baik-baik saja?'
✾✾✾
Rui bukanlah seseorang yang mengingkari janji, alhasil dia benar-benar datang ke rumah Nene pukul empat sore. Statusnya sebagai 'Teman yang paling Nene percaya sejak kecil' membuat lelaki itu tidak perlu sungkan untuk masuk ke dalam kediaman gadis tersebut, ditambah Tuan atau Nyonya Kusanagi sudah benar-benar menganggapnya sebagai anak sendiri.
Jadi, melihat seorang Kamishiro Rui—yang masuk ke dalam rumah mereka tanpa menekan bel di beranda terlebih dahulu dan melesat ke dalam begitu saja seiring mengucapkan salam secara riang—adalah fenomena biasa di rumah tingkat dua milik keluarga bermarga kusanagi itu.
"Nene, kau sudah siap? Aku masuk ya?" sahut Rui disusuli dengan suara ketukan pada pintu bercat putih tersebut sebanyak tiga kali.
"Se-sebentar, jangan masuk dulu! Ah! Aduh, ini gawat ...." Nene buru-buru membalas, setengah bergumam. Suaranya yang terdengar panik menyebabkan kerutan tipis timbul pada kening Rui.
Terdorong oleh rasa penasaran, pemuda itu pun tanpa ragu meraih kenop pintu dan membukanya lebar-lebar, seolah-olah ia sama sekali tidak mendengar larangan Nene sebelumnya.
"Oh?"
Sebelah alis Rui menaik, ia baru saja menemukan pemandangan yang menarik.
Nene—yang berdiri di hadapan cermin panjang di depannya—terlilit oleh Obi (selempang Yukata) dan tampak sangat berantakan, salah satu sisi Yukatanya turun sehingga menampilkan bahu kecil milik gadis itu. Seluruh wajahnya sepersekian detik menjadi merah padam begitu kedua matanya menangkap sosok Rui yang hanya mematung di pintu dengan ekspresi yang jelas menikmati kekacauan ini.
"Ih! Sudah kubilang, jangan masuk!!!" jerit Nene. Ingin sekali ia mendorong Rui untuk keluar kamarnya, akan tetapi dengan posisi terbelit seperti ini, Nene menjadi benar-benar susah untuk bergerak. Bisa saja ketika ia mencoba mengambil jalan selangkah, wajahnya akan langsung mencium lantai.
Tanpa merasa segan, Rui malah tertawa terbahak-bahak, akhirnya dialah yang mengambil inisiatif untuk mendekat duluan. "Kukira kau kenapa, ternyata hanya karena ini toh?"
"Berisik! Ini juga gawat!" dengus Nene, semakin kesal karena merasa diremehkan.
"Aish, sudahlah, sini aku bantu." Lelaki tersebut seketika berjongkok dan membantu gadis yang tengah kacau itu.
Awalnya Rui heran mengapa Nene bisa terlilit seperti ini, tapi setelah mengingat Nene sudah lama tidak mengunjungi festival dan bisa jadi ini adalah pertama kalinya bagi Nene memakai Yukata sendiri, Rui langsung memaklumi segalanya.
Setelah beberapa kali menyuruh Nene berputar, obi-nya pun berhasil terlepas. Sekarang tinggal memakaikannya kembali dengan cara yang benar.
"Memangnya kau bisa mengikat obi?" tanya Nene penasaran.
"Gampang, di internet pasti ada. Toh, selama ini aku juga mengikat obi-ku sendiri, pasti obi pada yukata wanita pun tidak berbeda jauh caranya," balas Rui penuh percaya diri, dia merogoh saku yukatanya, lalu mengeluarkan ponsel. "Ah, ketemu! Pertama-tama ukur dari pundakmu, dan lipat seperti ini ...."
Rui mulai memasuki mode fokusnya; bergumam sendiri dan sama sekali tidak dapat diganggu gugat. Jika sudah begitu, Nene pun hanya dapat membisu, memperhatikan dalam sunyi.
Menurut Nene, aura yang dibawa Rui ketika ia sangat fokus sangat jauh berbeda dari perawakan yang ia tunjukkan dalam sehari-hari. Kesan santai yang biasa terbawa dalam diri lelaki itu seolah lenyap, mata menajam menunjukkan tekad. Nene benci mengakui ini, tapi Rui memang tampak lebih keren dalam posisi tersebut.
"Ah, jangan turunkan lenganmu, Nene," sahut Rui yang membuat gadis itu sedikit tersentak.
"E-eh, ah, maafkan aku ...." Nene sesegera mungkin mengikuti instruksi Rui dengan kikuk.
Rui tertawa kecil, " Tak apa-apa, pasti rasanya pegal. Tetapi tolong tahan dulu ya, tinggal sedikit lagi kok."
"Baik."
Keheningan yang terjadi setelah itu tak berlangsung lama, sebab Rui langsung mempercepat proses pengikatan tersebut. Kini, sabuk obi pada yukata Nene sudah sempurna, dan Rui tampak sangat bangga dengan hasil usahanya.
"Yukatamu jika dilihat-lihat agak kebesaran juga ya."
"Ah ... mungkin karena ini punya ibuku, aku belum sempat membeli yukata baru lagi. Aneh, ya? "
"Enggak. Malah kelihatan manis, kok."
"H-huh?"
Mata Nene membulat, antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Jadi ia terus menatap Rui, memastikan kembali ucapan pemuda itu.
"Kubilang, kau manis." Rui terkekeh, mengerti apa yang dicari oleh Nene. Dia menepuk pucuk kepala gadis tersebut. " Sekarang kau tinggal menata rambutmu, 'kan? Apakah bagian yang ini mau kubantu juga?"
"T-tidak usah! Aku bisa melakukannya sendiri, kok!" tolak Nene cepat.
"Hahaha, oke. kalau begitu aku akan menunggu di sini, ya." Rui tersenyum lebar, dia mendaratkan bokongnya di atas ranjang Nene.
Selama Nene sibuk merias rambut, tiada percakapan lagi di antara mereka. Namun, hati milik keduanya sungguh berisik sampai-sampai mereka takut akan terdengar oleh satu sama lain.
'Apa aku memang manis ...?'
'Ternyata pinggang Nene kecil juga ya ....'
Tak terpungkiri, rona merah yang timbul di pipi mereka tatkala sibuk tenggelam di pikiran masing-masing pun, sama sekali tak terundang pula.
✾✾✾
Atmosfir festival ternyata tidaklah pernah berubah, mereka semua tetap sama seperti dalam ingatan Nene; Ramai, berisik, dan beragam ekspresi yang terlukis pada lautan manusia di sana.
Hanya saja yang berbeda adalah dirinya sendiri, yang tidaklah merasakan euforia sebuah festival seperti sedia kala. Bola matanya terus menyapu kerumunan dengan cemas, merasa sungguh was-was, seolah yakin bahwa di balik kerumunan itu terdapat hal buruk yang menimpa mereka nantinya.
Oleh karena itu, dia tidak akan melepaskan tangan Rui yang tengah ia gengam ini.
"Nah 'kan, Tsukasa-kun dan Emu-kun pasti akan sibuk sendiri." Rui menghela napas memperhatikan kedua sahabatnya tersebut tengah asyik bermain di stand pancing yoyo, Rui percaya setelah ini pun mereka akan keluyuran ke stand-stand bermain lainnya.
"Untunglah ya, aku mengajakmu, Nene—" Kata-kata Rui seketika terhenti begitu menyadari wajah gadis bersurai green tea tersebut sedikit pucat, tangan mungil yang digenggamnya itu pun terasa sedikit bergetar.
"Nene, apakah kau tidak apa-apa?" tanya Rui khawatir.
Nene tersentak. "A-ah iya, aku hanya ... sedikit takut. Bagaimana jika di antara keramaian ini ada orang jahat, seperti dulu?"
Lagi-lagi itu. Rui menghela napas.
Lelaki tersebut sebenarnya mengerti kenapa Nene bisa setakut ini, kejadian yang menimpa mereka dulu sebenarnya pun turut membekas dalam diri Rui.
Dulu sekali, terakhir mereka pergi ke festival, terjadi penyerangan yang mengambil korbannya secara acak, pelaku menerjang siapapun di hadapannya menggunakan pisau dapur yang sudah diasah sangat tajam.
Nene seharusnya saat itu turut menjadi korban, kalau saja dia tidak didorong oleh Rui, dan takdir malang tersebut secara otomatis berpindah tangan.
Sebuah keajaiban memang bahwa dirinya masih hidup setelah tragedi itu, tetapi Rui masih tidak dapat melupakan rasa sakit ketika ujung pisau tersebut menembus ke dalam perutnya. Bahkan setiap melihat bekas luka karena kejadian itu yang masih ada sampai sekarang, rasa perih dan nyeri dari sana seolah timbul kembali ke permukaan. Namun, Rui sudah lama memutuskan untuk tidak memikirkannya, mengecap bahwa dia pada saat itu memang sekadar sedang bernasib sial saja.
Hanya saja Nene-lah di sini yang paling terluka, bukan secara fisik, melainkan batin. Dia memang baik-baik saja pada saat itu, namun melihat Rui yang langsung tergeletak bersimbah darah di hadapannya benar-benar seperti mimpi buruk yang tidak pernah terlupakan. Tak terpungkiri sudah seberapa banyak ia telah menyalahkan dirinya selama bertahun-tahun atas tragedi tersebut.
Tujuan Rui mengajak Nene sekarang pun memang sebenarnya memiliki tujuan tersendiri, dia ingin sekali si gadis melepas bayang-bayang yang kelam itu dan mengembalikan senyum lebarnya yang selalu saja terbit setiap mereka berkunjung ke festival sewaktu kecil. Sudah pasti prosesnya tidak semudah itu, Rui tahu.
"Bagaimana jika kita beristirahat dulu di bawah pohon itu? Nanti kita jalan lagi kalau kau sudah mendingan." Rui menunjuk pohon rindang yang letaknya berada di luar keramaian festival serta tidak jauh dari tempat mereka berada.
"Baiklah." Nene setuju, dia memang merasa perlu menenangkan dirinya sendiri.
Sesampainya di sana, Nene langsung berjongkok seiring menghela napas, membenamkan wajah pada lengannya yang memeluk diri sendiri, berangsur-angsur merasa lega. Dan sementara itu Rui menyenderkan dirinya pada batang pohon, melayangkan pandangan kepada festival tersebut.
'Aku harus melakukan apa untuk membuatmu tersenyum seperti sedia kala lagi, huh?'
Tenggelam dalam pikirannya, Rui mencoba mengorek kenangan-kenangan bersama Nene selama di festival. Dia percaya, pasti ada sesuatu yang spesial yang dapat membuat tujuannya kali ini terwujud.
'Sesuatu yang spesial ... yang pernah membuatnya tersenyum di festival dahulu ....'
"Bukankah Permen kapas itu selalu enak, Rui-kun?"
Suara riang seorang gadis kecil lantas menghampiri benak Rui, membuat lelaki muda tersebut langsung tersadar dalam sekejap.
'Benar! Itu dia!'
✾✾✾
Setelah sekian lama menenggelamkan mukanya, Nene pun mendongak. Rasa cemas miliknya sudah hilang, dia yakin kali ini hatinya bisa melawan semua rasa takut itu sekarang.
"Rui, aku sudah baik-baik saja. Ayo, kita harus kembali ke tempat Emu dan Tsukasa."
Tiada balasan, dan Nene baru tersadar bahwa hanya ada dirinya saja di bawah pohon tersebut.
"Ru ... Rui?"
✾✾✾
'Rui!'
Napas sang gadis tersengal, wajahnya dibanjiri keringat.
Dengan panik yang luar biasa, Nene mencoba menyelip di antara lautan manusia dalam festival tersebut. Entah sudah berapa kali kata Permisi keluar dari mulut si gadis serta Maaf sewaktu ia tanpa sengaja menyenggol beberapa orang.
Kedua matanya terus mencari sosok pemuda tinggi bersurai ungu itu, namun sejauh ini hasilnya nihil.
'Kau kemana, Rui?!' batin Nene frustasi. Dia tidak peduli penampilannya yang kini teramat acak-acakkan karena terus berlari, yang gadis itu inginkan hanyalah menemukan sosok Kamishiro Rui dengan keadaan baik-baik saja.
"Hei, kau sempat lihat? tadi ada seorang kakak berambut ungu yang tertimpa tiang sebuah stand dan dia terluka parah, lho!"
"Iya lihat kok, Kena kepalanya, 'kan? Sumpah banyak benget darahnya, seram. "
Nene yang tak sengaja mendengar percakapan dua anak kecil itu seketika membeku.
'Rambut ungu ... ?'
Dan dia hampir saja ambruk kalau saja tidak bertumpu kepada tiang kokoh yang kebetulan berada di sebelahnya.
Nene menutup mulutnya menggunakan tangan, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Itu pasti bukan Rui, kan?" gumam Nene. "Ya, Rui pasti baik-baik saja, dia tidak apa-apa."
Sayangnya, tidak ada bukti yang kuat untuk keyakinannya itu. Nene sendiri saja tidak tahu di mana Rui sekarang.
Masa sih dia benar-benar akan kehilangan pemuda itu untuk kali kedua?
'Memang seharusnya kami tidak pernah kemari.'
"... Rui ...."
"Ya? Kau memanggilku?"
Nene yang tadinya menundukkan kepala, secepat kilat mendongak dan menolehkan kepalanya ke belakang sampai-sampai lehernya terasa sakit.
Ya, itu adalah Kamishiro Rui. Dengan tampang yang polos, mengenggam sebuah permen kapas dan sekotak takoyaki. Ekspresi bingungnya berangsur berubah menjadi kejut begitu menyadari bahwa pipi gadis tersebut basah oleh bulir-bulir air yang keluar dari matanya.
"Astaga, Kau menangis?! Apa yang sebenarnya terjadi?? Dan bukankah harusnya kau berada di bawah pohon tadi?"
"Harusnya itu pertanyaanku!" Nada Nene meninggi. "Kenapa kau pergi tanpa bilang-bilang sebelumnya?! Aku sampai mencarimu kemana-mana!"
"Oh? ah ... iya, iya, aku lupa memberitahumu, maaf. Hehe."
"Apa maksudmu 'Hehe'?! Padahal kau sudah janji untuk tidak meninggalkanku!" ungkap Nene gondok. Dia pun membalikkan badanya, membelakangi lelaki jakung tersebut, "Sudahlah, kau menyebalkan. Aku membencimu."
'Tahu begini, aku tak usah khawatir!'
Nene berniat untuk pergi setelah mengusap air matanya menggunakan ujung lengan kimono, dia ingin segera pulang karena lelah dengan semua kesia-siaan ini. bAkan tetapi, sebelum sempat melangkah, sebuah lengan besar melingkari bahu Nene, menahannya untuk pergi.
"Maafkan aku." Rui membenamkan wajahnya pada pucuk kepala Nene. "Aku hanya sedang mencari cara agar kau melupakan rasa takutmu."
"...." Nene membisu, akan tetapi itu tidak membuat Rui mundur menyampaikan peraasaanya.
"Kau ingat? dulu wajahmu itu paling bersinar kalau sudah melihat permen kapas, jadi waktu aku kepikiran seperti itu, aku langsung bersemangat untuk mencarinya sampai aku lupa bahwa ada kamu yang saat ini sedang mencemaskanku," jelas Rui. " Tapi hei, kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun, Nene. Sekarang aku di sini dan sehat-sehat saja, bukan? Semenjak kejadian itu, aku selalu berusaha menjaga diriku baik-baik. Percayalah."
Satu detik,
Dua detik,
Tiga, dan sampai delapan. Nene masih belum kunjung merespon.
Rui tahu bahwa gadis tersebut pasti sangat kesal terhadapnya, mungkin itulah yang membuat Nene ogah untuk menanggapi penjelasannya pula. Sehingga Rui hanya bisa pasrah, toh dia memang salah.
'Mungkin dia butuh waktu untuk sendiri, ya?'
Ketika Rui baru saja berniat mengendurkan pelukan tersebut, tiba-tiba Nene membalikan badannya untuk menghadap Rui sekali lagi dan mengalungkan lengannya pada leher pemuda tersebut. Menyebabkan tubuh Rui yang tadinya sudah sedikit mundur menyisakan jarak, menjadi terhuyung dan merekat kembali dengan tubuh seorang gadis yang ukurannya dua kali lebih kecil dari dirinya itu.
"Kau bodoh, Rui." ucap Nene pelan, dan hanya itu yang ia ucapkan.
Tetapi bagaikan bertaut, Rui langsung paham ada makna lain di balik kalimat tersebut. Jadi dia sama sekali tidak tersinggung, malah membalas rengkuhan hangat dari Nene dengan tulus.
"Bodoh-bodoh begini, aku yang menciptakan Robo-Nene untukmu, tahu?" kekeh Rui.
"Kalau kau memang merasa pintar, maka pakailah otakmu sedikit untuk tidak membuatku cemas walau hanya sedetik saja."
"Iya, iya, kalau begitu setelah ini aku akan menciptakan alat perlindungan diri deh."
"Ehhh? woaaaah! Rui-kun dan Nene-chan sedang bermesraan!"
Suara lantang khas Emu lantas langsung membuat Nene mendorong Rui untuk menjauh darinya, pipinya pun menjadi semerah tomat.
"Kami tidak bermesraan!" Sanggah Nene cepat, sementara Rui hanya tertawa, tidak memberikan sama sekali penjelasan.
"Sudah puas mainnya?" tanya Rui kepada Tsukasa dan Emu yang baru saja datang, di tangan Tsukasa terdapat banyak barang—yang Rui percaya, bahwa itu adalah hadiah dari berbagai stand permainan, dan ia juga yakin, barang-barang itu bukanlah juga milik Tsukasa. Tercermin dari seberapa mendungnya wajah lelaki bermarga Tenma tersebut.
"Yah, begitulah," balas Tsukasa sekenanya.
"Ehhh, Tsukasa-kun jangan menangis! Nanti sebagian hadiahku boleh buat Tsukasa-kun, kok!" timpal Emu polos.
"Aku tidak menangis!" sanggah Tsukasa sedikit sensi.
"Tapi kau tadi menangis ketika permen Katunuki kelimamu tadi gagal!"
"Mataku kelilipan!"
"Tapi bibirmu manyun! Kamu pasti sedih sekali!"
Dan mulailah debat antara Emu dan Tsukasa seperti biasa, yang selalu sukses membuat Nene ataupun Rui hanya diam memperhatikan mereka. Ini adalah fenomena biasa yang terjadi antar anggota WXS.
"Ngomong-omong, kawan-kawanku! Bagaimana jika sekarang kita menggantung kertas Tanzaku di pohon bambu? Aku dan Tsukasa-kun sudah mengambilkan kertasnya! Tenang, bagian kalian pun sudah diambil oleh kami juga,kok!" Emu merogoh saku Yukatanya lalu menyerahkan kertas Tanzaku kepada Rui dan Nene, masing-masing satu.
"Waaah, Terima kasih, Emu-kun! Kau perhatian sekali," puji Rui setelah menerima kertas kecil tersebut.
"Hehe, terima kasih kembali~ sekarang ayo tulis-tulis~ Oh iya, pulpennya cuma satu, jadi kita pakai bergantian saja ya! Mulai dari Tsukasa-kun! Hei Tsukasa-kun, Apa permohonanmu?"
"Bodoh, Mana mungkin aku mau kasih tahu??"
"Heee, kau pelit sekali! Sini! Aku juga mau lihaaaat!"
"Aish! Kalau kau menempel padaku seperti itu, aku jadi susah nulis, nih!"
Sementara Emu dan Tsukasa heboh sendiri, Rui diam-diam melirik Nene yang sedari tadi sunyi, jauh berbeda dengan kedua orang yang selalu saja heboh tersebut.
Si Gadis bersurai green tea itu tengah memandangi kertas Tanzakunya yang masih kosong dengan sorotan serius, mungkin saat ini dia sedang berpikir keras apa yang akan hendak ia tulis di sana.
Rui tersenyum simpul, jika bertanya apa yang dia harapkan, sudah pasti hanyalah itu.
✾✾✾
"Nene, sini kertasmu, biar aku bantu gantungkan."
"Apakah kau janji tidak akan mengintip isi kertasku?"
"Kenapa? Kau mengharapkan sesuatu yang aneh-aneh, ya? Apa jangan-jangan sesuatu berbau mesum?"
"Ngawur! Ah, sudahlah. Nih. Pokoknya jangan ngintip, lho ya."
"Iya, iya."
Bohong, sebenarnya Rui membaca isi kertas Tanzaku milik Nene selagi ia menggantungkan kertas-kertas milik mereka.
'Semoga aku bisa menjadi lebih kuat sehingga dapat melindungi Rui.'
Dan sudah pasti senyum langsung saja mengembang pada wajah Rui setelah membacanya. Siapa sangka jika mereka ternyata mengharapkan sebuah hal yang sama?
- E N D -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top