🎋 ; ℍ𝕚𝕣𝕒𝕖𝕥𝕙
💭; Sugawara Koushi x reader
R-EVERIE
notes:
- all characters belongs to Haruichi Furudate sensei
- reader's POV
- angst
- narrative
- flashback
• do not plagiarize, ok?
• could be OOC, i'm sorry for my mistake here.
• non-sense plot, again, i'm sorry for my mistake here.
✧ .. 🎏
Hari ini, 7 Juli menempel lekat dalam ruang memoriku. Mengilas balik kejadian yang telah terjadi dengan menatap jarum jam yang berjalan, aku mendesah pelan selepas jarum panjang berhenti pada angka selanjutnya.
Aku terdiam hingga manikku melesat tepat pada jendela, dari dalam rumahku bahkan bisa terdengar lantunan gelak yang menggema dari gadis yang berjalan di luar sana.
Semakin lama aku melamun, semakin dalam pula aku tenggelam dalam nuansa pedih yang menyesakkan. Kian harinya rasa ini terus kembali tanpa memberi tanda, rasa yang aku benci namun pada akhirnya aku mengerti kalau rasa ini tak akan berhenti mengantuiku.
Sampai kapan pun, karena ini adalah sebuah karma.
Aku benci dengan karma ini, sangat benci. Namun inilah hasil dari apa yang telah aku tuang, aku pantas mendapatkannya. Aku marah dengan diriku sendiri karena aku terlambat menyadari kesalahanku, dan bodohnya, sebelum dia melontarkan resah, aku diam tanpa merasa bersalah.
Di mana letak sisi kemanusiaanku?
Batinku berkata sedemikian rupa setiap mengingat apa yang sudah terjadi. Kau tahu? Saat ini rasanya aku tak mengerti harus apa. Aku menghilangkan kepercayaan dan cinta dari orang yang sangat penting bagiku.
Bolehkah aku sedikit bercerita? Ini tentang penyesalanku dan 7 Juli, bermula dari pertemuan kami yang singkat dan manis hingga akhirnya terjebak dalam asmaraloka berdua. Sebuah pertemuan spesial, namun aku sama sekali tak dapat menebak bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupku.
Waktu itu tepat kala swastamita mengambang, aku bertemu dia yang berkutat dengan alat tulisnya— dalam ruang kelas. Lantas kala itu aku menggeret salah satu bangku dan menghampirinya. Wajahnya yang serius dengan rentetan soal menjadi satu-satunya hal yang menarik atensiku. Namun, seutas kurva menghantui saat detik itu kami bersitatap. Memandang satu sama lain.
"Ada apa, [Name]?" kendati bertanya.
Aku yang sedang terduduk merasa gugup, debaran dalam dada sungguh tak tertolong. Hanya sebatas kontak mata membuatku salah tingkah di hadapannya.
"Wajahmu merah, salah tingkah, ya?"
Suara ringan itu dengan mudahnya mengirim sinyal aneh pada sekujur tubuhku. Jantungku sudah menggila, panas yang hadir di permukaan wajahku pun saat itu pasti sudah bukan main.
"Berhenti menggodaku, Koushi!" ujarku sembari menangkup separuh wajahku dari sebalik telapak tangan.
Sang pemilik nama tergelak sebelum akhirnya ia memutuskan untuk merapihkan alat tulisnya. Akhirnya ia yang bernama Koushi menangkup jemariku dalam jemarinya, aku tahu jelas dia menatapku dengan mimik seperti biasanya. Manik teduh yang menenangkan serta senyum tulus yang terpampang dari birainya, membawa kagum dan pesona pada seseorang yang berada di hadapannya.
"Ayo pulang."
Itu salah satu momen yang senantiasa berada dalam ruang anganku. Singkat memang, jika boleh aku ingin memutar waktu kembali untuk bertemu lagi dengannya. Ruang kelas yang sepi dengan semilir angin senja yang sejuk, kini kisah berlanjut saat hari di mana ujian masuk universitas mulai dekat. Kurang lebih lima bulan setelah momen berdua saat senja, aku dan Koushi fokus pada tujuan kami masing-masing.
Aku meminta Koushi untuk menghentikan hubungan spesial kami dalan jangka waktu sementara, entah sampai kapan aku pun tak memberi kepastian. Dan bodohnya aku menghindari komunikasi dengan Koushi. Kian kali ia bertegur sapa denganku aku tidak menjabahnya.
Kalau kamu bertanya, atas dasar apa aku melakukan hal ini pada kekasihku? Karena aku merasa tersaingi, entah sejak kapan aku menganggap pencapaian yang diraih oleh Koushi adalah bentuk ancaman bagiku. Aku terbuai oleh prasangka buruk, mengingat Koushi merupakan anak yang memiliki bakat di banyak hal—terutama akademis, tanpa aku sadari aku mulai membandingkan diriku dengan Koushi.
Seperti yang aku jelaskan sebelumnya, kami putus komunikasi. Dan pada akhirnya, keresahan mengalahkan prasangka baikku padanya. Berujung pada tumbuhnya rasa tak percaya pada Koushi, aku berpikir hal yang tidak benar, mulai dari Koushi menggunakan cara curang untuk mendapatkan pencapaian, hingga prasangka bahwa Koushi adalah pria yang diam-diam memiliki niat jahat tertentu padaku.
Aku tahu aku jahat, kenyataannya Koushi bukan pria yang seperti ada di bayanganku.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Dua hari setelah ujian berakhir, hasilnya belum aku dapatkan. Saat itu pula, Koushi mengajakku bertemu setelah sekian lama. Jujur saja, saat itu aku merasa terganggu. Aku berpikir, dia hendak memamerkan hasil dari ujiannya. Namun akhirnya aku menerima ajakannya untuk bertemu di sebuah taman saat siang hari.
"Apa aku melakukan kesalahan padamu, [Name]?"
Perkataan itu menjadi pembuka di tengah kebisuan kami. Aku yang hanya diam, mengalihkan pandangan darinya.
Perasaanku begitu meledak-ledak, saat itu aku benar-benar ingin berteriak mengungkapkan segala ricuh dari dalam kepala. Presensinya menatapku sendu, sebelum akhirnya berujar, "tolong katakan dengan jujur padaku, katakan bila aku melakukan kesalahan."
Sebagian dari diriku merasa dibakar oleh amarah yang tak jelas dari mana asalnya, namun sebagian pula merasa aku melakukan kesalahan. Aku telah buta karena pikiran negatifku sendiri, dan akhirnya aku mengatakan kata-kata yang tak pantas padanya. Sebuah sarkasme, kemudian kritik yang seharusnya tak ada.
"Untuk apa kamu mengajakku kemari? Untuk pamer keberhasilanmu dalam ujian?" ucapku.
Koushi menatapku dengan matanya yang telah membulat sempurna. Nampak jelas, alisnya berkerut menandakan betapa terkejutnya mendengar apa yang telah aku katakan.
"Baiklah, kemarikan lembarnya. Setelah itu aku akan bertepuk tangan dengan keras, sesuai dengan apa yang kamu inginkan."
"Ada apa denganmu, [Name]?"
"Apa? Kamu tidak mau memberikannya? Kenapa? Berubah pikiran?"
Koushi terdiam mendengarnya. Rupanya dipenuhi dengan kesenduan, rambutnya yang mengkilat di bawah langit biru bertebaran asal tatkala semilir angin dengan kerasnya berhembus ke arah kami. Dia mengecilkan suaranya kemudian bertanya padaku, "[Name], aku minta maaf bila aku melakukan kesalahan. Aku sungguh minta maaf, kalau kamu ada masalah, tolong jangan kamu diamkan saja. Aku ada di sini."
Aku acuh dengan pernyataan yang sebenarnya adalah bentuk dari kesayangan Koushi padaku, untuk mengembalikan hubungan kami seperti semula. Aku mengerutkan dahi samar, aku tak pernah melihat Koushi seperti ini. Semesta begitu pandai membuat skenario yang akhirnya akan menjungkirbalikkan kondisiku. Jika saja waktu itu aku tidak mengatakan hal yang tidak pantas seperti saat itu, mungkin saat ini hidupku akan lebih bahagia.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
7 Juli, tanabata hadir menyambut penjuru manusia di Jepang. Dan di saat itu, aku kembali bersitatap dengan Koushi, mengitari jajaran aspal yang berisi dengan puluhan manusia. Canggung, setiap perjalanan hanya kami isi dengan konversasi dari insani lain yang saling tumpang-tindih.
"Kamu lulus, 'kan?" tanyaku.
Koushi mengangguk.
"Selamat, aku juga lulus."
"Selamat, [Name]."
Konversasi yang singkat, bukan? Aku yakin saat itu Koushi masih bingung apa yang terjadi hingga hubungannya merenggang seperti ini. Aku tidak berpikir Koushi meninggalkan rasa kecewa padaku saat itu, namun tetap saja tak mengubah fakta aku mematahkan hatinya karena prasangka yang bahkan tak benar.
Saat itu aku masih dipenuhi dengan pikiran negatif, walau tak sepenuh sebelumnya namun tetap aku tak bisa berdamai dengan pikiranku. Aku sudah tak tahan, semuanya berenang dalam kepala. Saat itu pula, aku membuat keputusan yang membuatku menyesal hingga berbulan-bulan.
"Kita akhiri saja hubungan ini."
Koushi di sampingku menatapku semu, bukan ekspresi bahagia atau sedih yang ia tunjukkan, melainkan kekosongan. Dan itu adalah pertama kalinya, saat aku menatap wajahnya, dia menghindari menatapku balik. Seolah membuang mentah-mentah perhatian yang aku berikan.
Mungkin aku dari masa lalu akan terkejut melihat dengan mudahnya aku menjabarkan kalimat berisiko itu pada orang yang senantiasa memberiku cinta dan kepercayaannya, juga orang yang disayangi pula.
"Sudah kuduga akan jadi seperti ini."
Langkah kakinya berhenti tatkala mengucapkan jawaban.
"Mungkin aku memang bukan sosok yang bisa menjagamu, namun terima kasih untuk semuanya. Mungkin kamu jenuh mendengarnya, aku minta maaf juga atas kesalahanku, saat itu aku pikir kamu memang butuh waktu untuk fokus dengan tujuan dan cita-citamu, jadi aku tak berani untuk mengganggu."
Aku ikut menghentikan langkah dan berdiri di hadapannya, memperhatikan presensinya dengan seksama.
"Tapi aku ikut senang sekarang kamu diterima pada kampus yang kamu idamkan, setidaknya kamu bahagia dengan kondisimu. [Name], mungkin kita akan benar-benar berpisah mulai sekarang pula, aku akan menempuh pendidikanku di Singapura. Maka, supaya tak menyesal aku akan mengucapkan perpisahan sekarang. Selamat tinggal, [Name], aku harap kamu baik-baik saja di sini."
Sugawara Koushi, aku sungguh menyesal membuat keputusan sepihak seperti itu. Sekarang entah bagaimana kabarnya di tanah yang tak pernah kuranah, aku harap dia baik-baik saja. Setelah kepergiannya dan kesadaran yang memunculkan penyesalan padaku, tanabata terasa begitu menyakitkan.
Koushi, aku tak mungkin menuliskan namamu untuk kembali padaku di kertas permohonan. Aku tak mau Tuhan membuatmu kembali padaku, yang sudah jelas buruknya. Aku malu. Aku harap kamu bisa menemukan dan bahagia dengan perempuan selain aku, yang hanya bisa melukaimu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top