9
Next Chapter, Vote 2k.
***
Ponsel Lyo berkedip tanda ada notifikasi masuk. Segera gadis yang baru selesai mandi itu meraih benda tersebut. Sebuah nomor asing yang ditebaknya berasal dari Bara.
Sudah sampai di rumah?
Sudah barusan
Sudah mandi?
Sudah, kenapa?
Nggak, biasa perempuan yang baru mandi itu wangi. Apalagi kalau keramas, isi kepalanya lebih fresh.
Lalu apa hubungannya dengan kamu?
Minimal kita bisa bicara dengan santai
Apa yang mau kamu bicarakan?
Tentang besok
Jangan lama-lama. Ada banyak tugas yang harus kukerjakan, kepalaku juga sakit. To the point saja.
Kalau begitu mending kamu istirahat saja.
Lalu besok jadi alasan kamu untuk menghubungi aku lagi? Selesaikan sekarang. Kamu mau ketemu dimana!
Kamu galak juga. Kelihatan banget bataknya. Kamu suka makan apa?
Udah tahu galak. Aku bisa makan apa saja.
Baik kalau begitu, kita ketemu di Istana Koki. Aku akan reservasi sebuah ruangan untuk kita berdua.
Ngapain dalam ruangan? Itu tempat kan gede banget. Makan dimana juga bisa.
Jangan lupa aku suka privacy, tidak suka kalau lagi makan ada gangguan.
Kamu jangan kegeeran deh, siapa juga yang mau ganggu. Aku nggak mau kalau dalam ruangan khusus.
Kenapa?
Aku tahu siapa kamu, bisa-bisa aku keluar dari sana nggak utuh lagi.
Kamu kira aku kanibal, yang suka makan orang?
Aku nggak bilang, tapi kamu yang ngomong.
Bisa nggak sih, kamu itu tidak mancing emosi aku?
Bisa aja, dengan syarat kamu jangan menghubungi aku. Gampang, kan?
Sayangnya aku tertarik sama kamu.
Rasanya banyak perempuan diluar sana yang suka sama kamu, jadi itu bukan alasan.
Aku tidak berpikir dari sisi mereka. Aku hanya berkata dari sisiku.
Error kamu
Kalau nggak error aku nggak akan berani ajak kamu makan siang.
Kamu sudah menghabiskan waktuku hanya untuk bicara hal yang yang nggak penting.
Temui aku di Restoran itu, saat jam makan siang. Dan pastikan kamu sendirian.
Aku akan datang, kalau kita makan area terbuka
Aku yang mengatur pertemuan kita, ingat kamu yang berutang.
Nggak usah sok nagih utang ke aku, kalau yang kamu lakukan juga sangat mudah. Aku kan sudah bilang akan bayar. Kamunya aja yang nggak mau. Laki-laki kayak kamu memang modus.
Meski mudah, kamu tidak bisa kan? Jadi jangan merendahkan hasil pekerjaan orang lain. Satu lagi aku nggak kekurangan uang, jadi nggak usah menawarkan hal itu. Aku laki-laki yang punya penghasilan lebih dari cukup.
Ya sudah, terserah kamu. Aku mau mengerjakan tugas-tugasku.
Ok, Ruang Ganthara 1. Aku tunggu jam 12.30
Ok.
Dengan kesal Lyo mematikan ponselnya.
***
Kumasuki area Istana Koki. Sebenarnya ini adalah salah satu jaringan restoran milikku. Yakin bahwa Lyo pernah kemari, dia tahu bagaimana suasana restoran ini. Dan kami akan makan di ruang kerjaku nanti. Karena memang tidak ingin jika salah seorang 'teman dekat' mengetahui kebersamaan kami. Bisa gawat. Tapi tentu saja gadis itu tidak tahu kalau aku adalah pemiliknya. Karena dia memang bukan tipe perempuan yang mau tahu tentang banyak hal.
Aku sudah mempelajari buruanku dengan baik. Baginya berada dalam kondisi nyaman sudah cukup. Sebenarnya cukup aneh kalau dibandingkan dengan perempuan sekarang. Masih ada lima belas menit lagi sebelum waktu yang ditentukan. Kumasuki lift menuju lantai tiga. Restoran ini sebenarnya memiliki beberapa ruangan besar yang biasa digunakan untuk Wedding dan kegiatan pertemuan lain. Jadi memang tidak ada ruang untuk makan berdua. Itu hanya akal-akalanku saja.
Dengan mengusung makanan citarasa khas Indonesia. Dimana orang yang rindu makan papeda sampai Dendeng Balado bisa makan disini. Tempat ini juga dilengkapi dengan area parkir yang luas dan sarana permainan anak. Posisinya yang terletak ditepi sungai membuat suasana tidak terlalu panas.
Sesampai di ruangan, kubuka CCTV. Memperhatikan mobil yang masuk ke area parkir. Sampai kemudian kulihat kendaraan milik Lyo datang. Segera kuhubungi staf yang ebrtugas disana.
"Mobil B 2243 LYH langsung arahkan untuk parkir di samping mobil saya. Lalu antar ke ruang kerja." Perintahku pada petugas security.
Tak sampai sepuluh menit, pintu ruang kerjaku diketuk. Aku tahu bahwa Lyo sudah berada dibaliknya. Kubuka pintu menggunakan remote control. Dan cukup kaget karena gadis itu datang dengan pakaian apa adanya. Sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia akan makan siang denganku. Benar-beanr berbeda dengan perempuan lainnya. Kututup pintu, ia terlihat kaget saat tahu kalau pintu telah terkunci secara otomatis.
"Apa kamu nggak punya pakaian lain, untuk makan siang?" tanyaku.
"Kalau mau makan, ya makan saja. Aku sudah bilang hari ini aku sibuk."
"Paling tidak seharusnya kamu menghormati orang yang mengundang." Balasku tajam. Karena memang tidak suka melihat penampilannya.
Kutatap tubuhnya sambil duduk diatas meja kerja. Sebuah dress polos berwarna biru tua berlengan pendek dan bagian leher yang tertutup. Flat shoes berwarna taupe dan sebuah tas yang cukup besar. Rambut panjangnya sama sekali tidak disisir rapi. Diikat satu asal-asalan.
"Kamu mau makan apa?" tanyaku akhirnya.
"Apa saja yang cepat bisa dihidangkan. Aku ada janji dengan professor Ahmad setelah ini."
"Kalau begitu aku memilih kepiting telur saus padang." Ucapku sambil tersenyum. Ia melotot seketika, dan satu yang akhirnya kusadari, bola matanya sangat indah meski berada dibalik kacamata.
"Aku makan yang lain saja." Jawabnya.
"Kamu harus coba, Kepiting disini adalah kepiting Bakau yang didatangkan khusus dari Papua."
"Aku alergi kepiting. Ketemu sausnya saja sudah bisa membuatku masuk rumah sakit." Jawabnya tegas.
Baru kusadari kalau ia masih berdiri. Entah kenapa, posisi itu terlihat membuatnya semakin menarik. Sengaja kudekati untuk mencium aroma parfumnya. Jean Paul Gaultier, Scandal By Night Intense Women. Lumayan juga pilihannya. Bukan jenis murahan, untuk sekelas calon dokter. Kuserahkan daftar menu.
"Kamu pilih, silahkan duduk." Ucapku akhirnya.
Kali ini ia menurut, tidak membaca seluruhnya. Ia sudah menentukan pilihan.
"Nasi rames Manado. Minumnya teh hangat."
Segera kutekan tombol dan memesan. Sebenarnya berharap agar ia memesan menu lain. Tapi kali ini aku tidak ingin berdebat. Saat aku menatap, ia mengeluarkan sebuah tablet yang cukup besar dari tasnya. Tanpa mempedulikan aku, segera asyik membaca sesuatu. Sampai kemudian aku kesal, dan menarik tablet tersebut dari tangannya.
Mata itu melotot tak suka.
"Sini'in tabletku."
"Kamu kemari mau makan, bukan mau belajar."
"Makanannya juga belum datang."
"Satu menit lagi." Ucapku tak mau kalah sambil meletakkan tablet dibalik punggung. Ia meremas tangannya tanda kesal, semburat diwajah membuatnya semakin cantik.
Kali ini ia memilih diam, entah karena sudah lelah melawan. Tapi kunikmati kemenangan sesaat ini. Tak lama pintu diketuk, pesanan kami datang. Para waitress menyiapkan semua di meja. Termasuk makanan pembuka yang menurutku cukup segar. Salad Alpukat dengan saus lemon dicampur madu.
"Silahkan makan." ucapku.
Ia menurut dan mulai memakan makanannya. Sedikit mengerenyit saat memakan salad.
"Kenapa?" tanyaku.
"Not bad."
"Terima kasih atas pujian kamu."
Kemudian ia melanjutkan makan namun kali ini matanya menatap sekeliling.
"Ini seperti ruang kerja."
"Tuh kamu pinter, bisa membedakan ruang kerja dengan ruang pertemuan."
Kembali ia diam dan menghabiskan makanannya. Baru kemudian meraih piring berisi makanan utama.
"Besar sekali porsinya?"
"Ini memang sesuai standar disini. Tapi nasinya sedikit kan?"
"Iya sih."
Satu yang kusuka ia menghabiskan makanannya, meski terlihat bersusah payah.
"Kamu mau apa sebagai penutup?"
"Sorry, aku sudah kenyang. Perutku tidak bisa menerima lagi. Dan tidak baik makan terlalu kenyang. Aku mau pulang sekarang."
"Kamu akan sangat tidak sopan kalau meninggalkan aku saat belum selesai."
"Aku buru-buru, Bara."
"Sebesar apa keinginan kamu untuk cepat lulus."
"Sebesar keinginanku untuk mengabdi sebagai tenaga kesehatan."
"Tidak berniat menghabiskan masa internship di kota besar?"
"Sama sekali tidak, aku sudah memilih Papua."
Aku cukup kaget dengan jawabannya.
"Terkontaminasi Dokter Ettore?"
"Tahu darimana kamu namanya?"
"AKu menjadi donator tetap pada salah satu yayasan tempatnya bernaung."
Matanya menatap tak percaya.
"Meski namaku begitu buruk dimata kamu, tapi aku tidaklah sehitam itu." Lanjutku. Ia hanya diam, kunikmati makanan penutup sendirian. Begitu aku sampai pada suapan terakhir, ia segera berkata.
"Kembalikan tabletku."
Kuangsurkan benda tersebut padanya. Kembali Lyo membenahi kacamata yang bertengger lalu kemudian berdiri.
"Utangku sudah lunas, aku mau pulang sekarang."
Rasanya memang tidak bisa menahan langkahnya lagi. Aku berjalan mendahuluinya dan membuka pintu.
"Terima kasih untuk makan siangnya." Ucapnya sopan saat akan melewatiku.
"Sama-sama. "
Tanpa menoleh lagi ia pergi keluar dan memasuki lift. Kutatap tubuhnya sampai pintu lift tertutup sempurna. Namun tak sekalipun ia menatapku. Benar-benar memiliki pertahanan yang bagus.
"Bersihkan ruangan saya." Perintahku pada staf melalui intercom. Sementara mataku masih menatap sosok yang baru saja berlalu melalui CCTV. Bagaimana ia bersikap ramah pada petugas yang ditemui. Kemudian memasuki mobil dengan anggun.
Rasanya waktu berlalu sangat cepat. Aku tidak bisa mendeskripsikan keinginan terhadapnya saat ini.
Merasa kesepian akhirnya aku menghubungi Dinda. Dia adalah perempuan yang paling mengerti akan suasana hatiku.
"Kamu dimana?"
"Sedang ada acara dengan teman, kenapa?"
"Kalau sudah selesai, ke resto ya."
"Agak sore, ya. Kami baru mulai."
"Kalau begitu aku tunggu di apartemen."
"Ok."
***
Berlari kecil Lyo menuju ruang praktek Ettore.
"Sore, Dok. Lolos ya."
Pria berkulit gelap itu segera bangkit dan mendekat, menerima uluran tangan Lyona. Memberikan senyum penuh bahagia. Ia akan berangkat ke Afganistan.
"Ya, salah satu mimpi saya untuk bergabung dengan organisasi dokter dalam skala internasional akan terwujud. Terima kasih atas doanya."
"Sama-sama, kapan berangkat?"
"Masih akan mengurus dokumen perjalanan dulu. Kemungkinan musim dingin ini."
"Aku akan kehilangan teman bicara."
"Ada Dokter Akandra dan masih banyak lagi. Ini mimpi terbesar saya Lyo. Dan saya akan belajar banyak untuk memanage sebuah organisasi besar disana. Ilmu itu yang akan saya bawa pulang kembali kemari nanti."
"Tidak ingin berkarier disana, Dok?"
Ettore menggeleng, "tempat terbaik untuk berkarier dan memperjuangkan impian adalah negara kita sendiri. Kamu tahu kan, bagaimana Indonesia dengan kondisi hutan yang rusak serta berada pada lempeng Eurasia dan Pasifik yang selalu bergerak. Kita juga dikelilingi oleh cincin api pasifik. Banjir, gempa dan letusan gunung bisa terjadi kapan saja. Indonesia butuh kita, tapi dengan isi kepala yang penuh keinginan untuk berbakti pada bangsa sendiri.
Belajarlah dengan baik, agar kamu juga bisa berbakti untuk tanah air kita sendiri. Mencari uang itu penting, tapi berbagi untuk sesama juga sangat penting."
***
Happy Reading
Maaf untuk typo
15121
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top