8
Serra memeluk Ben yang memiliki tubuh menjulang.
"Mama kangen sama kamu."
"Aku juga, kangen sama masakan mama. Papa mana?"
"Di rumah. Ada beberapa bagian istal yang harus diperbaiki."
Perempuan yang masih sangat cantik diusia setengah abad itu menatap putranya dengan penuh rasa rindu. Ben memeluk pinggang sang ibu sementara Bara memeluk pundak adiknya. Mereka memang jarang bertemu.
Ben dan Bara secara fisik tampak berbeda. Jika Bara mewarisi wajah sang ayah, dan kulit putih dari sang ibu. Maka Ben sebaliknya. Ia memiliki wajah Serra secara mutlak, namun berkulit gelap seperti sang ayah, Arryan.
Kesamaan mereka adalah kesukaan pada Tatto. Meski milik Ben belumlah sebanyak kakaknya. Masih sekedar dipunggung. Namun kulit gelapnya justru membuat banyak perempuan yang melirik seperti saat ini.
"Fans lo udah banyak tuh." Ucap Bara.
"Nggak suka perempuan Indonesia." Jawab Ben jujur.
"Apa kalian nanti mau memberikan perempuan berambut pirang untuk jadi menantu mama?"
Keduanya tertawa, "masih terlalu jauh ma. Belum ingin menikah. Papa saja menikahi mama sudah umur lima puluh tahun." Jawab Bara lugas.
"Jangan meniru papamu, tidak baik." Protes Serra. Membuat kedua putranya tertawa.
***
Kedua kakak beradik itu memasuki klub. Beberapa orang yang mengenal Ben turut menyapa. Hanya membalas sekilas, pria muda itu segera memasuki ruang kerja sang kakak. Duduk dikursi yang biasa diduduki Bara. Mencoba mencari sesuatu yang menarik perhatian. Sampai kemudian ia menemukan sebuah coretan kertas berisi sebuah nomor ponsel.
Keningnya berkerut, bukan kebiasaan Bara menuliskan angka disebuah kertas. Biasanya kakak laki-lakinya itu adalah orang yang sangat berhati-hati. Iseng diraihnya ponsel miliknya kemudian menyalin nomor tersebut. Kemudian menghubungi. Cukup lama sampai kemudian diangkat.
"Hallo." Sebuah suara yang cukup renyah diujung sana.
"Hallo, bisa bicara dengan Tira?"
"Maaf salah sambung."
"Oh maaf kalau begitu, saya sudah lama tidak pulang ke Indonesia. Mungkin memang saya salah mendial."
Suara diseberang sana terdiam sejenak. Namun kemudian menjawab.
"Nggak apa-apa. Nomor kamu memang bukan Indonesia."
"Ya, maaf saya bicara dengan siapa?"
"Lyona, kamu boleh panggil saya Lyo. Tapi maaf, saat ini saya sedang sibuk. Jadi tidak bisa berbincang lama."
"Kalau begitu, seharusnya saya yang meminta maaf karena sudah mengganggu. Senang berkenalan dengan kamu Lyona. Saya jadi punya teman di Indonesia. Kamu boleh simpan nomor saya, nama saya Ben."
"Ok, Ben."
Ben kemudian meletakkan ponselnya kembali diatas meja.
"Menghubungi siapa?" Tanya Bara.
"Lo aneh, taruh nomor sembarangan diatas meja."
Sang kakak mendekat, kemudian segera menyadari nomor Lyona yang tertera disana.
"Lo hubungi dia? Galak kayak macan."
"Nggak ah, dia ramah. Dan suaranya bisa bikin gue horny malam ini. Pacar lo?"
"Bukan, sesorang yang mengganggu ketenangan hidup gue."
"Gue nggak butuh penjelasan selanjutnya. Apa berarti kita akan bersaing?" selidik Ben.
"Nggak, lo boleh ambil dia." Balas Bara datar.
Sang adik menatap wajah kakaknya.
"Bisa aja sih, tapi lihat muka lo yang sekarang, kayaknya gue nggak bakal tega."
"Umur dia diatas lo."
"Perempuan lebih tua itu jauh lebih menarik daripada seusia. Mereka lebih matang dan suka memimpin, gue suka."
Bara hanya menatap sang adik tajam. Namun tidak mengatakan apapun lagi. Kemudian membiarkan Ben meracik minumannya sendiri. Sementara sang adik hanya tersenyum sinis.
***
Lyo tengah membenahi kartu pasien saat Dokter Ettore memasuki ruang praktek.
"Kok bukan perawat saja yang mengerjakan, Ly?"
"Nggak apa-apa, Dok. Sambil ngeliat statusnya."
"Kamu masih harus banyak belajar. Tertarik untuk jadi volunteer?"
"Banget."
"Tapi disini nggak ada uangnya, Ly. Hanya ada kepuasan."
"Nggak semua bisa diukur oleh uang, Dok. Kadang bisa ditukar dengan kebahagiaan."
"Oh ya, saya sedang melakukan tahap wawancara akhir untuk Medicins Sans Frontieres. Doain ya,"
"Saya nggak pernah dengar , Dok."
"Sebuah organisasi kemanusiaan medis internasional yang memberikan bantuan kepada masyarakat korban konflik bersenjata, epidemic dan bencana alam."
"Bertugas dimana?"
"Untuk Afgantistan. Hanya sebagai expert Doctor. Jadi tugas kami nanti mendampingi dokter setempat disana. Kamu tahulah bagaimana kondisi negara mereka yang sedang konflik. Para dokter muda membutuhkan bimbingan dari yang lebih senior. Jadi kami akan memberikan pelatihan medis bagi para dokter, perawat dan juga yang terkait di dalamnya."
"Nggak takut, Dok?"
"Takut apa?"
"Mati dibawah todongan senjata atau kena bom?"
Ettore tertawa,
"Nyawa itu urusan Tuhan Lyo. Tugas manusia hanyalah menjalani hidup sebaik-baiknya. Kamu tertarik?"
"Nggak seekstrim itu sih. Lebih tertarik terjun ke bencana alam atau masalah sosial. Bukan untuk maju di medan perang. Saya tidak seberani itu."
"Kamu tidak akan tahu sebesar apa kemampuan kamu kalau belum mencoba. Setiap orang harus naik kelas. Tidak baik kalau kamu berkutat disini terus."
"Saya kan belum jadi dokter beneran, Dok. Lagipula orangtua pasti nggak mengijinkan."
Dokter Ettore hanya tersenyum. Lyo membalas senyuman itu. Ada sedikit debar dalam dadanya. Namun buru-buru menampik. Dokter Ettore jelas-jelas mengesampingkan kehidupan pribadi untuk tujuan hidupnya.
"Nanti siapa yang menggantikan dokter disini?"
"Dokter Akandra akan menjadi penanggung jawab. Kebetulan dia juga memiliki klinik sejenis, sudah spesialis juga. Dan ada beberapa dokter lain nanti yang bertugas bergantian."
"Berapa lama disana?"
"Belum tahu, kalau nanti lolos baru kita bisa bicara waktu. Saya cuma minta kamu baik-baik disini. Selesaikan pendidikan kamu. Ingat menjadi dokter itu tugas terutama adalah membantu sesama manusia. Agar apa yang kamu pelajari tidak sia-sia."
"Siap, Dok."
Keduanya tersenyum dan kembali pada pekerjaan masing-masing.
***
Sore itu, selesai bertugas di rumah sakit Lyo bergegas pulang. Kepalanya terasa sakit karena kurang tidur. Akibat mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk. Mengerti akan kondisi yang kurang baik, ia berusaha menyetir dengan sedikit lebih lambat. Sampai kemudian tiga puluh menit kemudian mobil yang dikendarainya berhenti secara mendadak.
Mencoba menstater kembali berkali-kali, namun selalu gagal. Kesal, sedih marah membuat gadis itu menangis diatas kemudi. Mencoba menghubungi Daud namun tidak diangkat. Sementara papanya masih berada di Jambi. Berusaha berpikir jernih, akhirnya Lyo mencoba mengingat siapa yang bisa dimintai tolong. Ya! Dokter Ettore.
"Sore, Dok. Lagi dimana?" sapanya saat panggilan sudah diangkat.
"Ditempat praktek Dokter Akandra. Dia sedang ada keperluan lain. Ada yang bisa saya bantu, Lyo?"
"Mobil saya tiba-tiba mogok. Dan saya nggak ngerti."
"Saya juga sebenarnya kurang paham tentang mobil. Tapi punya teman pemilik bengkel. Saya hubungi dia saja ya."
"Ok, baik dok. Terima kasih banyak."
"Sama-sama."
Lyo menunggu sampai akhirnya sedikit bosan. Orang tersebut mengatakan kalau tempatnya cukup jauh dari posisi gadis itu saat ini. Dan akan tiba dalam waktu sekitar satu jam. Sementara malam mulai datang. Jujur ia takut saat berada ditempat yang tidak ia ketahui dengan baik.
Kenangan akan masa lalu, dimana hampir diperkosa oleh beberapa orang pria kembali terlintas. Beruntung saat itu Daud segera datang. Berkali-kali melirik jam tangan. Belum lagi rasa letih dan sakit kepala yang semakin mendera. Akhirnya ia memutuskan keluar membeli air mineral dan obat.
Beruntung ada warung yang masih buka. Akhirnya Lyo membeli sebungkus biscuit juga. Ia semakin resah karena orang bengkel belum juga datang. Kali ini memilih menunggu diluar, karena AC mobil juga tidak bisa dinyalakan. Rasa takut semakin menghampiri. Semua bertambah kacau sampai kemudian pihak bengkel mengatakan tidak bisa menembus kemacetan dan meminta Lyo untuk mencari bengkel terdekat saja.
Terlihat mata gadis itu yang mulai berkaca, harus bagaimana? Tiba-tiba sebuah mobil sport keluaran terbaru berhenti di depan mobilnya. Dan syok, saat tahu siapa yang turun. Bara!
"Mobil kamu kenapa?" Tanya pria itu dengan santai saat sudah berada di depannya.
"Mogok."
"Sudah diperiksa?"
"Belum, masih nunggu orang bengkel." Jawabnya takut.
Bara hanya menggeleng kepala.
"Buka kapnya." Perintah pria itu.
"Setahu aku, kamu bukan orang bengkel yang aku pesan."
"Mumpung aku masih baik hati. Jangan terlalu keras kepala juga kalau lagi urgent begini."
Lyo hanya melengos.
"Kamu mau dibantu nggak? Aku masih punya banyak pekerjaan, selain nungguin kamu ditempat seperti ini."
Lyo menatap kearah lain, namun kemudian sadar, ia sudah hampir satu setengah jam disini. Tidak ada pilihan, akhirnya pelan gadis itu membuka kap depan mobil. Bara meliriknya dingin.
"Kapan terakhir mobil ini ke bengkel?" Tanya pria itu sambil meneliti beberapa bagian.
"Service rutin sebulan lalu."
"Bengkel resmi?"
"Nggak tahu, adik aku yang urus."
"Untuk hal kecil seperti ini sebaiknya kamu bisa atasi sendiri. Nyalain mesinnya."
"Memang apanya yang rusak?"
"Nyalain aja, aku jamin kamu akan sampai di rumah dengan selamat." Balas Bara tanpa menjawab pertanyaan Lyo.
Segera gadis itu menyalakan mobilnya dan kali ini bisa bernafas lega. Berhasil!
Bara kemudian menutup kap mobil. Lyo akhirnya kembali turun, meski sebenarnya demi sopan santun.
"Terima kasih atas bantuannya."
"Ini tidak gratis."
Wajah cantik itu terlihat pias seketika, pria di depannya benar-benar bunglon yang mudah berubah. Semua menjadi pemandangan yang menarik untuk Bara.
"Lalu aku harus bayar, berapa?"
"Kamu kira aku butuh uang kamu? Besok kita makan siang bareng. Itu bayarannya." Jawab pria itu sambil berlalu.
Teringat akan sesuatu, Lyo segera mengejar dengan setengah berlari.
"Nggak bisa, besok aku sibuk dari pagi sampai malam."
"Ngapain? Ngedate sama Dokter Ettore baik hati menurut versi kamu itu?"
"Kamu tahu darimana?"
"Kalau cuma tentang kamu, aku tahu semua. Termasuk dimana rumah kamu, dan siapa Vera beserta Nicholas."
Marah, dengan jawaban yang diterima. Lyo berkata.
"Kita selesaikan sekarang, aku nggak suka punya hutang sampai besok pagi."
"Jangan terlalu keras kepala Lyona. Aku bisa saja kembali merusakkan mobil kamu kalau mau. Kutunggu besok siang diparkiran rumah sakit, kita makan tidak jauh dari situ."
"Nggak usah dijemput, aku akan datang sendiri aja. Tentukan tempatnya."
"Aku hubungi nanti malam. Standbykan saja ponsel kamu. Yang pasti kita tidak akan makan mie instant seperti yang biasa kamu pesan di kantin."
"Apa ini bagian dari strategy kamu untuk menaklukkan perempuan?"
Kembali Bara menatapnya lekat, cukup lama.
"Ya, sebagian dari strategiku adalah memberitahukan pada perempuan yang kuinginkan tentang strategiku. Supaya mereka siap-siap untuk takluk dihadapanku."
"Aku tidak semudah itu ditaklukkan."
"Waktu masih sangat panjang Lyo. Jangan berkata seperti itu. Karena buruanku tidak pernah lepas."
"Kalau begitu aku akan menjadi satu-satunya buruan kamu yang terlepas."
***
Happy reading
Maaf untuk typo
13121
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top