6
Lyo tersenyum lebar saat papanya keluar dari ruang kedatangan. Gadis itu segera berlari kencang memeluk Nico dengan erat.
"Papa janjinya cuma seminggu. Jadinya hampir sebulan. Aku sama mami kangen."
"Iya, Tante Mimamu sakit. Jadi papa tungguin. Setelah sembuh, baru bisa pulang. Kasihan tante Maya kalau harus mengurus sendirian. Mima kan manja sekali."
Lyo mengangguk setuju, ia mengenal kakak perempuan papanya itu dengan baik.
"Bawa oleh-oleh kan, pa."
"Bawa dong. Titipan tantemu juga ada buat kalian."
"Iya, kemarin waktu papa sudah berangkat, Tante Mima telepon aku. Nanya mau dibawain apa dari Dubai. Aku bilang, parfum aja."
Keduanya segera menuju tempat parkir.
"Mobil kamu kemana?"
"Di bengkel. Lagi diurus sama Daud."
"Apanya yang rusak?"
"Service rutin aja. Aku yang nyetir ya, papa sudah capek."
"Boleh."
***
"Mi, nih belahan jiwanya sudah pulang!" teriak Lyo begitu keluar dari mobil. Membuat Nico menggelengkan kepala.
Vera yang sudah menunggu segera menghambur kepelukan suaminya. Kali ini Lyo yang merasa jengah.
"Lihat tempat dan waktu kek, kalau mau pacaran."
"Kamu ngapain berdiri disitu." Balas sang mami.
"Gimana mau masuk, kalau papa dan mami ngalangin di pintu."
Nico hanya merentangkan tangannya sebagai isyarat agar Lyo ikut masuk ke dalam pelukannya.
"Papa kangen kalian. Tapi papa lapar sekali. Makan yuk."
Ketiganya segera memasuki ruang makan.
"Mandi dulu, pa. Mama siapkan makannya."
Kembali Nico mengangguk kemudian meninggalkan keduanya.
"Ehem, mami kayaknya happy deh."
"Ya jelas, kak. Sepi kalau nggak ada papa kamu."
"Seandainya ada yang kayak papa satu lagi diciptakan buat aku."
"Nggak akan ada yang sama persis. Setiap manusia itu berbeda. Memangnya kakak sudah lupa sama Michael?"
"Kan aku bilang semoga, mi. Jangan sebut nama dia lagi deh."
"Ya mami berharap dan selalu berdoa agar kamu bisa mendapatkan pasangan yang baik kelak. Sayang sama kamu, juga sama kami sebagai orangtua. Makanya mulai sekarang boleh deh dekat sama seseorang. Sambil menyelidiki latar belakangnya. Tapi nggak usah buru-buru juga."
"Mami maunya aku dapat yang seperti apa sih?"
"Yang pasti seiman. Dan nggak aneh-aneh. Apalagi tattoan dan suka mabuk gitu. Jangan sampai deh kak, mami serem lihatnya."
"Ok deh, nanti aku akan seleksi dulu."
"Lagi ngobrolin apa?" Tanya Nico yang tiba-tiba sudah muncul.
"Ini, aku bilang kalau Lyo sudah boleh cari teman dekat."
"Ya, sudah umur dua empat juga kan? Yang penting hati-hati dalam memilih. Jangan terpukau pada kekayaannya. Karena uang bisa dicari. Pastikan dia punya attitude dan manners yang baik."
"Ok, pa."
Lyopun berharap seperti itu.
***
Bara masih duduk bersama seorang temannya Ibnu di sebuah café mewah sore itu.
"Gue bingung, Bar. Pacar gue dua-duanya ngaku hamil."
"Lo yakin kalau itu anak, lo?"
"Yakin sih. Kan gue tahu bagaimana mereka. Tapi nggak mungkin menikahi keduanya."
"Banyak yang melakukan itu sekarang. Terus keputusan elo?"
"Gue nggak sebajingan itu. Kalau mau jadi viral masih banyak cara yang lebih elegan. Gue cuma lagi nggak bisa mikir jernih. Kalau lo jadi gue, bagaimana?"
"Gue selalu hati-hati. Jadi nggak mungkin mereka hamil. Jangan nyuruh gue mikir."
"Yakin lo, kalau mau enak gitu masih ingat pakai pengaman?"
"Yakinlah, safety first dong. Cukup gue yang punya masa lalu buruk, jangan keturunan gue. Lo kan tinggal milih sebenarnya."
"Gue bingung milih. Dua-duanya baik."
"Kalau gue bilang sih, pilih aja mana yang menurut lo bisa jadi pendamping yang baik. Misal yang paling nurut, nggak banyak protes dan bisa terima kondisi sekarang. Kan kasihan juga sama yang satunya. Minimal kasihan sama anak lo. Supaya nanti hidup lo nggak susah juga."
"Tapi gue sayang sama dua-duanya."
"Kalau nggak sayang kan nggak mungkin dipacarin. Tapi terima resiko sih dengan keputusan lo selama ini. Pacar lo juga nggak pernah protes kan kalau diduain. Ya berarti dia juga siap terima resiko."
"Yang gue bingung bagaimana kalau keluarga mereka menuntut."
"Kawinin dua-duanya, tapi jangan dalam waktu bersamaan. Jalanin aja. Mana yang bertahan berarti dia yang lolos seleksi alam."
"Lo sehat kan, Bar?"
"Gue baik-baik aja."
"Kadang aneh sama cara berpikir lo. Masih punya pacar tetap?"
"Nggak ada. Semua teman dekat."
"Nggak mau cari yang serius?"
"Kalau nanti sudah kepingin. Lagian selama ini siapa yang pernah nolak gue?" jawab Bara santai.
"Gue harap suatu saat nanti lo bakalan ketemu perempuan, yang bisa bikin lo tekuk lutut."
Bara tertawa kecil. "Ada, dan itu mama gue. Jadi bukan perempuan lain."
"Nggak kepingin menikah?"
"Nggak, Gue nggak butuh seseorang yang bakalan cuma memaksa gue untuk melakukan keinginannya."
"Gila, lo."
"Gue memang nggak waras untuk urusan yang satu itu. Lo tahu dari dulu, kan?"
Kini giliran Ibnu yang terdiam.
***
Lyona menatap perempuan didepannya dengan tak percaya. Ia memang tidak terlalu mengenal sosok Vonny. Selain mereka pernah bersekolah di SMU yang sama. Kebetulan sama-sama pengurus disebuah organisasi sekolah.
"Gue bisa bantu apa?"
"Gue hamil, empat bulan. Ternyata pacarnya cowok gue yang lain juga hamil. Jadi dia nggak mungkin menikahi gue."
Gadis itu terdiam sejenak, berusaha mencerna arti kalimat Vonny.
"Sorry, maksud lo, pacarnya cowok lo lebih dari satu?"
Gadis itu mengangguk.
"Lo tahu sejak awal? Atau baru tahu sekarang?"
"Sejak awal."
"Dan lo masih mau sama dia?" suara Lyo semakin meninggi. Ia tidak habis pikir atas jawaban Vonny.
"Gue sayang sama dia, gitu juga sebaliknya. Selama ini cuma dia yang mengerti gue. Mau mendengarkan gue. Bantu keuangan juga. Lo tahu kan bagaimana keadaan ekonomi gue setelah papa ditangkap KPK. Semua hancur Lyo. Cuma dia yang jadi sandaran gue. Tapi—"
Kembali airmata bercucuran diwajah gadis cantik yang duduk dihadapannya.
"Jadi maksud lo nemuin gue untuk apa?"
"Lo kan dokter, tolong carikan gue tempat dimana bisa gugurin kandungan."
Seketika mata Lyona terbelalak.
"Jangan gila deh, Von. Itu bahaya banget mengingat usia kandungan lo. Gue memang belum jadi dokter beneran. Tapi resikonya besar sekali. Lagian apa lo nggak sayang sama dia?"
"Gue harus gimana? Mama gue bisa syok mendengar berita ini. Keluarga gue akan tambah malu. Nggak ada jalan keluar lagi."
"Lo sudah coba bicara dengan pacar, lo?"
"Sudah, dan ternyata dia sudah mempersiapkan pernikahan. Gue nggak mungkin mempermalukan diri gue lebih besar lagi."
"Dia bilang apa?"
"Dia akan bertanggung jawab secara finansial. Gue bisa apa? Kasihan nanti status anak ini."
Menahan marah, Lyo akhirnya berkata.
"Jujur, gue paling nggak suka melihat posisi perempuan menjadi seperti lo sekarang. Tapi mau bilang apa? Semua sudah terjadi. Gue juga sebenarnya nggak percaya kalau omongan dia itu benar nantinya.
Sorry gue nggak bisa bantu. Karena memang nggak pernah berhubungan dengan pihak yang melakukan itu."
"Lo pasti tahu, ly. Gue yakin. Tolong, bantu sekali ini saja. Demi orangtua gue."
"Ini keinginan elo atau pacar, lo?"
"Gue sendiri."
"Nggak usah menyembunyikan kebusukan dia. Gue kasih tahu aja sekarang, yang ada dalam rencana lo itu illegal secara hukum. Juga nggak baik untuk kesehatan tubuh dan mental lo. Satu lagi, itu adalah pembunuhan, Von. Dan gue harap, jangan pernah berpikir untuk melenyapkannya.
Bisa aja kan lo lahirkan dia. Setelah itu, kalau masih mau cari uang atau lainnya, bisa dititipkan di panti asuhan. Gue tahu tempat untuk itu. Yang penting jangan melakukan tindakan bodoh untuk kesekian kali."
"Tolong gue, please."
Lyona menggeleng tegas. Ia memang sangat membenci perbuatan itu.
***
Terburu-buru Lyona melangkah ke rumah duka. Dimana Jenasah Vonny disemayamkan disana. Ia tak percaya kabar yang didengar tadi sore di grup alumni. Bahwa Vonny telah meninggal. Baru dua hari lalu mereka bertemu. Masih terbayang wajah kalut sang teman.
Di depan peti, seseorang menghampirinya.
"Dokter Ettore?"
"Hai, Lyona. Apa kabar?"
"Baik, Dok. Kok bisa disini? Kenal Vonny?" tanyanya heran. Dokter Ettore adalah salah seorang dokter spesialis ditempatnya koas. Pria itu akhirnya membawa Lyo ke salah satu sudut rumah duka.
"Secara pribadi tidak. Hanya saja kemarin dia datang ke rumah. Ibu saya seorang bidan kebetulan. Tapi kondisinya sudah sangat parah. Kehilangan banyak darah akibat kiretase. Dia melakukan itu di tempat lain. Kebetulan rumah kami tidak jauh."
Lyona menarik nafas dalam.
"Dia menemui saya dua hari lalu. Menanyakan alamat tempat dia ingin melakukan itu. Saya tidak memberikan, Karena memang sangat berbahaya mengingat usia kandungannya. Masalah pribadinya juga rumit."
"Kamu tidak menyarankan dia untuk datang ke komunitas perempuan yang mengalami nasib serupa?"
"Salahnya, saya baru tahu kemarin kalau komunitas itu ada."
"Ibu saya merupakan relawan disana. Lain lali kalau ada kasus seperti ini jangan lupa menghubungi saya."
"Baik, dok."
Percakapan mereka terhenti saat dua orang pria memasuki ruangan dengan terburu-buru. Kebetulan tempat itu tidak terlalu ramai saat ini. Hanya berisi keluarga dan beberapa tamu.
Lyo menatap kedua pria itu, dan seketika mengetahui kalau salah seorang dari mereka adalah Bara Tedja. Untuk apa dia kemari? Apa Vonny juga mantannya? Atau anak buahnya?
Namun dugaannya salah. Karena pria disebelah laki-laki itulah yang terlihat berduka. Tampak tubuh pria itu menunduk. Menatap wajah dibawah kaca, kemudian membelai pipi Vonny dan mencium keningnya.
Ibu Vonny kemudian mendekat, dan menangis. Namun tidak mengucapkan satu katapun. Tak lama kemudian, perempuan paruh baya itu jatuh pingsan. Ia dan Dokter Ettore segera berlari mendekat. Sedikit kilat terkejut dimata Bara. Lyo mengabaikan. Memilih mendekati dokter seniornya dan melakukan pertolongan pertama.
Ekor matanya tidak pernah lepas dari kedua pria itu. Ketika kedua pria itu pergi, buru-buru ia keluar dan mengejar mereka.
"Lo pacarnya Vonny?"
Keduanya berhenti, Bara menoleh.
"Bukan, ini nggak ada hubungannya dengan gue dan teman gue."Jawab Bara.
"Terserah lo sih, tapi dua hari lalu Vonny menemui gue, mau menggugurkan kandungannya. Dengan alasan pacarnya harus menikah dengan perempuan lain yang juga hamil. Sorry, kalau gue bilang, teman lo itu sudah membunuh dua nyawa. Karma akan selalu ada. Meski mungkin datangnya nggak cepat. Sesekali gunakan deh hati lo kalau mau berbuat sesuatu."
"Lo nuduh salah satu dari kami?"
"Nggak, tapi kalau ada yang merasa, ya itu urusan dia." Jawab Lyona sambil meninggalkan Bara dan Ibnu. Kembali menuju Dokter Ettore yang diam-diam menyusulnya dari belakang.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
5121
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top