4

Kukepalkan tangan menatap laki-laki yang sepertinya semakin kurang ajar dalam menjawab pertanyaanku. Juga tatapan matanya yang benar-benar seperti hewan buas tengah mengintai mangsa. Tiba-tiba kusadari satu hal. Ada sebuah keinginan yang tak biasa dalam matanya. Aku sedikit bergidik.

Meski tahu bahwa ia ada benarnya. Tapi tetap saja tidak semua perempuan dengan senang hati membuka kaki dihadapan para lelaki hidung belang seperti dia. Sementara senyum penuh kemenangan tersungging dibibirnya. Menyadari bahwa posisiku sedikit kalah.

Kuseruput minuman dingin pesananku. Ia takkan mendengarkan apapun yang menjadi alasanku untuk membela perempuan bernama Tami tersebut. Setelah merasa memiliki keberanian yang cukup, kutatap kedua bola mata hitam miliknya.

"Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran anda selain uang dan keuntungan. Tapi anda harus tahu satu hal. Banyak perempuan yang terpaksa melakukan itu. Atau bahkan ditipu dengan iming-iming bekerja di pabrik atau di luar negeri. Mereka dengan penuh percaya menggantungkan harapan—"

"Sorry aku potong kalimat kamu. Apa kamu kira aku mau mengotori tangan untuk mencari perempuan seperti itu ke kampung-kampung? Apa kamu kira aku kurang kerjaan? Kamu salah Lyona! Pekerjaanku tidak serendah itu."

Ia kembali berusaha memancing emosiku.

"Pekerjaan anda mungkin tidak berhubungan dengan mencari perempuan untuk dipekerjakan sebagai wanita penghibur. Tapi jangan lupa, anda mempekerjakan mereka disana. Dan masih bisa mengatakan kalau anda tidak terlibat? Tidak semua dari mereka menikmati seks yang ditawarkan oleh laki-laki yang membayar mereka. Semua terjadi dengan terpaksa. Anda benar kalau ujung dari semua adalah tentang uang. Tapi apa itu sebanding dengan yang dia rasakan saat ini?

Anda bisa mengatakan itu karena belum melihat bagaimana kondisinya—"

"Jangan lupa, seseorang sudah mentransfer ke rekeningnya begitu transaksi berjalan. Dan mucikari yang menaunginya siap mengulurkan tangan. Jadi tidak ada pembiaran seperti yang mungkin ada dalam pikiran kamu."

Kugelengkan kepala, dia jelas bukan orang yang menyadari kesalahan.

"Percuma bicara dengan anda, saya hanya menghabiskan waktu saja."

Wajah pria itu seperti ingin menelanku. Aku tahu, kalau sudah berhasil memancing emosinya.

"Bagaimana dengan video itu. Kamu yang menghapus, atau saya meminta seseorang untuk menghapus." Terdengar ancaman serius ditelingaku.

Aku malas berdebat. Kutinggalkan ia begitu saja. Percuma berhadapan dengan tembok. Kalaupun runtuh bisa saja serpihannya mengenai diri sendiri.

***

Kumainkan bibir gelas yang ada dihadapan. Pertemuan dengan perempuan bernama Lyona sedikit menyenangkan. Aku bisa melihat aura kecerdasan yang begitu kuat. Dan perempuan seperti itu jelas menarik untuk dikejar. Sangat seksi saat ia dengan berapi-api mendebatku. Tidak banyak yang berani melakukan itu. Auranya mirip dengan mama. Tutur kata dan pilihan kalimatnya halus, tapi mengikat!

Kubuka kembali file tentang dirinya. Ada sebuah catatan dimana Lyona memang concern dalam membela hak perempuan. Mungkin dia punya pengalaman buruk tentang lelaki, sehingga merasa wajib melindungi kaumnya. Entahlah! Seseorang mengetuk pintu ruang kerjaku. Donnie, orang kepercayaanku itu memasuki ruangan.

"Malam Bos, saya membawa pesan dari Ibu Dinda. Beliau sudah berada di ruang VVIP."

"Saya akan kesana." Jawabku. Kemudian Donnie kembali menghilang dibalik pintu.

Dinda adalah seorang perempuan berusia hampir empat puluh. Dan merupakan partner tidurku yang paling seimbang. Bersamanya aku bisa mengeksplore banyak hal tanpa merasa letih. Dia adalah perempuan yang paling lama menemani. Aku suka padanya, meski tahu bahwa ia sudah bersuami. Dia juga bukan perempuan yang rakus akan uang. Kalau kuberi diterima, tidak pernah meminta. Maklum suaminya juga seorang pengusaha. Aku tidak terlalu peduli dengan itu. Sepanjang kami sama-sama senang.

Aku bukan orang yang percaya bahwa karma itu akan diturunkan. Bagiku karmaku, adalah milikku sendiri. Sepanjang tidak menyakiti orang lain semua akan baik-baik saja. Tidak juga, perbuatan burukku akan dibalas pada anak keturunanku. Sesuatu yang terasa aneh ditelinga sekaligus sulit diterima logika.

Bagiku Dinda juga teman berbincang yang menyenangkan. Ia pintar dan cerdas. Kami biasa menghabiskan malam minimal sekali dalam seminggu. Apakah aku tak pernah bosan? Kadang ada juga, disaat bosan datang maka aku akan mencari perempuan lain sebagai penggantinya. Jadi sudah pasti kalau ia bukan satu-satunya perempuan dalam hidupku. Sampai saat ini ada tiga perempuan yang menjadi teman dekatku.

Hanya saja perbedaannya, ketiga orang yang lain masih muda. Jelaslah, aku pria sehat dan normal. Butuh seseorang yang masih terlihat segar saat lelah datang. Pekerjaanku cukup menyita pikiran dan waktu. Belum lagi tugas sebagai anak sulung.

Karenanya aku suka pada Dinda. Ia mengerti suasana emosiku dan selalu mampu untuk meredamnya. Ia tidak pernah bertanya mengenai status hubungan kami dimasa depan. Karena memang sama-sama memiliki status yang jelas. Selama saling menikmati, apa salahnya? Apalagi kami bukan orang yang religius.

Beruntungnya segala kebejatanku tidak pernah sampai ketelinga mama. Karena papa akan menyembunyikan semua itu. Jelas ia tidak ingin melihat perempuan yang sangat disayanginya terluka. Hanya saja kuakui bahwa insting mama sebagai ibu sangat kuat. Entah darimana bisa menebak kalau aku sering berganti perempuan.

Mama juga menjadi satu-satunya orang yang bebas memasuki kamar pribadiku setiap pagi dan membersihkannya. Mama memang selalu seperti itu sejak aku kecil. Selalu mengambil tanggung jawab sebagai ibu. Dan terlihat sangat menikmatinya. Sebenarnya aku juga, senang rasanya kalau ada yang merasa khawatir tentang kehidupanku.

Selesai dengan beberapa pekerjaan, bergegas aku menuju ruang VVIP, dimana Dinda sudah menunggu. Kami saling mencium pipi dan sekilas bibir seperti biasa. Kutarik pinggang rampingnya menuju sofa. Lekuk tubuh dan kulitnya masih sangat bagus. Malam ini ia mengenakan gaun berwarna hijau olive yang sangat cantik.

"Kamu dari mana?" tanyaku setelah menyerahkan minuman.

"Party, biasalah."

Kukecup puncak kepalanya, segera ia merebahkan kepala dbahuku.

"Kamu seharian kemana? Jadi menemui anak kecil itu?"

"Jadi, dan ia cukup alot."

"Aku yakin itu, dia anak tiri Nico. Siapa yang tidak kenal pria itu."

"Apakah pengaruhnya sedemikian besar disini?"

"Bukan besar, tapi dekat dengan beberapa pejabat penting yang bersih. Kamu tahu artinya itu kan?"

"Aku tahu, tapi tadi bawahanku sudah menghack akunnya. Dan video itu sudah terhapus."

"Dia bisa saja menuduh kamu."

"Dia tidak punya bukti. Lagipula anak buahku akan pasang badan untuk itu."

"Kamu terlalu pintar untuknya. Ibarat telur ketemu batu. Ya pasti yang hancur adalah telurnya."

Aku tertawa. Sudah jelas siapa yang akan hancur disini, kan?

***

Lyo memasuki ruang kerja Nico, papanya. Dengan wajah kesal.

"Malam, pa."

"Malam Lyo. Ada apa?" jawab Nico sambil menatap putri sambungnya.

"Akunku baru saja dihack. Dan video yang kemarin itu dihapus sama hackernya. Pasti ulah di dendam membara itu."

"Kamu ada simpan aslinya?"

"Nggak ada, kan memang kemarin wawancara itu langsung dari ponselku."

"Sebaiknya kalau ada kasus seperti itu, kamu buat copyannya. Kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kamu masih punya data aslinya."

Papanya kemudian mengetik sesuatu. Dan memindahkan ke flashdisk. "Kamu pakai ini. Papa kebetulan kemarin download."

Lyo menatap sang ayah senang. Ia benar-benar tak percaya kalau Nico menyimpannya.

"Papa tertarik aja, karena melihat pertanyaan kamu semakin tajam. Dan itu kemajuan pesat buat kamu. Terlihat kamu tidak lagi hanya pakai logika, tapi juga hati. Ada niat mendiskusikan hal ini sama kamu dan Daud. Tapi belum ada waktu."

"Terima kasih banyak, pa."

"Lain kali hati-hati. Apalagi pada orang seperti Bara Tedja. Kamu tidak akan mudah menebak arah perseteruan kalian. Dia sangat licin karena memang dikelilingi orang-orang yang setia dan ahli dibidangnya. Kalau mau bantu perempuan itu, ya bantu saja. Tidak usah terlalu banyak bicara k e masyarakat umum. Papa minta kamu jangan terpancing emosi. Sudah ketemu dia?"

"Tadi, selesai tugas di rumah sakit. Dan dia menyebalkan sekali."

"Sebaiknya kamu hindari. Namun tetap lakukan tugas kamu. Papa akan melindungi sekuat yang papa bisa."

Lyo tersenyum sambil memeluk papanya. Pria idola yang selalu siap untuk mendampinginya.

"Aku akan hati-hati."

"Satu lagi jangan kemana-mana sendirian, tunggu papa atau Daud jemput." Sekali lagi Lyo mengangguk. Itu merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Pernah ia harus pulang malam. Dan menunggu dijemput disebuah tempat sepi. Hampir saja ia menjadi santapan para preman kampung. Beruntung Daud segera datang. Sejak saat itu, Lyo selalu memilih tempat ramai untuk menunggu. Kalau memungkinkan ia lebih suka restoran cepat saji atau malah di mal.

"Makan yuk, pa. mami masak enak kayaknya."

"Ayo, Daud sudah pulang?"

"Sudah, mungkin lagi kelaparan."

Keduanya tertawa dan menuju ruang makan. Dimana sang mami dan Daud sudah menanti.

***

Bara mengerang saat mendapatkan pelepasannya. Sementara Dinda terkulai lemah disampingnya. Keduanya berusaha mengatur nafas karena kelelahan. Perlahan pria itu merebahkan tubuh dan memeluk perempuan itu dari samping. Seperti biasa memberikan kecupan dikeningnya dan ucapan terima kasih atas permainan mereka yang dahsyat.

Partnernya cuma mengangguk pelan. Karena baginya bercinta dengan Bara merupakan sebuah kepuasan yang tidak bisa didapat dari siapapun. Bahkan suami atau berondong simpananya sekalipun.

"Mau langsung pulang?" Tanya Bara.

"Sebentar lagi, di rumah juga nggak ada siapa-siapa. Anak-anak sudah tidur."

"Kamu ada waktu weekend ini? Aku mau ke Bali, mengurus klub yang disana. Siapa tahu ada waktu dan kamu mau ikut."

"Aku sudah ada janji dengan anak-anak. Bawa mereka ke Bandung. Next time aja."

"Yakin? Hotel sudah selesai dibangun. Nggak mau nyoba kamarku? Jendela menghadap ke laut, pasti kamu suka."

"Apa aku akan menjadi yang pertama menginap disana?"

Bara tersenyum sambil mempererat pelukannya. "Itu sebagai penghormatan untuk kamu."

Dinda tersenyum kemudian mengecup jemari penuh tatto tersebut. Suasana sedikit terganggu dengan dering diponsel Bara. Sebuah laporan dari anak buahnya tentang Tami, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual kemarin.

"Apa?! Selidiki, apakah perempuan bernama Lyona itu terlibat!"

Seketika Bara memutuskan sambungan, dan wajahnya mengeras.

"Apa maunya Lyona!"

Teriakan itu membuat kening lawan bicaranya mengerut. Ditatapnya wajah bara yang terlihat memerah. Dan sebagai perempuan dewasa ia mengerti, bahwa akan ada perseteruan setelah ini.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

291220

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top