33
Hari-hari selanjutnya kulalui dengan lebih baik. Setidaknya merasa lebih baik. Daud sudah berangkat ke Manchester, untuk melanjutkan pendidikan. Tinggalah aku sendirian menjadi pusat perhatian mami. Ada rasa sepi, setidaknya saat mengingat pertengkaran-pertengkaran kami dulu. Tapi mungkin inilah saatnya aku kembali berpikir tentang keluarga.
Hubungan dengan Bang Bara juga tidak bisa kudeskripsikan. Kita masih saling bertukar kabar, berkomunikasi. Putus enggak, nyambung juga nggak jelas karena sama-sama sibuk. Tapi tetaplah, aku menjaga hati dari pria lain. Termasuk Ettore yang akhir-akhir ini sering bekerja sama. Apalagi semenjak Dokter Chandra memilih mengikuti jejaknya menjadi dokter relawan di Somalia.
Bang Bara tahu kalau aku bekerja sama dengan Ettore, tapi kali ini ia tidak lagi melarang. Entahlah, hampir pacaran enam tahun membuat kami merasa biasa-biasa saja. Tidak ada lagi emosi atau ego yang tinggi. Palingan kalau aku jarang menghubungi, Bara akan kesal. Tapi hanya sebatas bertanya, kenapa aku tidak menghubunginya.
Saat ini aku merasa bebas, namun terikat. Mungkin ini yang dikatakan hubungan menggantung. Beberapa teman sudah mengirimkan undangan pernikahan. Aku selalu hadir sendiri. Karena memang lingkaran pertemananku dengan Bang Bara berbeda. Tapi tidak pernah juga pergi bersama Ettore karena memang aku merasa tidak pantas. Setidaknya, aku harus berpisah dulu darinya sebelum berani mengajak pria lain menemani ke pesta. Tapi kata putus itu tak pernah terucap.
Seperti siang ini, kami bertemu tak sengaja. Aku baru saja menghadiri sebuah penyuluhan tentang sanitasi di sebuah area perkampungan di Karawang. Saat tak sengaja mobilku melihat mobil Bang Bara lewat. Ia segera menghentikan kendaraanku. Kami sama-sama turun.
"Dari mana?" tanyanya.
"Baru ada acara di sebuah desa. Abang dari mana?"
"Barusan melihat perkembangan pembangunan resto. Bareng yok. Mobil kamu biar dibawa sopir ke apartemenku. Banyak waktu nggak kamu?"
"Sampai sore bolehlah."
"Ya sudah, ayo, masuk mobilku."
Ia menarik tanganku dan memerintahkan sopirnya untuk mengambil alih kendaraanku.
"Sudah berapa lama ya kita nggak jalan bareng?"
"Dua bulan kali ya? Atau lebih?" jawabku tak yakin.
"Nggak terasa, bagaimana pekerjaan kamu dengan Ettore?"
"Sejauh ini baik, kliniknya sudah berkembang. Ada di Kefamemanu, dan juga daerah Tanimbar."
"Aku salut sama dia, benar-benar total."
"Abang juga gitu, kan? Total jadi pengusaha."
Ia tertawa kecil, lalu kami memasuki sebuah restoran yang kelihatannya cukup sejuk. Kali ini memilih duduk di sebuah pondok yang kebetulan menghadap ke kolam ikan. Mungkin karena bukan hari libur, tempat ini cukup sepi. Bara kemudian memesan makanan dan minuman.
"Ini resto, abang?"
"Ya, tapi kepemilikan sahamnya cuma empat puluh persen. Bareng teman-teman sih."
Tak lama dua buah kelapa muda dan beberapa cemilan khas sunda datang. Aku menatap lapar pada combro yang masih hangat. Segera kuraih selembar tisyu dan mengeringkan beberapa gorengan tersebut. Menyuapi abang seperti biasa. Kali ini ia menatapku lekat.
"Sudah lama kita nggak begini. Semenjak kamu makin sibuk."
Aku hanya mengangguk, ya saat ini aku sudah mulai mengurus berkas untuk kuliah lagi mengambil spesialis anak. Lalu masih bekerja di rumah sakit. Lalu saat weekend harus ke klinik. Otomatis waktu kebersamaan kami benar-benar berkurang.
"Ya, aku sibuk, abang juga, kan?"
Ia hanya mengangguk lalu menghembuskan nafas kasar.
"Boleh aku menanyakan sesuatu? Tapi jangan berpikir negatif."
Aku mengangguk.
"Bagaimana dengan hubungan kita? Apa masih ada kesempatan?"
Sebuah pertanyaan yagn sebenarnya juga ada dalam hatiku. Kuletakkan piring kecil dan menyeruput air kelapa muda milikku. Kutatap kuku kakinya yang sudah memanjang. Tanpa berkata kuletakkan diatas pahaku dan mulai menggunting. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku bukan minta putus, jangan salah menebak. Hanya saja merasa bahwa kita tidak bisa begini terus. Apa janji kamu tentang setelah tahun keenam, masih berlaku?"
Ya, aku pernah berjanji, jika sampai tahun keenam masih belum mendapat restu dari mami. Maka aku bersedia menikah dengannya tanpa restu. Kubalas tatapannya yang terlihat serius. Rautnya terlihat menunggu jawaban.
"Apa kamu masih mencintaiku?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk. Dan kembali membersihkan kukunya.
"Apa aku bisa mendapat jawaban sekarang?"
Sudah cukup lama sebenarnya aku memikirkan ini. Antara memilih menyakiti mami lalu memperjuangkan cintaku. Atau memilih berpisah dan semua selesai sampai disini. Ini tidak mudah, kami sudah berpacaran hampir enam tahun. Dua bulan lagi tepatnya. Usia juga sudah mulai menua.
Kutatap wajah abang sekali lagi. Mata itu penuh harap. Sesuatu yang sebenarnya juga sangat kuinginkan, menghabiskan hari bersamanya. Apakah ini saatnya?
"Kalau sampai tahun depan mami tetap tidak setuju, kita akan menikah sesuai kemauan abang." Jawabku akhirnya.
Bang Bara segera menarik kakinya dan mendekati aku. Mengecup keningku dan berbisik. "Terima kasih, karena sudah membuatku tidak sia-sia menunggu. Aku sayang kamu."
"Dan aku berharap, sebelum waktu itu, mami sudah setuju. Aku akan mulai berbicara kembali."
Sore itu entah kenapa terasa jauh lebih indah. Saat pulang, abang menyetir di sampingku. Terasa ada energy yang terisi kembali. Aku tahu ini takkan mudah dari sisiku. Tapi sebuah keputusan harus tetap diambil. Apalagi terhadap orang yang benar-benar kusayangi.
***
Kuletakkan tas berisi pakaian kotor dari Gym. Saat mami masih di dapur.
"Kakak sudah pulang?"
"Sudah, Mi."
"Kata Daud tahun depan mau ambil spesialis ya."
"Iya. Kapan dia telfon?"
"Tadi pagi. Waktu mami baru bangun tidur. Nggak apa-apa Daud kan dapat beasiswa, Daniel juga. Jadi mami nggak terlalu berat lagi."
"Nggak usah, biayanya mahal banget. Lagian papi pernah janji akan membiayai. Dan masih nanya terus sampai sekarang. Kapan aku akan lanjut. Kali ini sepertinya aku akan dengarkan omongan papi."
"Kamu menerima bantuan papi?"
"Ya, nggak mungkin ambil spesialis di Jakarta dengan gaji sebagai dokter umum seperti sekarang. Apalagi aku nggak praktek selain di klinik. Di sana kan nggak dibayar?"
Vera hanya menghembus nafas kasar. Dalam hati ia tidak menyetujui keinginan Lyo. Tapi mau bagaimanapun, Karel adalah papinya.
"Hari ini mau ke mana?"
"Nggak ada di rumah aja. Habis ini mandi terus tidur, Mi."
"Kak, mami mau tanya, boleh?"
Lyo mengangguk.
"Bagaimana kabar Dokter Ettore? Mami lihat akhir-akhir ini kalian sering jalan bareng."
"Jalan karena ada urusan tentang pekerjaan. Bukan karena hal lain. Kenapa, Mi?"
"Kayaknya dia baik lho kak."
"Memang baik. Tapi dia tipe yang lebih cinta pada pekerjaan daripada pasangan. Dan aku harus siap terus menerus menajdi nomor dua. Meski sainganku bukan perempuan, tapi tetap aja nggak nyaman, Mi."
Vera terlihat menghela nafas. Ia kecewa pada jawaban Lyona. Beberapa kali juga mencoba mengenalkan putra dari teman-temannya. Tapi putrinya menolak dengan alasan masih ingin sendiri.
Lyo menghabiskan air putihnya lalu beranjak.
"Aku ke kamar dulu ya, Mi. Mau istirahat. Capek banget."
Melangkah gontai menuju kamar. Selesai mandi, hanya mengenakan celana pendek dan tanktop. Gadis itu meraih ponselnya. Ada senyum kecil di sana. Sebuah chat dari Bara yang tengah berlibur ke Saskatchewan. Juga beberapa foto. Lyo membalas dengan mengirimkan fotonya yang tengah berbaring.
Sudah selesai nge-gym?
Sudah, ini lagi istirahat. Capek tadi.
Kamu cantik pakai baju begitu. Pakai Bra nggak?
Ya pakailah, di rumah kan ada papa. Kamu lagi ngapain?
Tadi pagi beresin rumah. Habis itu mandi dan sekarang mancing. Coba kalau kamu di sini.
Kepingin sih, tapi pasti susah. Kamu tahu kan? Kadang aku capek begini terus.
Lama tak ada jawaban dari Bara. Sampai kemudian Lyo lelah sendiri menunggu. Gadis itu memutuskan untuk memejamkan mata. Namun panggilan dari sang kekasih mengganggu rencana tidurnya.
"Kamu sudah kunci pintu?"
"Belum, kenapa?"
"Nggak takut ketahuan kalau aku telfon"
"Enggaklah, kalaupun mau masuk kamar mami pasti ketuk pintu dulu. Ada kabar apa?"
"Ada temanku, orang Indonesia juga. Akan menikah di sini. Kemarin aku tanya syarat-syaratnya. Nanti aku email ke kamu. Santai aja, aku bukan ingin buru-buru. Hanya sekedar ingin tahu bagaimana prosedur resminya."
"Nanti aku pelajari."
"Oh ya, Anniversary keenam nanti mau ke mana?"
"Ada konser Ed Sheeran di SG. Aku mau nonton. Kabarnya sekitaran tanggal jadian kita. Mungkin di sana aja kali. Aku akan berangkat bareng teman. Kita ketemu di sana."
"Kabari aku, mau kupesankan hotel?"
"Nggak usah, nanti jadi omongan teman."
"Jangan beli tiket konser ya, aku yang akan belikan."
"Ok, aku mau tidur dulu ya bang. Jaga kesehatan janhan suka tidur larut."
"Baik, sayang. Kalau ada apa-apa hubungi aku."
"Pasti. I love you."
"I love you too."
***
Happy reading
Maaf untuk typo
3421
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top