32

Lyona melangkah ragu memasuki kantor papinya. Resepsionis yang sudah mengenal segera mempersilahkan naik ke lantai 3. Ditatapnya sekeliling, tidak ada yang berubah.

"Hai, Pi." Sapanya.

"Lyona? Tumben datang." Ucap Karel sambil bangkit menyongsong dan memeluk erat putri sulungnya. Sampai Lyo merasa sesak nafas.

"Kangen sama papi."

"Sudah lama kamu tidak kemari. Nggak ada masalah kan?"

Lyona menggeleng.

"Daud mana?"

"Lagi mengurus berkas untuk S2 di Inggris. Beasiswanya lolos.

"Kamu mau makan apa? Kebetulan papi juga belum makan siang."

"Terserah papi."

Karel segera memesan makanan jepang, yang merupakan favorit Lyo saat mereka terakhir bertemu. Keduanya segera duduk di sofa.

"Kamu kurusan."

"Capek, kadang kerja sampai malam."

"Kapan Daud berangkat?"

"Rencana Agustus. Perkuliahan dimulai September."

"Papi pernah ketemu dia di Bandara. Tapi kami seperti orang yang tidak saling mengenal."

"Kadang emosinya berubah-ubah. Lagian papi sudah tahu dari dulu kan? Bagaimana kabar Tante Sarah?"

"Baik, kandungannya juga baik."

"Wow, sudah berapa bulan?" ada nada terkejut dalam suara Lyo.

"Mau tujuh kalau nggak salah. Kamu nggak ada niat ambil spesialis?" tanya Karel. Sekedar untuk mengalihkan pembicaraan tentang Sarah.

Lyona menarik nafas dalam. Kemudian menjawab dengan suara pelan. "Mungkin belum waktunya. Tabunganku belum cukup."

"Kamu selalu menolak kalau papi mau bantu. Papi punya banyak salah ke kamu di masa lalu. Bukan bermaksud menyinggung mami kamu. Tapi anggap saja ini sebagai tanggung jawab papi. Daud sudah menolak, kamu juga begitu. Kalian tetap anak-anak yang berhak atas penghasilan papi."

"Nantilah aku pikirkan. Lagian waktunya belum tepat pi. Kalau jadi, aku akan kabari papi."

"Atau kamu mau ganti mobil?"

"Nggak usah, mahal banget itu."

"Nggak apa-apa. Mobil kamu sudah lama kan? Besok papi kirim yang baru ya? Yang lama nanti terserah kamu. Mau dijual atau tetap dipakai."

"Terima kasih, Pi."

"Suka merk dan warna apa?"

"Merk terserah, yang penting tidak besar. Warnanya Merah aja."

"Ya sudah, kalau kepingin merek tertentu kabari papi ya. Kalau enggak nanti papi pesankan langsung."

"Terserah papi saja."

Keduanya lalu terdiam. Selalu seperti itu setiap kali bertemu. Ada rasa canggung ingin berbicara tentang apa.

"Apa papi sehat?" tanya Lyo akhirnya.

"Lumayanlah akhir-akhir ini. Papi sudah tua, tidak mungkin seperti dulu lagi."

"Tante Sarah sepertinya sayang beneran sama papi."

"Ya begitulah, Nico juga sayang sama kalian kan?"

Lyona mengangguk. Sampai kemudian Karel kembali bertanya.

"Kamu yakin tidak ada masalah?"

Segera gadis itu menggeleng, "nggak ada. Semua baik-baik saja. Tadi kemari cuma kangen sama papi."

"Terima kasih, kamu masih mau datang."

Tak lama pintu terbuka, awalnya Lyo mengira sekretaris papinya mengantarkan makanan. Ternyata Sarah.

"Lho, ada Lyo?" sapa perempuan yang usianya tak jauh berbeda dengan Lyona tersebut.

"Iya, Tan. Sorry kalau aku mengganggu." Balasnya sambil bangkit dan menyalami Sarah. Perempuan muda itu menyambut uluran tangannya dengan ramah.

"Sama sekali enggak, tadi cuma mau antar obat papimu kemari. Lupa dibawa tadi pagi, sekalian jalan-jalan. tante bosan di rumah. Oh ya kalian sudah makan? Ini tante ada bawa buah. Banyak kok."

"Terima kasih, Tan. Kasih papi aja dulu. Aku setelah makan siang saja."

Sarah hanya mengangguk. Kemudian beranjak menuju sudut ruangan, untuk mengambil piring kecil dan menata buah yang dibawanya. Membagi menjadi dua, menyerahkan sepiring untuk Lyona. Beruntung, pesanan makanan mereka juga datang. Ketiganya kemudian makan siang bersama.

Karel menatap lekat putrinya. Pria itu yakin, Lyo sedang menghadapi sesuatu yang berat tapi tidak mau bercerita. Ia mengenal Lyo dengan baik. Karena itu setelah makan siang, ia segera mencari mobil yang diinginkan Lyona. Paling tidak, agar rasa bersalah itu sedikit berkurang.

Beruntung Sarah bisa mencairkan suasana. Ia banyak bertanya tentang pekerjaan Lyo. Akhirnya Karel kembali menjadi pendengar. Meski begitu, ia sudah bahagia. Karena bisa menatap wajah putrinya dari dekat. Sampai akhirnya sebelum Lyona pamit, Karel menunjukkan sebuah mobil yang langsung disetujui oleh gadis itu.

***

Vera kaget melihat seseorang mengantarkan mobil sedan siang itu. Ia baru saja ingin berangkat ke toko.

"Ini benar atas nama Lyona?" tanyanya tak percaya.

"Benar, Bu. Lyona Hutama."

"Tapi dia sedang tidak di rumah."

"Katanya diantar saja. Tolong ditandatangani, Bu."

Vera tidak segera menandatangani. Perempuan itu berpikir keras. Dari mana Lyo memiliki uang sebanyak ini? Mobil yang ada di depannya cukup mahal. Atau dari Bara? Tak sabar dengan rasa penasarannya, segera dihubunginya sang putri sulung.

"Sebentar pak. Saya hubungi putri saya dulu untuk kepastiannya. Vera segera menghubungi Lyona.

"Ly, ada orang mengantar mobil. Kamu beli?"

"Iya mobilku kan sudah lama sekali. Sejak jaman kuliah. Itu dari papi."

"Kpaan ketemu papimu?"

"Minggu lalu. Aku sengaja ke kantor papi."

"Bukan dari Bara, kan? Kamu jangan menutupi Lyo."

"Kalau mami nggak percaya, kenapa nggak telfon papi aja?."

Vera mendengkus kesal, namun akhirnya memilih menandatangani surat serah terima mobil tersebut.

***

"Lo minta mobil sama papi?" tanya Daud begitu Lyo tiba di rumah.

"Ditawarin, lagian mobil gue sudah berapa tahun. Sering rusak juga."

"Lo sengaja ke kantor papi? Ketemu di sana?"

"Iya, Tante Sarah juga ada."

"Lo ngomong sama dia?"

"Ya ngomong lah. Kan gue punya mulut."

"Lo ketemu papi, karena kecewa sama mami?"

"Ud, bisa berhenti ngomong nggak? Gue bukan narasumber elo. Gue cuma kangen sama papi. Tahun ini kita belum pernah ketemu."

"Dan dia sogok lo pakai mobil buat ketemuan? Lo ngadu apa sama dia?"

"Otak lo ya? Nggak usah negative thinking melulu. Buat gue dia tetap papi. Nggak perduli dengan masa lalu. Lagian gue nggak cerita apa-apa?"

"Jangan-jangan lo lagi cari dukungan."

Wajah Lyona memerah menahan marah.

"Lo tahu satu hal kenapa gue bertahan dengan Bara? Karena dia nggak nyinyir kayak lo."

"Jadi lo masih jalan sama dia sampai sekarang?"

"Gue capek ngomong sama lo."

Selesai mengucapkan itu, Lyona meninggalkan Daud di ruang tengah. Mengabaikan Daud yang menatapnya tak percaya. Teriakan mereka tadi ternyata terdengar sampai ke kamar orang tuanya. Sesampai di kamar gadis itu segera mengunci pintu dan menangis keras.

Ia marah, karena sekarang apapun yang dilakukan selalu dikaitkan dengan Bara. Seolah tidak ada hal lain yang lebih penting dari itu. Tak lama terdengar suara ketukan di pintu. Maminya memanggil. Kadung kesal, Lyo memilih tidak keluar. Ia benar-benar letih sekarang.

***

Pagi itu, mereka sarapan di meja makan seperti biasa. Tidak ada suara apapun kecuali dentingan sendok dan garpu. Bersusah payah, Lyo menghabiskan nasi gorengnya.

"Lyo masih marah sama mami?" tanya Vera pelan. Mendengar kalimat itu membuat mata Lyona berkaca. Ia menggeleng.

"Mami minta maaf tentang mobil itu. Seharusnya mami tidak berpikir terlalu jauh. Tidak mungkin Bara membelikan kamu. Seandainyapun diberi, kamu pasti menolak."

"Aku yang salah , Mi. sebelumnya nggak ngomong dulu kalau papi belikan mobil. Pertimbangan waktu itu, cuma karena mobilku sering bermasalah, lalu papi nawarin. Dan aku langsung setuju. Mami nggak salah kok." Kali ini air mata Lyo semakin deras. Sampai akhirnya Nico beranjak dari kursinya dan memeluk gadis itu.

"Aku nggak tahu harus bagaimana lagi, Pa. semua seperti menuduhku." ucapnya tersendat.

"Kita hentikan semua pembicaraan dan segala sesuatu yang menyangkut Bara disini. Jangan diungkit lagi." ucap Nico sambil menatap tajam Vera dan Daud. Namun sikap itu disalahartikan oleh Vera. Wanita itu merasa tersinggung dan akhirnya ikut menangis.

"Aku ibu yang gagal kan? Nggak bisa membahagiakan anaknya sendiri. Aku cuma mau yang terbaik buat anak-anakku. Tidak mau dia menderita seperti yang pernah kurasakan. Nggak lebih! Bara punya semua hal yang bisa membuat Lyona menangis dikemudian hari. Aku hanya ingin menjaganya."

Mereka semua terdiam. Lyona segera beranjak dari kursi dan memeluk maminya.

"Mami jangan menyalahkan diri sendiri. Aku yang salah."

"Seharusnya mami punya uang lebih banyak supaya bisa membelikan apapun yang kalian mau."

"Enggak, mami nggak salah. Kakak yang salah."

Melihat keduanya tidak bisa menahan emosi, akhirnya Nico bangkit dan memisahkan mereka. Kemudian perlahan memeluk sang istri.

"Ver, sudah. Kita anggap ini sudah selesai untuk anak-anak. Jangan nangis. Nanti Lyo terbebani dengan kondisi kamu. Percayalah, dia yang menjadi korban di sini. Kamu tahu bagaimana dia kan?" bisik Nico.

Akhirnya Vera mengangguk dan kembali memeluk putrinya.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

29321

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top