27
Aku ajarin."
"Nikahin dulu, enak aja kamu."
"Kapan mau kunikahi?"
"kalau benar-benar sudah bisa melepaskan semua perempuan kamu itu. Satu lagi, putusin deh hubungan kerja kamu sama Dinda. Nggak yakin aja kalau dia serius mau berbisnis. Palingan akal-akalan doang buat ketemu kamu."
"Kamu bisa cemburu juga."
"Ya bisalah, kan aku manusia. Pokoknya aku nggak mau dengar lagi kamu ada dekat sama perempuan lain. Dengan alasan apapun! Apalagi seks. Kecuali kamu mau kita putus!"
"Lama-lama kamu nyeremin juga ya kayak singa."
"Namaku kan Lyona."
"Kamu benar kan nggak ada apa-apa dengan Ettore?"
"Ya ampun, masih nggak percaya juga? Sudah berapa kali kamu anya?"
Bara hanya tertawa kecil kemudian kembali melajukan kendaraan menuju gerbang tol.
"Boleh nanya sesuatu? Tentang hubungan kita."
"Boleh."
"Kapan kamu akan ngomong ke keluarga kamu?"
"Kita sudah mau menikah? Belum juga, kan?"
"Belum sih, senyamannya kamu saja. Take your time. Tapi aku menunggu, paling tidak kalau ditolak tahu lah apa yang harus kita lakukan ke depannya. Aku serius sama kamu. Dan nggak berniat jagain jodoh orang. Jadi jangan main-main."
Lyona hanya me-rolling eyes matanya.
"Ly, aku beli motor ya?"
"What!?"
***
Lyo tengah duduk di halaman belakang saat papanya menghampiri.
"Hai, Pa."
"Hai, nggak kerja?"
"Gantiin teman kemarin, jadi liburnya sekarang. Papa nggak ke luar?"
"Nggak, pekerjaan tahun ini sudah hampir selesai semua. Mau ikut libur akhir tahun ke Medan? Mamimu kepingin pulang kampung katanya. Sekalian nengokin opung. Kamu belum ambil cuti kan tahun ini?"
"Belum sih, rencana kapan?"
"Berangkat tanggal tiga puluhan. Seperti biasa di sana semingguan. Karena tulang kamu juga pulang semua."
Lyo menghembuskan nafas pelan. Tidak berani menjawab.
"Kamu kenapa?"
"Enggak sih, karena belum mengajukan cuti. Takut nggak bisa."
"Ini kan masih November. Papa kira tidak akan ada masalah."
"Nanti aku ajukan dulu."
"Atau ada hal lain yang membuat kamu merasa berat? Seseorang misal?"
"Nggak ada, Pa."
"Yakin? Jangan menyembunyikan sesuatu dari papa. Mumpung mamimu dan Daud sedang ke luar."
Lama Lyona terdiam sampai akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
"Papa tahu sesuatu?"
"Tidak."
Meski mendengar jawaban seperti itu, Lyona yakin kalau papanya mengetahui apa yang dilakukannya di luar sana. Ia bisa membohongi Daud. Tapi bukan papanya.
"Papa akan lebih senang kalau kamu yang berbicara langsung?"
Tidak ada pilihan lain, akhirnya gadis itu memilih jujur.
"Ya, aku punya pacar sekarang."
"Sekarang atau sudah lama?"
"Dua tahun sih. Tapi belum berani memperkenalkan karena mami pasti nggak suka sama dia."
"Kalau sudah tahu mamimu tidak suka, kenapa dilanjut?"
"Dia tidak seperti yang orang lain kira, Pa."
"Kamu seharusnya membuka mata lebih lebar saat meneliti sesuatu atau menilai seseorang. Papa tahu sepak terjangnya di luar sana. Juga perempuan-perempuan yang dekat dengannya."
Lyo terkejut, masih beruntung papanya tidak menyebut nama pria itu. "Papa tahu sejak kapan?"
"Sejak kamu pulang dari Papua. Sering melewatkan beberapa jam sebelum pulang dari rumah sakit. Itu bukan kebiasaan kamu. Kenapa tidak terbuka?"
"Awalnya karena ingin yakin dulu dengan hubungan kami. Sekalian masih takut, Karena mami dan Daud nggak akan suka sama dia."
"Papa juga tidak suka sama dia. Kamu anak gadis papa. Kalau boleh kamu pikirkan ulang sebelum melangkah lebih jauh. Tapi kalau memang kamu menganggap bahwa dia yang terbaik, papa tidak bisa bilang apa-apa. Sebagai orang tua, adalah tugas papa untuk memperingatkan kamu."
Lyo hanya menunduk.
"Jangan jadikan beban seluruh pembicaraan kita malam ini. Tapi papa harap kamu merenungkan kembali. Kasihan mamimu, nanti kepikiran. Dia bukan orang yang mudah untuk diterima dalam keluarga kita. Papa menyayangi kalian. Jangan lupa ajukan cuti untuk liburan kamu tahun ini. Supaya mamimu tidak curiga."
Lyona hanya bisa mengangguk. Ia bisa membantah siapapun. Tapi bukan papa. Ada rasa sesak dalam hati gadis itu. Disatu sisi, ia masih sangat menyayangi Bara dan tidak bisa lepas dari pria itu. Meski dari luar Bara terkesan kasar dan tidak peduli pada siapapun, tapi Lyo merasa ia mengenal sisi dalam diri Bara. Tapi sanggupkah ia melawan keinginan papanya?
***
Bara menunggu Lyo di sebuah restoran tak jauh dari rumah sakit. Akhirnya pria itu bisa tersenyum lega saat melihat sosok kekasihnya muncul. Gadis itu segera masuk ke dalam mobil.
"Lama nunggunya?"
"Nggak, banyak pasien hari ini?"
"Biasa saja. Kita ke mana?"
"Mutar-mutar aja. Ada yang mau kamu bicarakan?"
"Akhir tahun kita nggak bisa bareng. Aku mau ke Medan nengokin opung. Sudah direncanakan sejak lama."
"Pulang kapan?"
"Tanggal lima januari."
"Ya sudah, nggak apa-apa. Kalau begitu aku akan ke Kanada."
"Kamu nggak marah?"
"Kenapa harus marah? Aku menghormati kamu dan seluruh keluarga besar kalian. Cuma satu permintaanku, jangan selingkuh."
"Kita sudah lama pacaran, masak sih kamu nggak tahu aku seperti apa?"
"Terus jangan pakai baju terbuka di sana. Aku nggak suka."
"Ok, aku bisa jamin kalau yang itu."
"Tanggal dua lima sore nanti kamu bisa datang ke rumah? Mama mengadakan pesta kecil untuk staff keluarga dan kenalan."
"Kasih tahu jamnya. Kami akan berkumpul di Cipanas. Nggak terlalu jauh juga kan ke Bogor."
"Tunggu kabar dari aku. Kalau begitu."
Jalanan sore itu sangat padat. Tampak suasana menjelang akhir tahun semakin terasa. Lyo menatap ke luar jendela. Menatap para pejalan kaki yang terburu-buru mengejar sesuatu yang entah apa. Toko-toko yang dihiasi lampu warna-warni. Pemandangan menarik disetiap sore.
Sangat jarang mereka bisa seperti ini. Semenjak pembicaraan dengan papanya, Lyo sedikit membatasi pertemuan mereka. Ada rasa bersalah besar saat harus membohongi kedua orang tuanya. Tapi mau bagaimana lagi?
Lyo sendiri tengah berusaha memberanikan diri, setelah taun baru nanti. Ia akan mengenalkan Bara pada keluarga besarnya. Hubungan mereka memang sudah mulai serius. Ia merasa nyaman bersama Bara yang tidak banyak menuntut. Baik itu perhatian ataupun waktu. Karena memang tidak bisa memberi banyak terhadap kedua hal itu.
Ia juga merasa nyaman dengan Mama Serra dan Papa Arryan. Merasa diperlakukan seperti anak mereka sendiri. Bahkan tak jarang saat ribut dengan Bara, ia lah yang dibela. Lalu kenapa ketika merasa diterima dan dicintai, justru tidak berani membawa pria itu ke hadapan kedua orang tuanya. Meski demikian,sampai saat ini Serra tahu bahwa Bara masih melindunginya.
"Kok bengong, Ly?"
"Lagi merenung, nggak kerasa ya sudah akhir tahun. Februari nanti kita sudah tiga tahun. Bang, kenapa sih masih suka nyuruh orang mengikutiku. Belum percaya, gitu?"
"Cuma melindungi kamu dari jauh. Ada banyak yang tidak suka padaku. Bisa jadi berimbas ke kamu juga. Aku pernah bilang, kan?"
"Ya, terus bagaimana kabar Dinda?"
"Nggak tahu, jarang ketemu dia. Ettore?"
"Nggak usah sok nanya. Dia kan salah seorang dokter favorit Mama Serra?"
"Maksudku tentang kalian."
"Memang nggak ada apa-apa. Tapi beberapa kali masih ketemu sih. Kan bidang kerja kami nggak jauh beda."
"Aku percaya sama kamu."
"Sayangnya aku yang kurang percaya sama kamu." Balas Lyo sambil tertawa. Membuat Bara melirik tak suka.
***
Kuhempaskan tubuh di sofa, setelah kembali dari mengantar Lyo. Seperti biasa hanya sampai di sebuah mini market tak jauh dari rumahnya. Dari sana dia akan naik taksi online. Entah kapan aksi kucing-kucingan kami dengan keluarganya berakhir. Kadang aku kasihan padanya. Ia perempuan penurut, entah itu pada keluarganya ataupun aku. Berusaha menjaga agar semua seimbang.
Salahkan aku yang memiliki citra buruk selama ini. Sehingga ia masih belum siap membuka hubungan kami pada keluarganya. Aku paham akan itu. Karena mama juga dulu mengalami hal yang sama. Tidak bisa memperkenalkan aku pada keluarganya. Orang tuaku butuh waktu hampir sepuluh tahun. Lalu aku berapa lama?
Aku bukan tidak ingin membuka hubungan kami. Sangat ingin malah. Agar orang lain tahu bahwa aku dan dia sudah saling memiliki. Aku banyak berubah sejak bersamanya. Lyo memberikan banyak efek positif untukku. Terutama dari gaya hidup. Lyo bukanlah perempuan yang sangat polos. Tapi ia bisa memahami kebutuhanku sebagai laki-laki dewasa. Tanpa mengungkit apa yang pernah menjadi kebiasaan burukku di masa lalu. Dan aku sangat mengapresiasi hal itu. Jarang ada perempuan seperti dia. Ia tidak pernah menuduh ataupun mengungkit kesalahanku. Beruntung sekali memiliki seorang Lyo dalam hidup.
Bersamanya aku cukup nyaman karena tidak dikejar-kejar tentang pernikahan. Kami menjalani hubungan ini dengan sangat santai. Aku tahu ia masih mempunyai banyak mimpi. Bagiku sendiri pernikahan bukan sesuatu yang harus menjadi goals sebuah hubungan saat ini. Kami saling memperhatikan, saling nyaman dan memiliki teman berbagi. Itu sudah lebih dari cukup.
Aku bisa memiliki seseorang yang aku percayai untuk berbagi rahasia. Lyo bukanlah orang yang suka cerita kesana-kemari. Apalagi bergunjing tentang keburukan orang lain. Aku mengenal beberapa teman dekat perempuannya. Bahkan beberapa kali ikut mendengarkan pembicaraan mereka by phone. Meski tidak pernah ikut menemani.
Ia tidak pernah membuatku bosan. Sikap kekanakannya kadang malah terlihat lucu. Saat ia ingin mengetahui sesuatu. Atau ngambek karena tidak kuperhatikan. Rasanya menyenangkan sekali bisa melihatnya kembali tersenyum. Cukup dengan memebrikan waktu padanya. Kami tidak pernah membicarakan uang sepanjang hubungan ini. Meski tahu bahwa ia harus berhemat dengan penghasilannya. Ia selalu menolak bantuanku terhadap kebutuhan pribadinya.
Saat aku berkata kalau sedang sibuk dengan pekerjaan, biasanya ia akan mengerti. Entahlah, mungkin karena kami sama-sama sibuk. Jadi lebih mudah untuk memahami. Jarang juga bersama karena jadwal yang berbeda. Kami juga bukan mencinta mal atau keramaian.
Hanya mama yang selalu mengingatkan. Bahwa aku harus mulai untuk berpikir tentang menikah. Mengingat usia katanya. Aku tahu mama sangat suka pada Lyo. Kadang saat membawanya ke Bogor, mereka bisa mengobrol berjam-jam. Entah apa yang dibicarakan. Pernah mama ingin membawanya berlibur ke Kanada. Tapi langsung ditolak halus oleh Lyo. Sampai disini aku paham, bagaimana rumitnya hubungan kami.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
11321
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top