26

Memasuki jalan tol yang masih lumayan padat, Bara menaikkan kecepatan mobil. Wajahnya terlihat dingin tanpa ekspresi. Lyo menggenggam safety belt dengan Kencang, Karena cara pria itu menyetir membuatnya takut.

"Bang, kita di jalan raya lho. Kurangi kecepatannya. Lagian kita nggak diburu sesuatu." Lyo berusaha menenangkan pria itu.

"Sayang aja, kita nggak naik motor seperti kalian tadi. Kalau enggak kamu pasti sudah peluk aku dari belakang dengan kencang. Lumayanlah, bisa ngerasain dada kamu nempel dipunggungku."

"Kamu kenapa sih?"

"Aku cemburu, dan itu sudah jelas kan? Hampir setiap hari kamu bersama dia. Pantas tidak pernah menghubungiku. Ternyata sudah ada yang lain."

"Kami cuma teman. Ada klinik yang mau di bangun. aku sedang belajar membangun klinik seperti itu."

"Teman sarapan, makan siang dan makan malam? Kamu kira aku sebodoh itu melihat kedekatan kalian? Lagian kalau mau bangun klinik tinggal bangun aja. Apa susahnya?"

Mobil terlihat menuju arah luar Jakarta. Lyona berusaha menenangkan perasaannya.

"Aku mau pulang, sebaiknya kamu putar arah."

"Apa duduk di mobil bersamaku sebegitu tidak menyenangkannya? Baik, besok aku akan beli motor. Supaya bisa seperti Ettore. Aku akan jemput kamu biar semua orang tahu kalau kamu adalah milikku."

"Aku capek, Bang."

"Aku juga Lyona. Pertanyaannya, Kalau duduk dua jam bersama Ettore kamu nyaman saja?" Bara kembali menambah kecepatan. Lyo hanya memejamkan mata. Rasanya pria yang ada di sebelahnya sudah berubah menjadi monster.

"Kamu nggak perlu merem begitu. Bikin aku nafsu tahu nggak."

"Aku takut dengan cara kamu nyetir. Nggak ada hubungannya dengan nafsu."

"Tidak perlu meragukan kemampuan menyetirku. Jangan lupa aku memiliki SIM internasional. Lagi pula aku tidak ingin membuat kita berdua celaka. Aku sayang sama kamu. sekaligus laki-laki normal yang masih straight. Jangan meragukan kemampuanku di atas tempat tidur."

Lyo akhirnya menggelengkan kepala mendengar kalimat yang semakin kacau. Tidak ingin mengucapkan satu katapun. Karena paham itu tidak akan membuat Bara semakin marah. Sampai kemudian disebuah tempat yang sepi, kendaraan itu berhenti.

Bara ke luar meninggalkan Lyo sendirian di dalam mobil. Hampir lima belas menit. Sampai akhirnya gadis itu menyusul. Harus ada yang waras malam ini.

"Di sini gelap dan sepi banyak agas juga, kamu masuk aja. Kita bicara di dalam."

"Aku masih marah."

"Karena Ettore?"

"Jadi mau karena siapa lagi? Aku kasih kamu waktu untuk merenung supaya bisa berpikir jernih. Malahan kembali ke pacar lama."

"Kami nggak pernah pacaran. Lagian yang harus berpikir jernih itu kamu, bukan aku! Jangan memutar balikkan fakta. Dari awal yang membuat masalah siapa? Kamu kan yang nggak mau menjawab pertanyaanku?"

"Tapi kamu suka dia kan?"

"Dulu, sekarang enggak. Aku nggak tipe perempuan yang suka mendua."

"Lalu apa artinya kamu sering sama dia? Pakai makan malam berdua naik motor."

"Dimana-mana kalau orang lapar ya makan. Mobilku sedang service rutin jadi pakai motornya dia."

"Kamu kan bisa hubungi aku kalau cuma tentang mobil? Aku akan kirim berikut supirnya sekalian."

"Supaya semua orang menatapku aneh ke rumah sakit dengan mobil mewah? Aku bukan tukang pamer. Aku juga bukan peminta-minta. Lagian aku kira kamu masih marah karena nggak pernah menghubungi."

"Biasanya juga kamu yang menghubungi duluan."

"Yang salah kan kamu? Terus kenapa aku yang harus duluan. Ya kamu kek inisiatif minta maaf ke aku?"

"Salahku apa? Kamu yang cemburuan nggak jelas."

"Terus kenapa nggak jawab pertanyaanku dan mengurungku di ruang kerja kamu? Dan jangan kamu kira aku nggak tahu bagaimana kamu dengan perempuan lain di luar sana."

"Dapat kabar dari Daud? Waktu itu aku ingin ditemani tapi kamu nggak ada. Sadar nggak sih karena kesibukan kamu bahkan untuk makan malam berdua saja kita susah."

"Kok jadi nyalahin aku. Aku kerja, Bang. Bukan keluyuran nggak jelas. Kamu juga sibuk dengan perempuan lain di club, kan? Terus nggak merasa bersalah gitu?"

"Buktinya tadi ngapain?"

"Makan malam."

"Enak ya, sementara aku nggak tidur dua puluh empat jam, terus kamu naik motor pelukan sama cowok yang kamu impikan."

"Kamu nggak tidur kan pilihan sendiri. Siapa yang memimpikan dia? Kurang kerjaan amat. Aku bukan kamu yang bisa dengan mudah berganti pasangan. Lama-lama kamu mirip papi tahu nggak!"

"Apa kamu bilang!? Aku bukan Karel Hutama yang menggunakan hatinya pada setiap perempuan yang di kencani." kali ini Bara mendekati Lyo yang tengah melotot. Merapatkan tubuh mereka dan menatap tajam pada sang kekasih.

"Kalian nggak ada bedanya, tidak bisa menahan diri untuk membawa perempuan ke tempat tidur. Dan aku semakin yakin kalau kamu dan Dinda itu memiliki hubungan khusus. Jangan-jangan masih ada perempuan lain yang aku nggak tahu."

Bara menghembuskan nafas kesal.

"Tanyalah apa yang mau kamu tanyakan. Akan kujawab semua sekarang. Cuma satu yang aku minta. Saat aku jujur, jangan pernah berpikir meninggalkanku kalau kamu tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada kamu dan keluarga kamu."

"Apa itu ancaman?"

"Aku bukan orang yang suka melepaskan apa yang sudah kumiliki. Apalagi tentang kamu. Aku bukan orang yang mudah untuk jatuh cinta. Bahkan sebelumnya tidak percaya pada cinta. Kamu satu-satunya orang yang bisa membuatku keluar dari diriku sendiri. Bolak-balik ke Kaimana. Melibatkan mama. Tapi satu hal, seks dan minuman kukenal sejak lama jauh sebelum kenal kamu. Kamu tahu kan bagaimana laki-laki?"

"Tentang Dinda dan perempuan yang kamu bawa ke club."

"Dinda adalah masa lalu. Kami pernah berhubungan cukup lama. Kamu tahulah seperti apa tanpa aku harus cerita. Tapi aku memutuskan hubungan saat kita mulai dekat. Karena dengan kamu aku melibatkan perasaan. Kalau perempuan lain, ya. Sesekali aku masih menggunakan mereka sebagai teman tidur. Bukan mencari pembenaran, tapi aku tahu kita tidak akan melakukan itu sebelum menikah. Aku akan menjaga nama baik kamu di depan orang tua kamu."

"Setahu aku dia istri orang."

"Kamu tahulah, sebejat apa aku dulu."

"Aku nggak bisa bayangin saat sudah ada aku, dan kamu masih tidur dengan perempuan lain."

"Aku bukan orang suci. Dan aku sudah jujur, sesuai permintaan kamu. Ayo kita menikah, aku berjanji hanya ada kita. Tidak akan ada lagi orang lain."

"Bagaimana kalau kamu nggak puas nanti denganku."

"Seks adalah sesuatu yang bisa dikomunikasikan. Lagian kalau sudah menikah nggak ada masalah kan, ada pasangan ini. Sekarang tinggal kamunya. Siap nggak membuka hubungan kita di depan banyak orang. Aku akan mengurangi dua kebiasaan buruk itu. Dulu aku harus mencari teman tidur paling tidak seminggu tiga kali. Sampai saat ini aku masih mengunjungi therapist. Dan sekarang aku butuh sekitar sebulan sekali. Karena memang kadang tidak bisa bekerja kalau tidak dituntaskan. Bisakah kita bicara sebagai sesama orang dewasa?" Tanya Bara ragu.

Meski malas Lyo mengangguk.

"Aku akan menghentikan dengan orang lain. Tapi bisakah kamu membantuku? Aku sayang sama kamu, bisa bantu aku untuk blow job mungkin?"

"Kamu gila!"

"Aku jujur, kamu bilang gila. Lebih baik tadi aku bohongin kamu. Lalu ngomong, Lyona jangan percaya orang. Kamu satu-satunya. Aku tidak pernah tidak pernah tidur dengan perempuan lain. Aku sangat setia. Aku mencintaimu, dan akan melakukan apapun agar kamu bahagia. Tapi sayang, pada saat yang sama aku membohongi kamu."

"Kamu hanya perlu menahan nafsu."

Bara menatap Lyo dengan lembut. "Rasanya aku lebih ingin membohongi kamu tadi. Lebih mudah untuk hubungan kita ke depannya."

"Tapi juga nggak mudah untuk menerima bahwa ada perempuan lain yang tidur dengan kamu. Sementara aku ada di tempat yang berbeda."

"Kalau begitu aku akan memilih opsi kedua. Membohongi kamu."

"Rasanya aku memilih putus."

Bara tersenyum sinis. Ia tidak percaya Lyona dengan mudah mengucapkan kalimat itu. Sampai akhirnya dengan gerakan cepat, Bara meraih pinggang kecil milik Lyo kemudian menyatukan bibir mereka. Gadis itu terkejut berusaha memberontak namun tidak bisa. Sampai kemudian ia lelah dan memilih membiarkan lumatan Bara yang tidak terkendali menguasai dirinya. Cara laki-laki itu mencium lebih seperti orang yang sedang marah dan ingin memenangkan sebuah pertarungan. Entah sudah berapa lama sampai kemudian sebuah mobil patroli berhenti tepat dibelakang kendaraan mereka.

Bara segera melepaskan ciuman namun tetap memeluk pinggang Lyona erat. Kedua petugas menghampiri mereka. Namun sedikit tersenyum saat melihat mobil yang digunakan.

"Maaf pak, sebaiknya tidak berhenti di sini. Apalagi melakukan tindakan yang tidak layak ditonton oleh para pengendara yang lewat. Bisa menimbulkan kecelakaan di jalan raya."

Wajah Lyona memerah seketika. Namun berbeda dengan Bara yang menatap petugas dengan tidak merasa bersalah.

"Saya minta maaf pak, istri saya tadi lagi ngambek. Jadi harus ditenangkan terlebih dulu baru jalan. Dari tadi dia marah-marah terus di mobil. Mengerti pak kalau perempuan sedang ngambek harus dirayu habis-habisan sama suaminya."

Kedua petugas tersebut tertawa kecil sampai akhirnya Bara mendorong punggung Lyo memasuki mobil. Sementara pria itu kembali mendekati petugas. Entah apa yang mereka bicarakan. Lyo sendiri masih harus menahan debaran dada dan wajah yang semerah tomat. Berciuman di tepi jalan tol saat malam hari? Menjadi tontonan para pengendara. Oh my God. Memalukan sekali.

Bara akhirnya kembali sambil tersenyum penuh kemenangan.

"Nggak usah senyum-senyum kayak gitu. Nggak lucu tahu nggak. Kamu buat aku malu. Mana bilangnya istri lagi?"

"Kamu kan calon istri aku. Makanya jangan marah-marah terus. Apalagi minta putus, aku paling tidak suka dengan kalimat itu. Aku serius sama kamu. Kuharap kamu juga menjauhi Ettore."

"Kami cuma teman?"

"Teman yang hampir tiap hari ketemu? Jangan kamu kira aku nggak tahu."

"Iya, aku salah, minta maaf.."

Bara akhirnya tersenyum dan menatapnya lembut.

"Aku bisa menjadi orang yang paling kacau saat cemburu. Karena tidak suka berbagi kepemilikan dengan orang lain. Kamu mungkin tidak tahu tentang itu. Aku juga minta maaf. Gimana tentang blow job?"

"Kamu cuma butuh sabun atau tissue. Lagian aku tidak ahli dalam hal begitu."

***


Happy reading

Maaf untuk typo

8321

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top