25
Sudah mulai bisa dipesan ya. Cerita tentang Mami Vera dan Papa Nico. Pasangan romantis abis. Sama-sama cool dan saling mendukung.
Yuuuk.... buruan. Jangan sampai ketinggalan ya. Terutama yang pada nanyain versi cetak dari kemarin.
"Aku nggak tahu harus ngomong apa sama kamu. Aku capek dengan hubungan kita. Terserah, kalau kamu mau kunci tempat ini sampai besok. Aku sudah berusaha mengerti kamu, memahami sifat keras kepala kamu. Hubungan dengan banyak perempuan sebelum aku. Tinggal jujur saja susah banget sih?"
Bara tetap memilih diam membuat Lyona semakin marah.
"Ternyata pemahaman tentang kamu nggak ada gunanya. Kalau kamu nggak mengijinkan pulang. Ok, aku akan tidur di sini. Tapi ingat, setelah ini kamu adalah orang yang paling aku hindari. Kekanakan banget sih."
Selesai mengucapkan kalimat tersebut Lyo memilih berbaring. Dengan mengambil resiko, kalau besok ia akan dimarahi habis-habisan oleh mami. Ia benar-benar lelah untuk berpikir. Bara tetap memilih diam seperti kebiasaannya. Sampai kemudian akal sehatnya mengatakan untuk mengabari mamanya. Dengan alasan ada pasien di klinik. Akhirnya gadis itu minta ijin.
Bara masih melanjutkan pekerjaannya. Sampai hampir pukul sepuluh malam saat ditatapnya Lyo yang pura-pura tidur. Tahu kalau gadisnya belum tidur. Hanya saja tadi egonya terusik. Atau malah merasa tidak tahu harus memulai dari mana jika harus bercerita tentang masa lalu. Akhirnya pria itu bangkit karena merasa buntu.
"Aku tahu kamu belum tidur. Kita pulang."
Tanpa menjawab Lyo bangkit saat mendengar perintah. Bara memimpin langkah menuju pintu lain yang dibuka secara manual. Keduanya keluar dari ruangan tanpa berkata apa-apa. Akhirnya memasuki mobil masing-masing. Tidak ada salam perpisahan seperti biasa. Bara masih mengiringi mobil kekasihnya sampai tak jauh dari kediaman gadis itu.
Tiba di rumah yang sudah sepi, Lyo langsung ke kamar. Segera mandi kemudian berbaring. Merenungkan semua yang terjadi sepanjang hari. Namun tetap tidak bisa menerima sikap Bara yang mengurungnya tadi. Berusaha memejamkan mata, Lyo hanya bersyukur karena akhirnya bisa pulang dengan selamat.
***
Bara membanting ponselnya, saat sore itu tidak juga mendapat balasan dari Lyo. Seluruh chatnya hanya centang satu. Yang artinya Lyo tidak mengaktifkan ponselnya. Kesal dengan sikap kekasihnya, akhirnya pria itu menghubungi seseorang.
"Coba kamu ke rumah sakit tempat Lyo bekerja. Apakah dia di sana? Ikuti pergerakannya."
Pria itu kemudian memilih berendam. Cukup lama sampai sebuah panggilan masuk.
"Saya mau melaporkan bos. Dokter Lyona tadi memang di rumah sakit. Tapi sekarang sepertinya sedang menuju spa langganannya. Beliau naik taksi."
Bersama siapa?"
"Sendirian, Bos."
""Ya sudah, biarkan saja. Amati dari jauh. Pastikan tidak ada orang-orang Dinda yang mendekat."
Bara menutup panggilan dan segera bangkit dari bath up. Mengenakan kemeja lalu menyusul Lyona. Cukup lama menunggu sampai kemudian gadis itu keluar dari sana. Yang membuatnya kesal, karena kekasihnya dijemput oleh Daud. Artinya Bara tidak bisa mendekat sesuai perjanjian mereka.
Marah dengan semua. Akhirnya pria itu memilih kembali ke kantor.
***
"Itu bukannya mobil Bara?" Tanya Daud sambil menatap spion.
Wajah Lyo sedikit menegang. "Nggak tahu, kenapa?"
"Beberapa kali sih, lihat mobil dia ada di sekitaran lo, Kak. Waktu gue jemput di rumah sakit, pernah juga waktu pulang nge-gym. Mudah-mudahan targetnya bukan lo."
"Mobil dia kan banyak. Lo yakin hapal satu persatu."
Daud sedikit mengerenyit. Menatap tak percaya seakan banyak pertanyaan yang ada dalam benaknya.
"Coba jujur deh sama gue. Rahasia lo aman kok."
"Nggaklah, gue nggak kenal dia. Beberapa teman yang sering cerita. Gue cuma dengar aja."
"Lo yakin nggak menyembunyikan sesuatu? Jangan sampai yang gue takutkan terjadi. Satu-satunya laki-laki yang menurut gue enggak banget ya Si Bara Tedja itu. Tahulah bagaimana kehidupannya. Bahkan kemarin waktu gue hang out bareng teman kantor di club, dia masih sama seorang perempuan. Meski sebenarnya bukan urusan gue sih. Tapi gila aja kalau dia sampai naksir sama elo."
Lyo menghembuskan nafas pelan. Pernyataan Daud membuatnya sesak. Apalagi saat mendengar kalau ada perempuan lain di dekat Bara. Namun tetap berusaha menguasai diri. Berharap kalau rahasia ini terjaga. Meski tidak tahu ujungnya.
"Pacar dia kan banyak, suka ganti-ganti gitu." Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Lyo. Meski dengan nada sedikit tersendat.
"Terus kenapa lo nggak memilih jadian dengan Dokter Ettore? Kan dia sudah balik?"
"Lo makin ngaco ya, Ud."
"Cowok baik begitu sayang aja dianggurin. Lagian dulu lo suka sama dia, kan?"
"Sudah lewat, lama banget malah. Balik lagi, tujuan hidup dia bukan gue."
"Yakin sama perasaan lo sendiri? Gue sih oke banget kalau dia bisa jadi ipar. Bakal punya teman ngobrol yang asyik. Lo jomlo, dia juga. Kemarin kami sempat ketemu, dia ngajak papa ngobrol. Awalnya gue mengira itu sinyal buat elo."
Lyo memilih tidak menjawab. Naluri Daud sebagai wartawan sangat tajam. Bisa saja ini menjadi jebakan.
***
Aku melangkahkan kaki ke luar dari rumah sakit. Beruntung besok hari libur. Akhirnya bisa beristirahat setelah enam hari bekerja secara full. Sore ini tinggal ke klinik, setelah itu bisa pulang dan benar-benar free. Kubayangkan bisa berenang dan menghabiskan waktu untuk tidur.
Kembali kuperiksa ponsel. Bara tetap belum menghubungi. Entahlah, awalnya ada rasa kehilangan besar. Tapi kali ini aku memilih tidak menghubungi lebih dulu seperti biasa. Lelah rasanya saat harus terus menerus mengalah. Kadang ingin dikejar seperti dulu. Entahlah, rasanya sekarang sisi keperempuananku lebih dominan. Apalagi mendengar saat Bara masih memiliki perempuan lain di luar sana.
Aku sadar, tidak mungkin merubahnya secepat itu, apalagi tentang seks. Apalagi sebelumnya sudah menjadi sebuah rutinitas. Malah aneh kalau tiba-tiba dia memutuskan untuk menghentikan hobbynya tersebut. Entahlah, sampai mana kelak aku bisa menerima kegilaannya. Meski terus berharap, namun aku sepenuhnya sadar bahwa Bara adalah makhluk bebas yang tak bisa dikekang. Semakin kuikat, maka ia akan semakin memberontak.
Dua tahun berpacaran membuatku paham akan karakternya. Kali ini lebih berusaha mengabaikan kata hati, kucoba menggunakan logika. Meski kadang sulit untuk paham. Teringat bagaimana papi dengan hobbynya tersebut. Meski adik tiriku sudah bertambah beberapa orang.
Menyusuri jalanan sendirian adalah hal yang menjadi rutinitas akhir-akhir ini. Hubunganku dengan Bara juga masih jalan di tempat. Cukup sering tidak berkomunikasi beberapa minggu ketika bertengkar, sampai kemudian menyadari bahwa kami saling membutuhkan. Mungkin itu salah satu alasan kenapa belum berani membuka pada mami. Entahlah, sepertinya aku harus menunggu sebuah moment yang tepat. Belum siap jika kami harus putus di tengah jalan. atau malah mami syok saat tahu siapa kekasihku. Beruntung orang tuaku juga tidak bertanya siapa pacarku sekarang.
Kadang aku berpikir, bahwa sebenarnya bukan hanya dari sisiku yang merasa kurang nyaman. Beberapa kali Bara bertanya, kapan aku siap memperkenalkannya pada keluarga besarku. Tapi kembali aku tidak punya jawaban. Berbeda denganku yang memiliki pola pikir sebagai perempuan. Bara terlihat lebih santai. Meski kadang ia menatapku seolah tak mengerti. Entahlah. Apalagi sekarang beberapa kegiatanku di klinik sering melibatkan Dokter Ettore. Tidakkah Bara tahu kalau dia sudah kembali? Atau memang ini adalah selesainya hubungan kami tanpa pernyataan apapun?
***
Selesai dari klinik sore itu Lyo, Akandra dan Ettore berencana makan malam di sebuah warung kaki lima tak jauh dari klinik. Mereka duduk di sebuah sudut sambil membicarakan banyak hal. Terutama keinginan Ettore untuk membuka sebuah klinik baru di daerah Banten. Sebagai wadah berkumpulnya para dokter muda yang memiliki visi sama.
Sayang, saat pembicaraan belum selesai. Dokter Akandra harus pulang karena ada panggilan mendadak dari rumah sakit. Keduanya meneruskan pembicaraan tentang konsep klinik nanti. Lyo berharap bisa mendapatkan banyak ilmu dari seniornya tersebut dan sudah menyatakan diri untuk siap bergabung. Asyik mengobrol ia tidak tahu kalau Bara sudah menatap keduanya dari jauh.
Mata tajam pria itu segera menemukan pasangan yang dicari. Sambil megepalkan kedua tangan, Bara medekati mereka. Berdiri tepat di belakang tubuh Lyo. Kemudian menyapa dengan suara yang terdengar sangat bersahabat.
"Hai, Dok. Kapan datang? Senang bisa bertemu di sini." sapanya pura-pura ramah.
Lyo yang tengah berbincang menoleh tak percaya melihat kemunculan pria itu secara tiba-tiba. Setelah sekian lama, kenapa baru sekarang menemuinya? Atau memang sengaja? Gadis itu segera berdoa dalam hati agar Bara tidak membuat keributan di tempat ini. Suara Ettore menyadarkan pemikirannya.
"Hai Pak Bara, sudah sebulan lalu. Silahkan duduk. Tahu dari mana kami di sini?" balas Ettore sambil bangkit dan mengulurkan tangan. Keduanya segera saling berjabat namun dengan mata yang sama-sama tajam bagaikan elang. Hanya mereka yang tahu arti tatapan itu.
"Kebetulan lewat dan lapar. Tempat ini seafoodnya enak."
Lyona tahu kalau itu adalah kebohongan yang sangat basi khas Bara. Karena tidak mungkin pria itu makan di sini. Hanya saja tidak mau terlihat kalah oleh saingannya.
"Oh ya, boleh pinjam kekasih saya sebentar? Ada hal penting yang harus kami bicarakan." Tanya Bara dengan penekanan pada kata kekasih.
"Silahkan, lagi pula kami sudah selesai." Jawab Ettore dengan tenang meski terlihat ada kecewa dimatanya.
"Saya duluan dok. Nanti kita lanjut lagi ya." ucap Bara sambil menarik pelan jemari Lyo. Membuat perempuan itu ikut berdiri karena tidak ingin ada masalah di tempat ramai seperti ini.
"Naik apa tadi kemari?" Tanya Bara sambil menarik tangannya. Meski langkah pria itu tetap santai, namun Lyo tahu, bahwa kemarahan kekasihnya sudah sampai pada puncaknya.
"Yakin kamu nggak tahu? Karena seingatku kamu selalu tahu tentang aku."
"Jangan menjawab pertanyaan dengan balas bertanya, Lyona. Kamu tahu aku sedang marah."
"Karena aku yakin tidak perlu menjawab. Anak buah kamu pasti sudah laporan. Aku ngapain, dimana, sama siapa—"
"Aku lebih percaya omongan kamu."
"Naik motor Ettore."
"Nggak pakai embel-embel dokter lagi ya sekarang."
Memilih tidak menjawab Lyo segera masuk ke dalam mobil. Ia tahu, bahwa Bara tengah benar-benar berusaha mengendalikan emosinya. Namun yakin sebentar lagi mereka akan bertengkar hebat. Lyo mulai panik saat menyadari mobil yang dikendarai Bara tidak menuju ke arah rumahnya.
"Kita ke mana?"
"Jalan-jalan aja."
"Aku mau pulang."
"Kita belum bicara. Sudah sebulan ini aku biarkan kamu melakukan sesuatu yang kamu suka. Kuminta saat ini kamu meluangkan waktu untuk kita. Hanya ada aku dan kamu. Aku akan menjawab apapun yang kamu tanyakan." Balas Bara dengan nada datar, matanya terpusat pada jalanan di depan mereka.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
5321
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top