23
Happy weekend
***
Lyo Pov
Kepulanganku di lepas oleh beberapa teman yang sudah cukup dekat selama ini. Sebelum masuk ke ruang tunggu kami berbincang tentang banyak hal. Kejadian lucu yang akan menjadi kenangan di masa akan datang. Mereka juga membawakan kami nasi kuning dan beberapa makanan lain. Katanya sebagai bekal di jalan. Aku terharu untuk perhatian mereka. Sesuatu yang kecil, tapi akan selalu kuingat.
Bara, yang kini kupanggil dengan embel-embel abang memilih menjauh. Ia sibuk dengan laptop dan pekerjaannya disudut lain. Terlihat masih serius saat tak sengaja meliriknya.
"Dok, sa tra sangka, kalau itu paitua. Dulu waktu ke rumah sakit, dokter sering marah-marah."
Aku hanya tertawa.
"Dulu sebelum jadian dia suka banget bikin aku kesal."
"Tapi, ganteng, Dok."
"Boleh lah." Jawabku asal. Entah dari sudut mana Bang Bara bisa disebut ganteng. Kalau menurutku karena memiliki aura tegas dan tatapan mata yang tajam, jadi kesannya cowok banget.
Tak lama terdengar pengumuman jika pesawat yang akan kami tumpangi akan berangkat. Aku segera pamit dan mencium mereka satu persatu. Bang Bara menggenggam jemariku dan akhirnya kulambaikan tangan pada teman-teman dekat selama di sini. Aku menitikkan air mata saat mereka benar-benar lenyap dari pandangan. Waktu satu tahun itu terasa sangat sebentar. Bahkan sepertinya baru kemarin aku menginjakkan kaki di sini.
Duduk berdampingan di dalam pesawat, aku mencoba tersenyum.
"Terima kasih, Bang."
"Sama-sama." Balasnya sambil mengelus punggung tanganku. Kurebahkan kepala di bahunya. Maih sulit keluar dari perasaan sedih. Akhirnya kucoba mengalihkan perhatian.
"Bang , mana janjinya? Katanya mau kasih tahu orang yang dikirim buat stalker aku."
Bang Bara hanya tersenyum. "Aku bohong."
"Terus tahu aku dari mana?"
"Feeling aja sih, perempuan secantik kamu pasti banyak yang suka. Ayo istirahat, tadi malam kamu kurang tidur."
Meski kesal aku menurut, mencoba memejamkan mata. Bang Bara kembali membuka macbooknya dan bekerja. Kubiarkan, karena dua hari kemarin ia pasti tidak bisa menyentuh pekerjaan sama sekali karena aku memonopoli waktunya.
Pesawat membawa kami transit di Sorong kemudian terbang ke Manado. Sampai akhirnya benar-benar berpisah. Abang mengantarku ke ruang transit. Saat benar-benar berpisah. Ada rasa kosong dalam hatiku. Kali ini merasakan sendiri. Dan itu sangat tidak menyenangkan. Sedikit menyesal, karena menolaknya menemani sampai Jakarta. Kadang aku tidak sekuat yang kukira.
***
Kepulangan Lyo disambut gembira oleh Vera. Keluarganya menjemput di Bandara. Semua memeluknya erat.
"Lo kok nggak tambah hitam sih kak. Katanya daerah pantai."
"Nggak tahu, karena kulit gue bagus kali. Jadi meski kebakar matahari, ya balik lagi."
"Sombong banget." Protes Daud.
"Lyo mau makan di luar?" Tanya Nico saat mereka sudah di mobil.
"Nggak ah, mami sudah masak rendang. Makan di rumah aja pa."
Karena duduk bersama Vera di belakang. Akhirnya Lyo memilih mengirimkan pesan pada Bara.
Aku sudah sampai, dan baru ketemu mami. Abang masih kerja?
Tak ada balasan yang diartikan Bara sedang bekerja dan tidak memegang ponselnya. Sampai akhirnya mereka tiba di rumah dan segera berkumpul di meja makan. Lyo makan dengan lahap.
"Di sana nggak ada rendang, Kak?"
"Ada sih, tapi kebanyakan daging rusa bukan sapi. Tekstur dagingnya beda, Mi."
"Kakak jadinya makan apa saja?" Tanya maminya lagi.
"Ya, kan sudah ikut kursus online ke mami. Jadi amanlah, berapa bulan terakhir nggak mengharapkan kiriman orang atau beli lagi. Seafood di sana kan macem-macem. Karena segar, diolah sederhana aja sudah enak. Sayang sambalku belum seenak buatan mami."
"Gue mau coba masakan elo, kak."
"Ntar, gue masak. Jangan sekarang masih capek."
"Lusa kamu sudah kosong? Papa antar ke rumah teman yang punya klinik."
"Sudah sih, Pa. terima kasih ya." Balas Lyo sambil tersenyum. Nico membalas senyum putrinya.
Selesai makan, Lyo menuju kamar yang sudah lama dirindukan. Ditatapnya ponsel, belum ada balasan dari Bara. Kemana dia? Kesal karena tidak kunjung menerima balasan, akhirnya gadis itu mandi. Selesai membersihkan tubuh, ada mami yang sudah duduk di ranjang.
"Kenapa, Mi?"
"Mami masih kangen, sedih nggak pernah bisa ke sana."
Lyo tersenyum kemudian menghambur ke pelukan maminya.
"Aku nggak apa-apa. Lagian kan lebih sering ke distrik juga. Jadi mami akan sendirian."
"Mami merasa bersalah."
"Udah deh, jangan mellow begini. Kasihan papa kalau mami tinggal lama. Ntar Daud jadi kurus lagi karena nggak dapat makanan enak."
Mami mengecup kedua belah pipi dan kembali memeluknya erat.
"Aku merasa masih jadi anak kecil kalau begini."
"Kamu tetap akan menjadi gadis kecil mami. Tapi kamu jauh lebih dewasa di sana. Pasti karena punya pengalaman baru."
"Iya sih, di sana kan banyak perantau kayak aku juga. Jadi lebih bisa paham bagaimana harus bergaul dan menerima kekurangan orang lain. Beda dengan di sini kan lebih sering di rumah. Di sana aku dipaksa untuk berubah. Aku kangen mami, banget."
"Mami juga, kadang kalau malam suka kepikiran kamu. Dan nggak kerasa sudah setahun ya."
Keduanya masih berbincang, sampai beberapa kali Lyo menguap.
"Kamu masih capek?"
"Iya, Mi."
"Ya sudah, langsung tidur. Selamat malam."
"Malam mi."
Vera kemudian keluar setelah mencium kening putrinya. dan Lyo segera memadamkan lampu utama. Kembali membuka ponselnya. Kali ini kantuknya sedikit menghilang. Ada tiga pesan dari Bara.
Sorry baru selesai, tadi lowbat. Selamat bersenang-senang dengan keluarga.
Sudah makan dan mandi?
Kalau sudah sendiri kabari ya, aku mau telfon.
Lyo kemudian segera menghubungi. Pada dering ke lima akhirnya diangkat.
"Abang dari mana?"
"Sorry, baru mandi. Seharian sibuk di lapangan dan wawancara dengan beberapa calon karyawan. Kamu?"
"Habis makan, langsung mandi dan ngobrol dengan mami."
"Bagaimana kabar mereka?"
"Baik sih, abang gimana?"
"Baik, kamu cerita tentang kita? Besok ke mana?"
"Belum sih, rasanya belum waktunya. Besok rencana istirahat. Lusa mau ketemu teman papa yang punya klinik."
"Bagus deh, jadi kamu nggak lama nganggur. Apa akan kembali ke klinik milik Dokter Ettore?"
"Jangan mulai deh. Tapi rasanya aku akan kembali bekerja di akhir minggu di tempat mereka. Atau lihat nanti, tergantung waktu libur."
"Tapi aku minta, kalau Ettore sudah kembali kemari. Kamu cari tempat lain saja ya. Ke klinik susteran kek, atau ke mana saja."
"Kok jadi gitu? Aku kan nggak ada rasa apapun lagi sama dia? Abang nggak boleh dong mengekang aku begitu."
"Bukan mengekang, aku cemburu kalau kamu sama dia. Jadi batasi kedekatan kalian."
"Abang nyebelin."
"Kamu mau aku dekat dengan perempuan yang jelas-jelas aku suka sebelum kamu? Enggak kan? Aku juga begitu."
Lyona hanya bisa menghembuskan nafas kesal. Kalau sudah seperti ini sepertinya memang ia yang harus mengalah. Tapi tidak bisa juga, karena ini bukan hanya tentang dirinya sendiri.
"Bang, aku kan kerja buat anak-anak dan orang yang memang kurang mampu. Bukan untuk menarik perhatian orang lain. Nggak usah aneh deh."
"Kamu susah ya dengerin aku."
"Aku menghargai abang, tapi kalau salah, masak sih aku harus ngikutin? Jangan harap." Jawab Lyo tegas.
"Terserah kamu, tapi ingat. Aku nggak akan segan menarik kamu keluar dari sana kalau terjadi sesuatu yang aku takutkan. Nggak peduli meski di situ ada orang tua kamu."
"Terserah, karena itu nggak akan terjadi."
"Aku pegang kata-kata kamu."
Lyona akhirnya bisa menghembuskan nafas sedikit lega. Akhirnya ia bisa keluar dari intimidasi Bara. Mencoba untuk memperbaiki suasana karena Bara akhirnya diam, Lyo bertanya.
"Abang sudah makan malam?"
"Sudah."
"Masih marah sama aku?"
"Nggak."
"Lagi ngapain?"
"Nonton Netflix."
"Film apa?"
"Nggak tahu judulnya."
Lyo kembali menghembuskan nafas kesal.
"Ya sudah, kalau masih marah aku matiin dulu ya. Mau istirahat."
"Ok. Mimpi yang indah." Balas Bara dengan nada dingin.
Lyo segera memutuskan sambungan. Kesal dengan sikap Bara yang terlihat kekanakan.
Sementara Bara yang masih kesal akhirnya tenggelam dalam film yang ditontonnya. Salah satu kebiasaan sejak dulu kalau sedang marah terhadap seseorang. Bedanya, ia bisa menumpahkan kekesalan terhadap orang lain. Tapi tidak pada Lyo. Tidak bisa menikmati tontonan, Akhirnya Bara mengambil sebotol minuman, dan menuangkan es kedalam gelas. Mencoba menghabiskan malam dalam kesendirian. Entah kenapa, baru berpisah sehari, rasanya sudah kehilangan.
***
Hanya tiga hari menjadi pengangguran, Lyo langsung mendapatkan pekerjaan sebagai dokter jaga di sebuah klinik milik teman Nico. Sambil menunggu kabar dari dua buah rumah sakit swasta. Hal tersebut membuatnya cukup senang, karena pada sore hari saat weekend ia bisa kembali bekerja di klinik milik Dokter Akandra yang tengah bertugas ke Mentawai.
Gadis itu memutuskan batal kembali ke klinik Dokter Ettore setelah mempertimbangkan sikap kekasihnya. Apalagi Bara memilih diam, kalaupun ditanya hanya membalas singkat. Kesal dengan sikap seperti itu, akhirnya Lyo juga memilih diam. Menunggu sampai keadaan lebih reda. Apalagi kini ia harus beradaptasi dengan pekerjaan barunya.
***
Siang hari, disela makan siang di klinik. Lyo menatap sekeliling. Di sini berbeda dengan Kaimana. Pasien tidak terlalu banyak. Karena kebetulan dekat dengan daerah industry, rata-rata menangani pasien yang merupakan karyawan. Belum apa-apa ia sudah mendapat rayuan dari mereka untuk mengeluarkan surat ijin dengan alasan sakit. Padahal Lyo tahu jelas mereka tidak membutuhkan itu.
Tidak ada pasien ia memilih untuk memeriksa chat bersama Bara. Tapi ternyata belum ada satupun chat baru yang masuk. Akhirnya Lyo menulis.
Hai 😊
Kamu kenapa? Datang-datang senyum.
Memang nggak boleh? Aku lagi senang karena sudah bekerja.
Selamat kalau begitu. Di mana?
Kliniknya Dokter Haryo. Teman papa.
Bagus deh, artinya sudah punya kesibukan. Sabtu sore ke mana?
Pagi aku tugas bersama Dokter Chandra di klinik Dokter Akandra.
Kapan jadwal ke Klinik Dokter Ettore?
Nggak jadi ke sana.
Kenapa?
Males ribut sama seseorang yang cemburuan nggak jelas.
Lyo tidak tahu bahwa diujung sana Bara tengahtertawa lebar. Merasa tidak sia-sia dengan sikap diamnya
***
Happy reading
Maaf untuk typo
27022021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top