22

"Kamu kok bengong?" Suara Arryan mengejutkannya.

"Bara kapan datang? Kenapa nggak ambil kamar sendiri?" tanyanya setengah berbisik. Takut membangunkan.

"Tadi, kangen sama kamu katanya. Aku sudah menawarkan ambil kamar lain."

"Kasihan harus tidur di sofa begini. Kakinya harus ditekuk. Kamu pesankan sarapan Arr, takut Bara bangun."

"Dia pasti bangun siang, aku mandi dulu. Mau bareng?"

Serra hanya tersenyum, namun kembali meletakkan kepala putranya diatas bantal. Baru kemudian mengikuti langkah sang suami menuju kamar mandi. Berendam bersama, sambil menggosok punggung Arryan adalah salah satu kebiasaan mereka sejak lama. Serra kembali bertanya.

"Bara datang jam berapa?"

"Hampir jam lima pagi. Untung dia nggak mabuk. Tumben sih sebenarnya."

"Kamu merasa nggak, kalau akhir-akhir ini dia berubah?"

Arryan menggeleng.

"Kalian laki-laki memang kurang peka."

"Itu kan tugas kamu,Serra?"

Sang istri hanya tersenyum lebar. "Kuharap karena dia sedang jatuh cinta."

"Kenapa kali ini kamu yakin?"

"Aku mengenal dia, bahkan sedikit saja perubahan dalam dirinya pasti aku tahu. Dia sedang berproses, dari hanya berpikir tentang dirinya, menjadi seseorang yang memikirkan orang lain. Selama ini dia hanya berkutat dengan keinginannya."

"Ya, semoga Lyona bisa membuatnya berubah. Aku hanya khawatir kalau dia sampai menyakiti gadis itu."

"Kuharap tidak. Dengan datang kemari saja, kurasa di sudah berperang hebat melawan dirinya sendiri. Kamu tahu bagaimana keras kepalanya dia, kan? Pasti ada seseorang yang memberi masukan. Dan akhirnya, kalimat gadis itu jauh lebih mudah diterima olehnya. Kita akan tertinggal jauh dibelakang."

"Jangan takut, ada aku yang menemani kamu." Bisik Arryan sambil mengecup kening istrinya. Serra tersenyum bahagia. Kemudian menyenderkan tubuh dipunggung suaminya.

***

Bara terbangun saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang lewat. Malas bangkit, kembali ia memejamkan mata. Sampai kemudian suara Serra membangunkannya.

"Bar, kamu belum sarapan. Ayo, bangun dulu."

"Iya ma." Jawabnya malas. Kemudian bangkit dan memasuki kamar mandi. Selesai mencuci muka, mendekati meja makan. Di sana sudah ada banyak jenis snack untuk coffe time. Meraih sepotong roti ia segera duduk di samping ibunya.

"Kok kemari?"

"Kangen diomelin, mama."

"Kamu itu, maaf kemarin mama terlalu emosi. Seharusnya lebih bisa menahan diri. Sikap mama sedikit memalukan, apalagi dihadapan teman kamu."

"Nggak, kok. Mama benar. Kadang aku butuh seseorang untuk mengingatkan. Lagi pula apa yang mama lakukan sudah tepat. Ia memang harus keluar dari ruanganku."

Serra hanya mengacak rambut putranya. Sampai kemudian ponsel Bara berdenting. Putra sulung Arryan itu segera tersenyum lebar. Terlihat kebahagiaan dimatanya.

Hai, kak? Sudah bangun? Makan siang, yuk.

Ini pertama kali Lyona menghubunginya terlebih dahulu.

Tahu darimana kamu aku baru bangun tidur?

Tuh, ponsel kakak baru aktif.

Iya, sih. Aku masih di Anyer, menyusul mama tadi malam. Dan kamu benar, aku beruntung masih bisa mendengar omelannya. Meski kadang ngeselin, tapi kali ini benar-benar ngangenin. Kamu sudah makan?

Ini baru selesai, disini sudah lewat jam satu. Ya sudah, aku tugas dulu ya kak.

Ok, mungkin minggu depan aku ke sana. Mau dibawain apa?

Apa aja.

Bara paham, jika Lyo sudah menjawab singkat seperti itu, pertanda kalau gadis itu sudah mulai bekerja.

"Kamu nggak ke resto hari ini?" Tanya Arryan.

"Dari sini saja. Mau istirahat dulu. Sekalian besok mau ke Semarang dan Surabaya. Selesai langsung ke Manado."

"Kalau mau ke Kaimana, bilang ya. Mama mau titip untuk Lyona."

"Ok." Balas Bara sambil tersenyum kecil.

"Kalian sudah..." Serra tidak melanjutkan kalimatnya.

Bara mengangguk sambil tertawa kecil. "Hampir, Ma. Tapi masih butuh waktu. Susah buat dapetin dia."

Sang ibu tersenyum dan menghembuskan nafas lega.

"Terus, kira-kira kamu bisa nggak?"

"Semoga, yang satu ini aku nggak berani mastiin."

"Kalau sudah dapat dia, berubah ya. Jangan dibuat untuk main-main."

"Tuh kan, mama nggak percaya sama aku."

"Bukan nggak percaya, track record kamu yang membuat semua orang ragu."

"Parah mana sama papa dulu?" Goda Bara sambil menatap papanya.

"Parah kamu. Karena papamu nggak pernah mempermainkan mama."

"Itu kan setelah ketemu mama. Sebelumnya?"

Arryan hanya menggelengkan kepala namun tidak mengatakan apapun.

"Nggaklah. Aku serius sama dia. Semoga Lyo yang terakhir."

Serra hanya mengelus pundaknya.

***

Lyo Pov

Akhirnya masa baktiku di Kaimana selesai. Rasanya lega sekaligus sedih. Setahun ini kota senja sudah menerimaku sebagai bagian dari mereka. Menikmati perjalanan ke berbagai daerah. Dua kali melihat secara langsung bagaimana sebenarnya Senja Kaimana yang sangat fenomenal itu. Dimana seluruh kota akan terlihat memerah, dan disertai gerimis. Sangat jarang terjadi memang.

Aku akan merindukan laut, ombak dan juga perbukitan yang selalu menemani. Juga pada teman-teman di rumah sakit yang telah membantu menjalankan tugasku. Sebelum pulang nanti, rencana kami akan membuat pesta perpisahan di sebuah restoran.

Oh ya, hubunganku dengan Bara juga sudah naik satu tahap. Akhirnya sebulan lalu aku menerimanya sebagai kekasih. Setelah melalui berbagai pertimbangan, termasuk pendekatannya yang hampir satu tahun. Entah kenapa aku merasa nyaman bersamanya. Paham kalau ia termasuk orang yang tidak bisa mengontrol emosi. Tapi akan cepat berubah, maksimal keesokan harinya. Juga sikap badboynya. Entah kenapa aku berpikir untuk mencoba. Karena dengan pria baik-baik juga tidak menjamin kalau hubungan kami akan langgeng tanpa perselingkuhan.

Bersamanya aku tetap bisa menjadi Lyona, yang kadang cengeng, manja, mandiri dan lain sebagainya. Selain itu juga, pertimbangan bahwa Tante Serra menerimaku. Bahkan kadang aku malu, karena Tante Serra lebih sering menghubungi daripada anaknya. Rasanya menyenangkan saat kami bisa mengobrol tentang banyak hal. Bahkan sebelum aku resmi menjadi kekasih Bara.

Tapi sampai saat ini belum berani membuka hubungan ini pada keluargaku. Dan meminta waktu pada Bara. Ia setuju karena merasa memang kami masih butuh waktu sebelum bertemu dengan orang tuaku dan mengumumkan pada orang lain. Kalau dengan Om Arryan dan Tante Serra, Karena memang sejak awal beliau sudah tahu dan setuju.

Sambil membereskan beberapa barang-barang pribadi. Aku mulai memilah apa yang harus kutinggal atau kubawa. Untuk pesta perpisahaan, Tante Serra mengatakan akan mengirim souvenir lewat Kak Bara. Meski merasa tidak enak, aku terpaksa menyetujui. Karena ia setengah memaksa. Dengan alasan agar aku tidak repot. Lagi pula di sini kota kecil. Hal terakhir kubenarkan. Sulit mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan seleraku.

Saat membereskan beberapa buku, aku menemukan sebuah undangan. Ah ya, dari Pak Letsoin. Seorang tentara yang cukup kukenal. Beliau akan menikahkan putrinya. Pesta berlangsung sehari sebelum keberangkatan. Kuletakkan diatas nakas. Yakin masih bisa menghadiri, setelah acaraku. Kali ini tidak sendiri. Karena Kak Bara pasti ikut.

***

Kak Bara datang sehari sebelum acara perpisahan. Ia membawa beberapa karton yang isinya pasti goodie bag. Saat membuka, aku terbelalak! Isinya benar-benar diluar dugaan. Sebuah bingkai foto dari perak yang pinggirnya diukir sangat cantik. Namaku terjalin rapi disana. Ada juga sebotol potpurri berisi bunga mawar kering yang sangat harum. Pasti sangat mahal harganya, karena warna bunga masih terlihat asli. Dan terakhir sebuah kipas berbahan dasar kayu cendana yang bagian luarnya kembali terukir namaku.

Semuanya di letakkan dalam sebuah kotak kayu yang sudah dihias cantik diberi pita. Ditambah sebuah kartu ucapan berbentuk bulat berisi namaku dan sudah dicetak dalam versi bertandatangan.

"Bagus banget, pasti mahal." Itu komentar pertamaku.

"Kalau harga aku tidak tahu. Karena mama yang membeli dan merencanakan isinya. Tugasku hanya membawa kemari."

"Over bagasi berapa banyak tadi?"

"Nggak tahu." Jawabnya santai.

"Kok bisa nggak tahu?"

"Karena bukan aku yang mengurus. Asistenku yang check in dan membayar semua. Aku tinggal berangkat."

"Jadi nggak enak sama Tante Serra."

"Mama, Lyo. Kenapa sih merubah panggilan lagi."

"Kita kan belum menikah?"

"Walaupun belum, paling tidak keinginannya sudah tercapai. Dan dia senang."

"Keinginan apa?"

"Punya anak perempuan."

Aku memutar bola mata sambil mengerucutkan bibir.

"Jangan begitu, bikin aku tambah gemas tahu nggak. Nanti aku cium, kamu bilang aku pelecehan."

Aku cuma cemberut.

"Hari ini kita ke mana?"

"Kakak istirahat saja. Besok siang kita ke acara perpisahanku. Malamnya ke pesta."

"Ok, aku nggak masalah. Paling tidak supaya para pria yang kemarin naksir kamu benar-benar berhenti."

"Kok jadi posesif gitu sih?"

"Ya jelaslah, jadi kamu mau mereka masih menghubungi kalau kamu sudah di Jakarta?"

"Kok jadi cemburuan begini?"

"Karena kamu banyak yang naksir."

"Tahu dari mana? Aku nggak pernah cerita."

"Ya tahulah, apa yang terjadi di sini pasti sampai ke telingaku."

"Ayo, punya mata-mata ya."

"Ada." Jawabnya santai.

Membuat rasa penasaranku bertambah. "Siapa?"

"Rahasia, akan kuberitahu kalau kita sudah meninggalkan tempat ini. Bahkan begitu pesawat take off."

Aku hanya mendengkus kesal. Dan kembali memasukkan barang-barangku. Masih cukup banyak, meski sebagian sudah kuberikan pada beberapa kenalan.

***

Pesta siang itu, kupilih di sebuah resto khas masakan manado yang terletak dipinggir laut. Seluruh undangan hadir, terutama karena sudah ada yang membocorkan isi goodie bag hari ini. Sebagai pembuka, kuucapkan terima kasih karena sudah menerimaku dengan tangan terbuka. Kurasakan kehangatan dan cinta mereka sebagai sahabat. Dan meminta maaf kalau ada kesalahan. Sekaligus pamit, karena masa tugasku sudah selesai.

Satu persatu mereka menyalami dan memelukku. Rasanya sedih, karena tahu aku tidak akan pernah kembali kemari. Kecuali untuk jalan-jalan. Sebagian menggoda, mengatakan kalau menikah jangan lupa mengundang mereka. Sambil melirik Kak Bara yang duduk di sudut ruangan.

Hari ini Kak Bara membawa serta kameranya. Aku baru tahu kalau ia suka fotografi. Berkali-kali memotret kebersamaan kami secara candid. Kecuali beberapa bagian yang memang dia ambil secara khusus.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

230221

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top