21

Happy weekend... sambil goyang dikit yuuuk bareng Kak Lyo sama Bang Ed Sheeran... SHAPE OF YOU

***

"Hai, mi."

"Hai sayang, apa kabar? Sedang apa?"

"Baru pulang dari pesta. Kangen sama mami. Mami sehat? Lagi ngapain?"

"Sehat. Masih di toko. Mau sortir yang di-sale besok. Mami kangen sama kamu. Dari pagi ingat terus. Jadi kepingin susul kamu ke sana."

"Sendirian? Aku baik-baik aja. Nggak usah terlalu khawatir gitu."

"Ada papamu sama Daud. Daud lagi motret tas yang sudah mama pilih. Kamu nggak kangen mami?"

"Aku juga, tapi nanggung kalau mami kemari. Kan tinggal empat bulan lagi. Terus aku juga sering tugas ke distrik. Jadi kasihan mami kalau harus ikut ke sana. Nggak lama lagi kok."

"Terus di sana bagaimana? Sudah ada yang naksir kamu?"

"Anak mami kan cantik. Pasti ada. Tapi aku belum kepingin. Lagian kan mau pulang, entar LDR lagi."

"Iya, mending cari yang di Jakarta aja, Kak. Biar nggak jauh dari mami."

"Semoga dapat ya mi."

"Mami berdoa untuk kebahagiaan kamu."

"Makasih, percaya kalau doa mami akan didengar Tuhan. Ya sudah, aku istirahat dulu ya. Salam sama papa dan Daud."

"Nanti mama sampaikan."

Lyo memutuskan sambungan. Rasa rindunya sedikit terobati. Paling tidak mami sehat. Itu yang paling penting buatnya. Meski sebenarnya ia memendam rahasia. Yakni mengenai Bara yang sering menghubungi. Tidak mungkin menceritakan tentang pria itu. Karena namanya yang sudah sangat buruk dimata orang tua Lyona.

Apalagi mami sudah pernah mengatakan ketidak sukaannya terhadap pria bertatto. Nah Bara? Hanya wajahnya yang bersih. Sisanya? Bagaimana mengatakan kalau seluruh tubuh pria itu penuh dengan gambar.

Ia sendiri masih merasa biasa saja. Mungkin karena sejak awal memang sudah mengetahui hubungan pria itu dengan banyak perempuan. Baginya sampai saat ini Bara hanyalah sekedar teman. Atau tepatnya kakak laki-laki yang sering mengunjunginya. Entah kalau dia. Karena itu apapun yang dikatakannya, sulit membuat Lyona percaya.

Akhirnya gadis itu meninggalkan kamar. Di dapur ia membenahi pakaian yang belum disetrika. Satu lagi keahliannya terhadap pekerjaan rumah bertambah. Meski belum terlalu rapi. Tapi jauh lebih baik, daripada menyerahkan pakaian pada orang yang tidak dikenal.

Sambil menyetrika, Lyo mendengarkan lagu favoritnya dari Ed Sheeran. Entah kenapa malam ini teringat akan usianya yang sudah hampir menginjak angka 26. Sebentar lagi, sudah harus benar-benar mandiri. Teringat akan perjalanan hidup yang telah dilalui. Terutama tentang papi. Sedang apa, papi sekarang?

Sudah lama mereka tidak berkomunikasi. Entahlah, kadang ia harus lebih dulu menghubungi. Meski sebagai anak ada rasa sedih. Kadang ingin agar papi mencarinya. Hubungan mereka tak pernah bisa diperbaiki. Meski papi sudah menikah lagi dengan perempuan lain.

Teringat papi, akhirnya teringat akan kisah cintanya yang selalu kandas ditengah jalan. Meski sebenarnya sudah berusaha memilih yang terbaik, tapi entah kenapa tetap saja belum menemukan yang cocok. Ada yang menurutnya baik, tapi mereka tak jauh berbeda dengan papi. Dan bila pria itu benar-benar baik, maka tidak menginginkannya sebagai kekasih.

Dan akhirnya pikirannya kembali terpaut pada Bara. Pria yang telah mendekatinya beberapa bulan terakhir. Mendekati? Benarkah? Atau sebenarnya keinginan untuk menaklukan? Karena tahu persis bagaimana pria itu. Bahkan sesaat sebelum ia meninggalkan Jakarta, Lyo tahu, Bara berhubungan dengan siapa. Sekarang ia jelas tidak tahu karena jauh dari sana.

Tapi memikirkan kembali, bagaimana pria itu pernah membawa pesawat pribadi mendarat di sini hanya untuk bisa bertemu dengannya. Atau mampir saat akan ke Manado, mau tidak mau membuatnya sedikit tersenyum. Benarkah? Atau hanya sekedar keinginan sesaat?

Bisakah pria seperti Bara setia? Lyona menggeleng. Tidak ada yang bisa menjamin. karena pria yang menurutnya baik-baik juga ternyata berselingkuh malah sampai menghamili gadis lain. Pusing dengan segala pemikirannya Lyo menghentikan kegiatan dan akhirnya melangkah ke kamar.

Sesampainya di sana kembali diraihnya ponsel yang sejak tadi tergeletak. Ada sebuah pesan dari Bara masuk lima menit yang lalu.

Sudah tidur?

Terlanjur tidak bisa tidur, dan merasa butuh teman bicara. Akhirnya Lyo memutuskan untuk membalas chat tersebut.

Belum, kenapa?

Aku telfon, boleh?

Boleh

Tak lama kembali ponselnya berdering. Lyo segera tertawa.

"Sehari ini, berapa kali nelfon aku?"

"Kayaknya berkali-kali ya. Dua kali diangkat. Benar nggak sih?"

"Benar, nggak bosan, Kak?"

"Nggak, malah kalau boleh dua puluh empat jam. Telfonan terus sama kamu kalau bisa. Bagaimana kabar mami kamu?"

"Mami baik, lagi mau pilih barang buat di-sale tadi." Ucap lyo dengan nada sedih.

"Kamu kenapa? Kangen?"

Gadis itu terdiam sejenak. Entah kenapa malam ini jadi merasa cengeng hingga akhirnya menangis.

"Iya, kasihan mami harus kerja keras. Dan aku nggak bisa bantu karena jauh." Ujarnya ditengah isak.

"Kalau mau cerita, aku bersedia mendengarkan."

"Nggak tega melihat mami. Karena harus menanggung biaya kuliah dua orang adikku. Tapi mau bagaimana lagi? Orang tuaku memang harus bekerja keras untuk bisa membiayai pendidikan kami. Kalau aku di Jakarta, pasti aku temani. Tapi sekarang aku di sini, jauh dari mereka."

"Mami kamu sendirian?"

"Enggak, ada papa dan Daud yang menemani. Kasihan Daud juga, karena siang kan harus kerja nyari berita. Bisa jadi dia kurang tidur. Namanya juga anak baru."

Bara hanya diam menunggu gadis itu mencurahkan seluruh kesedihannya.

"Kadang aku menyesal, kenapa dulu ngotot ambil kedokteran. Padahal kalau ambil jurusan biasa, mungkin aku sudah bekerja dan bisa membantu mami dan papa." Kembali terdengar isak Lyo.

"Jangan nangis, aku percaya kalau mamimu pasti bangga dengan kamu yang sekarang. Dan mereka sama sekali tidak menyesali. Kamu harus kuat dan sehat untuk mereka. Percaya deh, suatu saat nanti kamu pasti bisa membantu mereka dengan hasil jerih payah kamu sendiri."

"Semoga, kak."

"Mau dengar sesuatu?"

"Apa?"

"Setahuku, kamu adalah sosok yang kuat, paham dengan apa yang kamu mau, dan tekun menjalani keputusan yang kamu ambil. Kamu bisa seperti sekarang karena orang tuamu mendidik dengan baik. Jadi, jangan pernah membuat mereka sedih dengan pemikiran kamu barusan. Tidak ada jalan hidup yang sia-sia. Kalau kita sudah melangkah dengan sungguh-sungguh

Jadilah anak yang membuat mereka bangga dan bisa berjalan dengan kepala tegak. Karena kamu punya kemampuan untuk itu."

"Terima kasih, Kak."

"Sama-sama, tersenyumlah."

"Kadang aku cengeng, dan seperti anak kecil. Terutama kalau kangen begini. Kakak pernah kangen sama keluarga waktu masih di Kanada?"

"Pernah, cuma karena aku laki-laki. Ya, kelihatan tegar dan santai menghadapi. Meski sebenarnya dalam hati, nangis juga. Apalagi kalau lagi sakit. Karenanya kadang menyesal kalau harus ribut sama mama. Tapi mau bagaimana lagi kalau konsep dan cara berpikirnya tidak bisa kuterima. Karena aku sudah merasa dewasa dan sanggup bertanggung jawab terhadap keputusan sendiri.

Tapi, barusan, waktu aku merenung sadar akan satu hal. Bahwa mungkin sebagai anak, orang tua tetap menganggap aku masih harus berada dibawah perlindungan mereka. Aku saja yang menanggapi berbeda, dan akhirnya berkata kasar."

"Lalu sekarang?"

"Menyesal, rencana besok, ingin menyusul."

"Memang, Tante Serra ke mana?"

"Anyer, sama papa. Mungkin karena masih marah dengan kejadian kemarin. Jadi malas ketemu aku."

"Ya sudah, kakak kan bisa minta maaf. Ngapain harus menunggu besok?"

"Ya, sebaiknya nggak aku tunda selagi bisa. Seharusnya kita bahagia saat orang tua masih ada di depan kita."

"Hmm, agree. Dan kita masih bisa bermanja, sambil minta dimasakkan sesuatu."

Keduanya tertawa, tak sadar kalau saat itu sudah lewat tengah malam. Entah kenapa. Percakapan bahkan semakin terasa hangat. Hingga Lyo tidak menyadari bahwa pelan, Bara telah mengisi kekosongan hatinya. Sampai dua jam kemudian barulah keduanya saling mengucapkan selamat malam.

***

Serra baru saja bangun tidur dan terkejut saat melihat sosok Bara berbaring di sofa. Bertanya dalam hati, kapan putranya sampai di sini? Namun menahan diri untuk membangunkan, karena tidak tega melihat wajah lelah tersebut. Ia tahu, bahwa putra sulungnya sudah bekerja keras untuk mereka sekeluarga.

Sejak Arryan dilarang dokter bekerja, maka seluruh beban ada dipundak Bara. Meski sebenarnya sang suami memiliki uang lebih dari cukup untuk kehidupan mereka di masa depan. Namun Bara tidak mau berpangku tangan. Tidak ingin, kerajaan bisnis yang dibangun susah payah oleh papanya harus diserahkan pada orang lain.

Serra paham, bahwa kekerasan hati Bara sedikit banyak menurun darinya. Karena Arryan adalah orang yang lebih mudah untuk diajak bernegosiasi. Tapi ia benar-benar tidak suka, saat putranya menjalin hubungan dengan istri orang. Bagi Serra, posisi seorang istri ada di samping suami dan anak-anak. Merasa kalau Bara tidak bersedia membuka diri, maka hubungan tersebut bisa terjadi.

Ia menyadari kalau putranya sudah terlalu jauh melangkah. Karena itu sebagai ibu layak untuk menegur. Sayang, mungkin caranya salah, sehingga Bara malah tersinggung dan mereka ribut. Kadang, jika harus bertengkar dengan Bara, Serra teringat akan masa lalu. Ada rasa bersalah besar dalam dirinya, karena tidak bisa terlibat dalam mendidik sejak awal.

Tapi semua sudah usai, tidak ada jalan untuk menyesal. Perlahan perempuan yang hampir berusia setengah abad itu duduk diujung sofa dan meraih kepala Bara yang terkulai ke pangkuannya. Membelai rambut ikal memanjang penuh kasih sayang. Ia rindu saat-saat dimana Bara masih kecil dan turun dari bus sekolah. Mencarinya ke seisi rumah dan memeluk hangat. Merindukan aroma matahari yang membakar rambutnya. Alangkah cepat waktu berlalu.

Kini, putranya malah sudah hampir berusia tiga puluh tahun. Bahkan kalau ada jodoh, ia akan menjadi mertua. Entah kenapa beberapa bulan terakhir selalu berdoa, agar salah satu menantunya kelak adalah Lyona. Ia suka pada gadis itu, dan menginginkan sebagai anak perempuannya kelak. Berharap Tuhan mengabulkan doanya.

***

Happy reading

Maaf untuk Typo

200221

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top