20
Sebelum baca, dengerin lagu favorit Bang bara dulu ya....
BTARI CARAKA JUGA SUDAH UP YA.... yuk ikutin kisah mereka..♥️♥️
***
Bara POV
Aku tertawa keras tanpa peduli pada beberapa karyawan yang lewat di depan ruang kerja. Rasanya senang sekali bisa membuat Lyo marah. Bisa membayangkan wajahnya yang cemberut. Bibir merah yang mengerucut saat sedang kesal. Sangat menggemaskan. Mama benar, Lyo memang memiliki pesona tersendiri. Kadang terlihat sisi kekanakan dalam sosok tegarnya. Dan itu benar-benar menggemaskan.
Satu-satunya perempuan yang tetap berani menjadi menjadi dirinya sendiri di hadapanku. Tidak pernah berlebihan atau terkesan cari muka. Ia juga menjadi perempuan kedua yang selalu berani mendebatku setelah mama. Benar-benar ajaib bisa bertemu dan menjalin hubungan dengannya.
Hal lain yang membuatku merasa nyaman adalah, tidak perlu menjadi orang lain di hadapannya. Karena toh ia sudah tahu, bahkan hal terbejat dalam hidupku, kecuali berhubungan dan meniduri istri orang tentunya. Dengan kepolosan berpikir Lyo, ia selalu bisa menebak apa yang kupikirkan dan ingin bicarakan. Entah bagaimana ia bisa memahamiku dari banyak sisi.
Iseng kubuka beberapa gambar koteka. Kemudian mengirimkan sebuah padanya. Kutunggu beberapa saat, namun sepertinya ia tidak berniat membalas. Akhirnya kuletakkan ponsel diatas meja. lalu kembali bekerja. Tenggelam dalam pekerjaan sampai kemudian terdengar ketukan di pintu.
"Masuk." Perintahku. Cukup terkejut saat sosok DInda yang datang. Seperti biasa, ia datang tanpa membawa beban apapun.
"Ada apa, Din?"
"Aku mau makan siang dengan kamu."
"Kebetulan aku sudah makan siang. Kalau mau bicara, silahkan."
Ia segera duduk dikursi. Dan menatapku intens.
"Aku mau membicarakan tentang bisnis—" suaranya terhenti saat sosok lain berdiri di tengah pintu. Mama!
Dinda menegakkan wajah sambil menyilangkan kaki. Sementara mama masuk dan menatap tak suka. Kupejamkan mata, semoga kedua perempuan di depanku ini tidak saling mengeluarkan taringnya. Karena tahu mereka sama-sama memiliki itu dibalik sikap lembut yang terlihat.
"Tumben mama ke resto?"
"Papamu sedang berada di gedung sebelah. Jadi mama pikir, lebih baik kemari. Ternyata ada tamu."
"Bukan, hanya teman. Din, kenalkan mamaku."
Dinda mengulurkan tangan, mama menerima dengan senyum terpaksa. Ini pertama kali terjadi, dan aku tahu pasti mama sudah mengetahui apa yang terjadi dibelakangnya.
"Saya ibunya Bara." Ujar mama ramah meski ada penekanan dalam nada suaranya,
"Saya, Dinda. Kami berteman dekat."
"Ya, saya tahu. Beberapa kali melihat kalian berdua keluar dari tempat yang berbeda."
Wajah Dinda segera memerah, demikian juga wajahku. Kukira mama akan mengatakan sesuatu hal lain untuk memojokkan kami. Namun ternyata, tidak! Ia malah kembali melangkah ke luar ruangan.
"Mama akan ke rumah tantemu Lusi. Kalau papa mencari suruh menyusul saja. Saya permisi Bu DInda." Ucap mama sambil memberikan senyum kemudian menghilang dibalik lift.
Dinda menghembuskan nafas kasar. Aku tahu ia tidak suka dengan pertemuan barusan. Tapi sekaligus paham, tidak bisa mengatakan apapun lagi.
"Mamamu tahu hubungan kita?"
"Kelihatannya, papa pernah bilang kalau mereka melihat kita keluar dari sebuah hotel."
"Itu beneran ngelihat, atau hanya sekedar asumsi? Mama kamu kelihatannya lembut, tapi dia sudah menunjukkan kekuasaannya atas kamu."
"Aku menguasai diriku sendiri, kamu tahu itu."
"Aku yakin, kamu tidak berani mengatakan tidak padanya."
"Karena aku menghormatinya. Jadi ada masalah apa dengan bisnis kamu."
"Kita bicara lain kali saja. Mood-ku berubah." Ucapnya .
Kubiarkan ia pergi, karena tidak ingin beradu argumen yang akhirnya bisa membuat keributan.
Dinda baru ke luar sekitar sepuluh menit saat mama kembali masuk. Kuputar kedua bola mata, Mungkin tadi mama hanya berada di ruangan lain. Yakin setelah ini kami akan ribut.
"Pacar kamu?" Tanya mama tanpa basa basi.
"Bukan lagi."
"Jangan bermain api. Apa gunanya kamu menyusul Lyona ke Papua kalau kelakuan kamu di Jakarta tidak berubah?"
"Ma—"
"Mama hanya ingin memperingatkan kamu. Perempuan tadi memang seperti matahari. Tapi kamu tidak membutuhkannya. Kamu hanya membutuhkan sinar bulan agar bisa menuntun jalan gelap di malam hari."
"Mama, please. Ini urusan pribadiku. Tolong jangan mengatur hidupku."
"Bagaimana mama tidak mengatur, kalau kelakuan kamu seperti sekarang. Dia istri orang Bara, dimana attitude kamu?"
"Ini privacy aku, Ma. Lagian aku sudah nggak ada apa-apa sama dia."
"Lalu bagaimana dengan dia? Mama perempuan jadi paham bagaimana kaum kami sedang mengejar laki-laki. Kamu lihat tatapan matanya, kan?"
"Stop, berhenti sampai disini. Aku tahu apa yang harus kulakukan dalam hidupku. Mama jangan masuk terlalu jauh ke dalam ranah kehidupanku."
Wajah mama berubah seketika. Namun entah kenapa, kali ini mama diam. Tanpa berkata melangkah ke luar ruangan. Kupejamkan mata. Mama tidak pernah seperti ini. Apa karena Lyona? Pasti akan ada masalah besar yang menantiku.
***
Benar saja, sepulang ke rumah sikap mama berbeda. Ia lebih banyak diam. Bahkan saat makan malam, mama tidak menegurku. Dan papa memilih bersikap netral. Sehingga aku tidak terlalu merasa bersalah. Keesokan paginya juga sama, tidak ada mama yang memasuki kamar untuk membangunkan. Saat kulihat dari balkon, papa dan mama bergandengan sambil jalan pagi. Sepertinya cuma papa yang bicara. Mungkin berusaha menenangkan mama. Ada rasa bersalah yang cukup besar dalam diriku. Kami tidak pernah saling diam seperti ini.
Tapi memang benar-benar tidak ingin mama mencampuri kehidupan pribadiku terlalu jauh. AKu tidak mungkin mengatakan pada setiap orang kalau aku sudah selesai dengan Dinda. Hubungan kami sekarang hanya pertemanan. Dan aku bisa membatasi diri untuk itu. Kenapa saat ingin menjadi lebih baik, malah dituduh macam-macam?
Sampai kemudian siang harinya, cuma aku sendiri berada di ruang makan. Kutanya pada pelayan.
"Papa dan mama ke mana?"
"Mereka berdua sedang ke Anyer. Katanya mau menginap di sana." Aku hanya mengangguk. Kesal dengan keputusan mama yang mendiamkanku. Kutinggalkan rumah tanpa makan dan memilih langsung ke club.
Sampai malam, tak ada yang menghubungiku. Enggan terus memikirkan masalah kemarin, kuhubungi Lyo. Tidak diangkat. Sampai tiga puluh menit kemudian tak sekalipun terjawab.
"Kamu ke mana aja sih?" tanyaku kesal saat ia menerima panggilanku.
"Baru pulang dari pesta, HP ku-silent."
"Siapa yang menikah?"
"Pak Juan, guru sekolah di sini. Kebetulan aku kenal baik."
"Sama siapa ke sana?"
"Teman di rumah sakit."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Kak Bara kenapa sih? Nanyanya detail begitu?"
"Ya nanya aja, kan kamu pacar aku."
"Siapa bilang? Kemarin itu kamu kan menjebak aku?"
"Susah ya kalau ngomong sama orang labil." Emosiku segera meningkat.
"Yang labil siapa? Aku nggak merasa kita punya hubungan. Lagian Kak Bara kenapa sih? Tengah malam masih ngomel. Kayak perempuan PMS aja."
Kupejamkan mata sejenak. Jawaban Lyo malah membuatku semakin marah.
"Ya sudah kalau kamu tidak mau saya hubungi."
Kuputuskan pembicaraan kemudian meremas rambutku sendiri. Kenapa semua jadi berantakan begini? Kesal dengan situasi yang ada, kuambil botol minuman disudut ruangan. Menuangkan pecahan batu es kedalam gelas, dan menyecap minumanku.
***
Lyona POV
Kutatap ponsel dengan tidak mengerti, Kak Bara kenapa? Kadang aneh melihat sikapnya yang sering tiba-tiba berubah. Kesal karena membuat keributan di waktu hampir tengah malam, segera kubersihkan wajah. Namun pikiranku tetap tertuju padanya. Selesai membersihkan tubuh, segera kuhubungi ia kembali.
Kukira ia tidak akan mengangkat panggilanku, ternyata salah, ia malah langsung menerima.
"Ya, Lyo?"
"Kak Bara tadi kenapa, sih?"
"Nggak apa-apa. Kamu kok belum tidur?"
"Baru selesai bersih-bersih."
"Tidur gih, sudah hampir jam dua belas malam di sana."
"Terus, tadi kenapa emosi begitu?"
"Ada masalah dari kemarin. Dan lagi kesal aja."
"Lain kali, kalau kesal sama seseorang, jangan orang lain yang kena imbasnya. Aku kan jadi bingung. Lagian kakak tuh pemarah banget."
"Iya, ya. Aku juga sadar akhir-akhir ini sering emosian nggak jelas. Kecapekan mungkin."
"Butuh liburan kali."
"Sepertinya, nanti deh kupertimbangkan untuk liburan ke Kaimana. Tapi mau ke mana juga? Kamu kan lebih sering ke distrik."
"Ya ke Kanada, kek. Ngapain ke sini?"
"Ntar aja ke Kanada. Kalau sudah menikah sama kamu."
"Dih, sejauh itu? Pacaran aja belum?"
"Yakin kamu kita belum pacaran? Ini buktinya kamu gelisah karena aku marah-marah. Artinya kamu ada perhatian, kan?"
"Bukan begitu, cuma aneh aja. Ada orang yang tiba-tiba nelfon ngamuk-ngamuk karena aku kasih silent ponsel." Jawabku akhirnya.
"Jangan membohongi diri sendiri, Ly. Jujur aku lagi ribut sama mama."
"Kok bisa?"
"Entahlah, ada hal yang berbau prinsip dimana aku tidak ingin urusan pribadiku dicampuri oleh orang lain. Meski mamaku sendiri."
"Kak Bara ada salah mungkin? Jadi Tante Serra memperingatkan. Biasanya kan ibu-ibu begitu. Soalnya aku lihat dia bukan tipe ibu-ibu yang suka ikut campur urusan orang lain."
"Apa mama kamu juga sering begitu?"
"Ya. Mungkin bedanya Kak Bara lama tinggal di luar negeri. Jadi menganggap privacy adalah sesuatu yang penting banget. Sementara kami yang orang Indonesia merasa ada hal yang boleh saja dimasuki oleh orang tua. Karena pengalaman mereka lebih banyak."
"Mami kamu sering melakukan itu?"
"Ya, misal meski punya kamar sendiri. Dan itu menjadi area privat. Misal saat aku ada masalah di kampus atau lagi patah hati, mami melarang mengunci pintu kamar saat malam. Karena biasanya ingin memastikan keadaanku. Kadang kalau ketahuan nangis malam-malam biasanya ditemani tidur. Ya, perhatian semacam itulah."
"Kenapa kamu bisa nangis tengah malam?"
"Ya karena patah hatilah, jadi apa lagi? Kadang kalau nilaiku tidak sesuai dengan standarku."
"Aku kira orang segalak kamu nggak kenal patah hati."
"I am normal, Kak."
Kak Bara tertawa kencang.
"Kamu nggak kerja besok?"
"Dinas malam. Jadi bisa lah diajak begadang. Kak Bara lagi ngapain tadi?"
"Dengerin lagu."
"Lagu favorit kakak apa?"
"Mirror, Justin Timberlake. Kamu suka lagu apa?"
"Asyik tuh lagunya. Shape of you, Ed Sheeran."
"Sama-sama ngebeat sih. Enak dengerinnya. Kamu sudah ngantuk?"
"Belum sih, mau telfonan sama mami rencana."
"Ya sudah, kamu hubungi calon mertua kakak dulu. Nanti kalau belum ngantuk, telfon aku lagi ya."
"Dih, apaan, calon mertua."
"Ya kan mami kamu, nantinya jadi mertuaku."
"Amit-amit ih, Kak Bara."
"Bukan amit-amit. Lihat aja nanti. Nama kamu juga bisa jadi Lyona TedjaMulia. Bagus kan?"
"Nggak sama sekali!"
Terdengar tawa Kak Bara.
"Ya sudah, aku hubungi mami dulu ya, Kak. Selamat malam. Selamat bekerja."
"Sama-sama Lyona cantik"
***
Happy reading
Maaf untuk typo
170221
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top