19
Lyo hanya tertawa menyaksikan kemarahan Bara. Rasanya menyenangkan melihat pria itu emosi. Bergegas ia memasuki kamar mandi dan membersihkan tubuh. Takut tidak bisa menahan tawa yang akhirnya malah menimbulkan pertengkaran. Aroma laut dan garam membuatnya tidak nyaman. Menatap wajah dikaca, terlihat juga kalau kulitnya kusam. Tapi tidak terlalu khawatir, karena tadi sudah pakai sunblock. Setelah dicuci bersih, maka akan terlihat kembali seperti semula. Paling berubah sedikit.
Sengaja membawa pakaiannya ke kamar mandi. Karena tidak ingin Bara melihatnya hanya memakai handuk. Bisa-bisa laki-laki itu akan kesenangan mendapat pemandangan gratis. Karena rumah kostnya ini tidak memiliki kamar mandi pribadi.
Selesai semua, Lyo kembali ke ruang tamu. Mendapati Bara yang tengah kesulitan duduk. Mungkin karena kursinya kurang nyaman.
"Sudah selesai?"
"Sudah, aku ngeringin rambut dulu ya."
"Nggak usah, kelamaan. Di jalan juga kering. Aku mau ke kamar mandi."
Lyo hanya mengangguk membiarkan laki-laki itu berlalu. Sementara ia memilih mengeringkan rambut dengan menggunakan handuk. Tanpa tahu kalau kegiatannya dari tadi membuat Bara menggeram.
Keduanya lantas ke luar dan kembali memasuki mobil. Lyo menyebut salah satu restoran. Suasana siang yang panas, membuat Lyo sedikit kesal. Kalau Bara tidak datang, seharusnya ia bisa tidur dibawah dinginnya AC. Karena perjalanan dari Teluk Arguni tidak bisa dikatakan sebentar. Tapi tidak mungkin mundur.
Dan kini mereka sudah duduk berhadapan di sebuah restoran di tepi laut.
"Kamu betah di sini?" Tanya Bara memulai percakapan.
"Ya dibetah-betahin. Namanya juga kerja."
"Menyesal?"
"Sama sekali enggak, cuma kangen sama keluarga membuatku kesepian. Kadang kangen kota besar juga, apalagi kalau ingat teman-teman. Rasanya kepingin cepat pulang. Ngerasain lagi nongkrong di mal."
"Aku pernah merasakan itu saat baru pindah dari Kanada. Tidak punya teman di sini."
"Oh ya? Kak Bara bukan orang Indonesia asli?"
"Aku lahir di sini, tapi kemudian kami pindah ke sana. Saat kuliah baru papa dan mama kembali kemari. Meski saat itu masih bolak-balik. Kalau lagi di sana kangen keluarga. Tapi kalau lagi di Jakarta, ya kangen suasana Ottawa. Karena itu setahun sekali, aku pasti masih kembali, sekedar bertemu dengan teman lama."
Lyo hanya mengangguk sambil menyeruput jus jeruknya.
"Apa pekerjaan Kak Bara tidak terganggu kalau ke mari?"
"Nggak juga, aku sekalian ke Manado. Ada klub yang mau buka. Proses pembangunan sih sebenarnya. Jadi sekalian melihat perkembangan sudah sejauh mana. Kamu kapan kembali ke Jakarta?"
"Masih enam bulan lagi."
"Langsung kerja di sana?"
"Iya sih, mungkin di rumah sakit. Nanti melamar dulu."
"Kalau perlu bantuan ngomong aja."
Lyo hanya mengangguk. "Berapa lama di sini?"
"Kemungkinan besok pulang. Cuma mau ketemu kamu aja."
"Kan bisa telfon."
"Nggak puas."
Lyo tertawa sambil menatap tak percaya.
"Nggak usah bohong kalau dengan tujuan supaya aku tertarik. Itu alasan yang paling nggak banget dari Kak Bara."
"Kenapa sih kamu susah banget percaya sama aku?"
"Ya Tanya aja diri sendiri, kenapa jadi laki-laki yang susah dipercaya?"
"Kamu dulu ngapain ke klubku?"
"Kok tahu?"
"Ya tahulah, kamu satu-satunya orang yang masuk klub dengan kemeja lengan panjang digulung dan celana jeans. Pakaian paling sopan setahuku."
"Tahu juga dong, kalau aku lihat Kak Bara sama seorang perempuan?"
Bara hanya mengangguk.
"Gimana rasanya ditaksir banyak perempuan?"
"Pernah nanya itu ke papi kamu?"
Lyo menatap heran. "Tahu darimana tentang papi?"
"Aku tahu semua tentang kamu."
"Aku jadi merasa kayak hewan yang lagi diburu."
"Kamu bukan hewan, tapi perempuan cantik yang bisa bikin aku susah tidur."
"Alasannya?"
"Kamu pura-pura bego atau bego beneran?"
"Anggap aja bego beneran."
"Aku suka kamu. Sudah jangan didebat lagi. Mau jadi pacar aku?"
"Ih, langsung marah."
"Jawab sekarang." Nada suara Bara meninggi.
"Aku kan sudah bilang, lagi nggak nyari pacar. Masih banyak yang harus kukejar. Sekalian bahagiain mami."
"Aku nyari istri, serius. Apa sih syarat supaya bisa jadi suami kamu?"
"Belum mikir sejauh itu. Tapi yang pasti, aku harus yakin kalau laki-laki itu bisa setia."
"Setia tapi nggak punya uang?"
"Kan aku dokter, bisa bantu suami cari uang."
"Kalau aku?"
"Belum tahu sih, tapi rasanya Kak Bara nggak akan lolos jadi menantu mami."
"Kenapa?"
"Mami nggak suka cowok peminum dan tattoan."
"Yang mau menikah kan kamu?"
"Tapi kan harus ada persetujuan keluarga baru aku bisa jalan."
Bara tertawa kecil. Ia menatap wajah Lyo yang terkesan tidak peduli. Ada tantangan yang membuatnya penasaran.
"Kalau tentang Tatto dan minuman beralkohol, aku sulit merubah. Tapi kalau tentang setia bisa kucoba."
Tak lama makanan yang mereka pesan datang. Dua ekor ikan kerapu bakar, ikan kakap rica dan tumis kangkung. Bara menatap dengan mata lapar.dan seperti biasa tidak memakan nasi.
"Kak Bara nggak lapar kalau nggak pakai nasi?"
"Enggak, sudah biasa. Terlalu kenyang. Kenapa suka pedas?"
"Suka aja, aku kan orang Indonesia asli."
"Ayo makan, kamu kurusan itu."
"Kok tahu."
"Aku kan bisa melihat perbedaan kamu sekarang dengan empat bulan yang lalu."
"Merhatiin sampai segitunya."
"Namanya juga suka. Ayo makan, aku lapar."
***
"Bara kemana Arr?"
"Ke Manado. Kenapa?"
"Tumben selama ini? Biasanya paling tiga hari."
"Nemuin calon menantu kamu dulu mungkin."
"Siapa? Lyona? Memangnya mereka sudah jadian?"
"Belum, sepertinya belum ada lampu hijau dari Lyo. Biarkan saja, supaya dia tahu artinya berjuang sebelum mendapatkan."
"Seperti kamu dulu?"
"Jangan selama itu juga. Kasihan dia nanti."
Serra hanya tertawa, Arryan mengecup bibirnya sekilas.
"Kamu masih sangat cantik."
"Kamu gombal."
"Benar, dan aku masih sayang kamu banget."
Serra hanya tertawa sambil mengacak rambut suaminya.
***
Bara kembali ke Jakarta. Dengan tubuh lelah pria itu memasuki kamarnya. Namun mata awasnya merasa ada yang berbeda dibalik tirai balkon. Pelan pria itu melangkah mendekati pintu. Dan segera menghembus nafas lega. Karena Serra yang sedang berada di sana.
"Mama ngapain?"
"Menunggu kamu."
Bara tersenyum, kemudian memeluk dari belakang.
"Ben lusa akan pulang, jadi mama tidak kesepian lagi."
"Sama saja, kalian sering pergi. Coba mama dulu punya anak perempuan. Pasti ada yang menemani di rumah."
"Belum tentu juga, bisa saja malah dia menjadi model dan tinggal di Paris. Kalau tingginya ikut papa sih."
"Kamu itu." Balas Serra sambil melotot.
"Bagaimana pekerjaan di Manado?"
"Sejauh ini progressnya bagus."
"Kalau yang di... Kaimana?"
Bara tertawa keras, akhirnya kalimat itu keluar juga. Ia kembali mencium pipi sang mama.
"Mending nanya sendiri kan? Daripada titip pertanyaan lewat papa."
"Ayo jawab."
"Lyona baik."
"Mama suka kalau dia jadi menantu mama."
"Iya, galaknya sama. Dan mama pasti nanti lebih percaya sama dia daripada aku."
"Karena kamu tidak bisa dipercaya."
"Padahal aku sudah sangat jujur."
"Bagaimana dia sekarang?"
"Tambah hitam, tapi tetap cantik."
"Kamu serius sama dia?"
"Serius, tapi dianya nggak tahu. Masih belum ada jawaban."
Serra menyentuh bahu putranya. "Cukup perhatikan dia, perlakukan dengan baik. Dan jaga kehormatannya."
"Mama suka dia?"
Kembali Serra mengangguk. "Senang sekali kalau punya anak perempuan seperti dia nantinya. Mama jadi ada teman bicara."
"Bisa-bisa papa cemburu."
"Pembicaraan kami akan berbeda, antara perempuan."
"Ya, minimal aku tidak perlu menunggu mama di salon."
"Mama akan tenang kalau satu saat meninggalkan kamu dengan dia. Karena yakin, akan ada seseorang yang mencintai kamu. Tanpa embel-embel yang melekat pada diri kamu. Dan itu sangat penting buat mama."
Bara hanya tersenyum, sambil ikut menatap kolam renang yang jernih dibawah sana.
"Jangan bilang apa-apa ke Ben."
"Mama nggak akan bilang, dia pernah suka pada Lyona juga. Atau sebenarnya kamu takut kalau dia mendahului? Setahu mama dia lebih cepat dalam bertindak."
"Sama sekali tidak, Dia bukan tipe Lyona." Kini giliran Serra yang tertawa.
"Lyo bisa masak?"
"Setahuku enggak, kami selalu makan di luar."
"Tidak apa-apa. Nanti mama yang memasak untuk dia. Yang penting kamu serius dan tidak mengecewakannya. Jangan lagi punya banyak pasangan di luar sana."
"Sudahlah, Ma. Jangan mengungkit itu terus."
"Supaya kamu sadar, kalau sudah salah melangkah selama ini. Jangan bantah mama."
Bara hanya bisa menggaruk kepala.
***
Lyona membuka pintu kamar kostnya sore itu karena seseorang mengetuk. Ternyata seorang kurir.
"Paket dari Jakarta, Bu Dokter."
"Oh, terima kasih."
Seperti biasa, setiap bulan mami memang mengirimkan kebutuhan pribadinya yang tidak bisa dibeli di sini. Meletakkan kotak tersebut di meja kecil dapur, Lyo segera mandi. Namun tiba-tiba teringat sesuatu. Bukannya paket mami baru datang dua minggu yang lalu? Terus, itu dari siapa?
Penasaran, Lyo buru-buru menyelesaikan kegiatannya. Lalu kembali meneliti. Dari Bara ternyata. Dengan lincah jemari lentiknya membuka lapisan pembungkus satu persatu. Dan akhirnya terkejut saat melihat isi beserta kartu yang ada didalam.
Happy Valentine day.
I love you.
Seketika gadis itu merasa tak percaya. Namun melihat coklat yang ada di dalam kotak, mau tidak mau air liurnya terbit. Sudah lama tidak memakan coklat terenak favoritnya, Godiva. Selain itu ada juga beberapa kotak lain, yang merupakan favoritnya juga, Ferrero Rocher.
Sambil tersenyum, gadis itu meraih ponselnya, segera menghubungi Bara.
"Hai, Kak. Thank you valentine's giftnya ya. Surprise banget lho."
"Sama-sama. Beruntung bisa sampai tepat waktu ya."
"Iya, aku sendiri lupa kalau hari ini tuh Valentine. Pantas, tadi banyak anak sekolah yang pakai pernak pernik pink."
"Kamu terlalu serius bekerja."
"Nggak juga, mungkin karena lingkungan pertemanan yang sudah berbeda kali ya. Di sini kan temanku hampir semua sudah menikah. Kalaupun masih lajang biasanya mereka tidak merayakan. Jadi lupa."
"Terus hadiah kamu buat aku, mana?"
"Nggak seru, ih. Masa minta balasan hadiah. Mau beli apa juga di sini?"
"Ya, apa saja. Asal itu dari kamu, pasti aku terima."
"Nggak tahu, aku kan tinggal di kota kecil."
"Apa kek, kamu mikir dong."
"Mikir kok maksa. Tapi boleh deh, nanti aku cariin. Thank's banget ya, dua-duanya coklat favoritku."
"Aku senang kalau kamu suka. Terus bagaimana tentang tulisan di kartu."
"Ada tulisannya ya tadi, lupa. Yang I love you itu? Terima kasih sudah di cintai."
"Nggak ada niat membalas gitu?"
"Balas apa? I love you too, gitu? Kita kan nggak pacaran."
"Terima kasih, kamu sudah membalas."
"Balas apaan!" teriak Lyo sewot.
"Tuh, tadi sudah kamu jawab. I love you too. Kita sudah resmi pacaran berarti."
"Nggak ada, aku kan cuma asal jawab."
"Aku nggak peduli, kamu sudah balas pernyataanku. Kutunggu balasan hadiah kamu. Meski tahu akan terlambat."
"Iya, nanti aku kirim koteka."
"Boleh."
"Semoga nanti muat."
Bara tertawa keras diujung sana. "Apa perlu aku mengirimkan ukuranku? Supaya kamu nggak salah beli?"
Lyo yang sedang kesal, akhirnya memutuskan sambungan.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
140221
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top