15

"Selamat siang Dokter Lyona. Maaf mengganggu. Kaki saya terluka karena tidak sengaja menginjak karang waktu berenang di pantai Bantemin. Saya sulit berjalan." Ucap lelaki itu sambil meringis.

Semua wajah yang ada di dalam ruangan kini menatap keduanya. Seolah bertanya kenapa sudah saling mengenal.

"Silahkan naik ke ranjang pasien. Saya periksa." Balas Lyo sambil menatap tak suka. Kesal dengan tingkah Bara yang terkesan dibuat-buat. Kemudian mendekati ranjang lalu mulai memeriksa. Ternyata benar ada goresan yang cukup dalam. Dan masih ada pasir yang tertinggal disana.

Kemudian gadis itu memberi perintah kepada beberapa orang perawat untuk menyiapkan perban dan perlengkapan lain. Ia sudah cukup terbiasa untuk melakukan hal ini. Dengan hati-hati ia membersihkan bagian dalam luka kemudian memberi salep lalu membungkus. Tak lama semua selesai.

"Sudah, anda sudah boleh pulang."

Namun Bara bergeming terus menatap wajah gadis itu.

"Aku mau bicara sesuatu."

"Ini masih jam kerjaku."

"Bukankah sudah lewat sepuluh menit yang lalu?"

Lyona hanya melotot kemudian menatap beberapa rekannya yang terlihat sengaja menunggui mereka berdua.

"Kita bicara di samping." Ucapnya tegas sambil melangkah buru-buru meninggalkan ruangan. Sebal pada tatapan penasaran rekan kerja dan juga memuja kearah Bara.

"Kamu bohong, kan? Lukanya tidak sesakit itu" Semprot gadis itu.

"Kamu galaknya nggak habis-habis, ya."

"Karena nggak mungkin untuk luka gores seperti itu kamu harus menunggu satu malam baru ke mari. Ada beberapa dokter praktek di sini."

"Memang sebenarnya nggak terlalu sakit sih."

"Lalu ngapain kamu nemuin aku?"

"Bukan sengaja nemuin. Aku tahu kamu tugas di sini. Lalu aku kebetulan ada bisnis ikan dan lobster."

"Kamu itu pengusaha klub malam dan restoran. Setahuku tidak punya bisnis ikan."

"Ya aku kan punya restoran yang menjual beberapa menu seafood."

"Butuh berapa ton ikan resto kamu sehari? Sampai harus kemari naik pesawat buat bawa ikan? Aku yakin costnya nggak nutup."

"Kok kamu tahu kalau aku naik pesawat? Pasti dari orang-orang di sekitar kamu. Kamu tuh jadi perempuan pinter juga ya. Bisa mikir sampai sedetail itu. Kok aku merasa kita adalah pasangan yang cocok."

"Tapi aku merasa kamu adalah orang yang paling tidak cocok denganku."

"Eits, jangan marah-marah dulu."

"Aku masih jam kerja. Jadi nggak ada waktu untuk main-main dengan kamu."

"Aku serius, nggak ada juga alasan main-main dengan kamu. Kutunggu sampai kamu pulang. Kita akan makan dulu, lalu aku antar kamu ke kost."

"Memangnya kamu tahu dimana kost aku?"

"Ya tahulah, itu cuma masalah ke—"

Bara menghentikan kalimatnya dibawah tatapan penuh amarah Lyona. Namun entah kenapa bibir lelaki itu malah tersenyum.

"Kamu stalker aku kan? Bahkan sejak aku masih di Jakarta."

"Ya."

"Aku butuh penjelasan tentang itu."

"Kalau begitu akan aku jelaskan saat kita keluar nanti."

"Aku nggak punya waktu, harus istirahat karena baru pulang dari Kambrau."

"Apa itu yang membuat kulit kamu memerah? Makanya ngapain juga kamu kemari. Begitu banyak kota besar yang bisa jadi tempat dinas."

"Itu urusanku."

"Patah hati karena Dokter Ettore?"

"Bukan urusan kamu." Jawab Lyo sambil membalikkan tubuhnya.

"Aku tunggu kamu sampai selesai."

"Nggak usah nungguin aku. Karena aku sama sekali tidak tertarik mendengar alasan kamu datang ke mari."

"Kalau aku bilang imbalannya adalah Daud lolos ke JTV? Aku tahu dia sedang melamar di sana. Dan kebetulan aku kenal dekat dengan Kayana."

"Biarkan Daud lolos dengan kemampuannya sendiri. Kamu tidak perlu membantu." Balas Lyo dingin sambil meninggalkan tempat itu. Ia kembali ke dalam untuk mengambil tas lalu pulang. Lebih lelah menghadapi seorang Bara selama tiga puluh menit, dari pada menghadapi puluhan pasien sepanjang hari.

Sayang, keinginan itu tidak bisa diraih dengfan mudah. Karena dengan langkah tertatih, Bara mensejajari langkahnya.

"Itu telapak kamu sakit, kenapa nggak naik mobil aja?"

"Aku akan naik mobil, kalau sama kamu."

"Kostku dekat."

"Aku tahu."

Seketika Lyona menghentikan langkah kemudian melirik tajam pria yang ada disampingnya. Sampai kemudian ia menoleh lalu menatap dengan putus asa.

"Bisa nggak sih kamu menjauh." Ucap Lyo pelan.

"Kalau bisa aku sudah melakukannya sejak dulu."

"Kamu bukan tipeku."

"Bisa kita bicara di luar saja? Kakiku sakit kelamaan jalan."

Akhirnya Lyo mengangguk.

"Tante Serra tahu kamu kemari?"

"Tidak ada yang tahu."

"Termasuk kekasih kamu?"

"Kamu tahu tentang mereka?"

"Nggak terlalu sebenarnya. Hanya saja kamu selalu menjadi bahan perbincangan para teman perempuanku. Jadi setidaknya aku mendengar."

"Kenapa tidak tanya langsung? Aku ada di sini dan siap menjawab semua pertanyaan kamu. Ngapain harus mendengarkan cerita orang lain yang belum tentu benar?"

Mobil yang mereka tunggu telah datang. Lyo sedikit mengerenyit saat Bara masuk ke dalam. Karena setahunya pria itu tidak pernah menaiki mobil sejenis ini di Jakarta.

"Kita ke mana? Tanya gadis itu.

"Ke hotelku."

"Ke resto saja. Kawan Baru, Pak." Perintah Lyo pada sang sopir.

"Ikuti saja kemauannya, Pak." Balas Bara akhirnya setelah sekian lama mobil tidak berjalan.

Keduanya tiba di restoran.

"Mau sekalian makan malam?" Tanya Bara.

"Boleh."

Bara memesan beberapa jenis makanan laut. Namun hanya memesan satu nasi.

"Kenapa nasinya cuma satu?"

"Aku lebih suka ikan. Nanti kalau mau aku minta punya kamu sesendok."

"Terus sebenarnya kamu ngapain kemari?"

"Menemui kamu, kenapa masih nanya sih?"

Meski menghembuskan nafas kesal, gadis itu memilih tidak menanggapi.

"Aku kepingin kenal kamu lebih jauh. Dan yakin kalau telfon, kamu pasti nggak akan angkat. Aku sudah melakukan berkali-kali."

"Kamu pasti tahu apa alasanku. Karena memang tidak ada yang bisa kita bicarakan lagi."

"Aku ingin kita bicara sebagai orang dewasa. Kamu nggak punya pacar, kan?"

"Meski nggak punya bukan berarti aku menjatuhkan pilihan sama kamu."

"Kenapa memilih dokter Ettore?"

"Suka aja, melihat cara berpikir dia. Menurut aku cowok yang suka bersentuhan langsung dengan kegiatan humanity itu keren dan jarang banget."

"Aku juga bergerak dibidang itu. Meski tidak terjun langsung. Menyisihkan keuntungan satiap bulan agar klinik milik mereka terus berlangsung. Dan itu sudah berjalan bertahun-tahun. Kami punya tujuan sama meski memilih jalan berbeda."

"Buat aku itu tetap berbeda. Lagipula aku yakin tidak akan sanggup menjadi pasangan kamu. Dengan begitu banyak perempuan yang mengelilingi. Aku menganut prinsip monogamy, dan nggak suka diduakan. Kita berbeda, dan prinsip itu tidak akan pernah bisa disatukan. Aku rasa sudah jelas, alasan kenapa nggak mau dekat dengan kamu. Jadi berhentilah mengejar aku."

Bara menatap Lyona, ia kehabisan kata.

"Kamu tidak bisa mengatur kehidupanku Lyona. Termasuk memintaku melakukan hal yang kamu inginkan."

"Dan kamu juga tidak bisa mengatur perasaanku."

***

Dalam pesawat yang membawanya, Bara lebih banyak diam. Memikirkan kembali apa yang telah ia lakukan. Menyusul gadis yang jelas-jelas menolaknya dari dulu. Ini bukanlah dirinya. Mematikan ponsel dan menikmati kebersamaan mereka yang hanya beberapa jam. Menatap wajah dengan berbagai ekspresi. Ada marah, kesal dan tawa dengan mata yang benar-benar cantik. Semua terekam dalam kamera ponselnya. Kenapa tidak sadar kalau dari dulu Lyona semenarik itu? Tapi entah kenapa, Lyona bukan lagi sebuah tantangan yang harus ditaklukan. Lebih kepada perasaan yang harus dimenangkan. Tapi darimana harus memulai?

Ia tidak mungkin berubah menjadi orang lain untuk seorang Lyona. Namun meninggalkan sebagian hati di kota kecil tersebut membuatnya masuk kedalam suasana yang mau tidak mau memberi rasa tidak nyaman. Penolakan pertama yang diterima dari seorang perempuan. Hanya Lyo yang sanggup menolak keinginannya. Biasanya Bara bisa mendapatkan siapapun yang ia inginkan.

Gadis itu memang berbeda. Bukan saja tidak mudah ditaklukkan. Tapi juga membuatnya betah berlama-lama berada di hadapannya. Menatap bola mata bening dan besar. Termasuk anak rambut yang nakal selalu menutupi sebagian wajahnya. Ia merasa kalah, tapi yakin takkan mengalah. Ia akan kembali ke sana, menemui gadis itu sampai hatinya luluh. Tidak peduli berapapun biaya yang dibutuhkan. Yang penting cuma satu hal, mama jangan sampai tahu.

***

Lyona POV

Kututup kain Gorden kemudian merebahkan tubuh di kasur. Rasanya hari ini jauh lebih melelahkan. Terutama karena harus berhadapan kembali dengan Bara. Ngapain juga dia harus jauh-jauh ke mari? Entahlah, pikiranku tidak bisa menjangkau kehidupan orang dari kalangan mereka. Berapa biaya menerbangkan pesawat kemari? Sementara untuk ke distrik aku harus naik longboat 170 pk. Karena tidak ada transportasi lain.

Mungkin karena saat ini kami sekeluarga dalam masa sulit. Aku, Daniel dan Daud sama-sama sedang menempuh pendidikan. Terutama Daniel yang harus kuliah dengan mata uang dolar. Bagaimana mami dan papa harus mencari uang agar bisa membayar seluruh biaya kuliah kami tepat waktu. Aku sangat menghargai kerja keras mereka.

Sebenarnya bisa saja minta pada papi. Tapi entahlah, masih ada luka yang belum mengering. Sehingga malas untuk meminta bantuan. Dengan konsekuensi aku harus lebih berhemat dan serius dalam belajar. Karena harus meraih nilai tinggi untuk mendapatkan beasiswa. Beruntunglah, sekarang tidak terlalu memberatkan mami lagi.

Berada di kota kecil ini juga membuatku banyak merenung. Tentang arti sebuah keluarga. Bagaimana kami biasa menghabiskan hari bersama. Baru kali ini aku berpisah dari mereka sehingga mengerti arti kesepian dan harus benar-benar mandiri. Biasanya dengan mudah minta tolong Daud atau papa. Sekarang semua harus kulakukan sendiri.

Tanpa sadar aku sebenarnya adalah anak manja. Di sini harus menanggalkan rasa malas. Terutama kalau kebutuhan pribadi habis. Biasanya cuma perlu ambil di lemari yang ada di dapur. Termasuk sabun dan lain sebagainya.

Lama larut dalam lamunan, ponselku berdenting. Bara?

Aku sudah sampai di Manado. Dan akan berada disini sampai dua hari yang akan datang. Semoga kamu baik-baik saja.

Kutatap chat yang baru saja masuk itu. Bersama chat lain yang sudah ada beberapa bulan sebelumnya yang tidak pernah kujawab. Sayang tidak ada getaran apapun dalam hatiku. Apalagi untuk membalas pesannya. Tapi ada rasa tidak enak juga, karena ia sudah jauh-jauh kemari. Kupejamkan mata, sampai pada sebuah keputusan yang menurutku paling bijaksana.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

00221

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top