13
Sepulang dari panti, dalam perjalanan lama Serra menatap Bara. Mencoba mencari kata yang tepat, karena mengenal karakter sang anak. Meski sang putra sulung sudah tahu apa yang akan dibicarakan. Namun pura-pura tidak menyadari keinginan sang ibu. Sampai akhirnya mamanyalah yang membuka percakapan.
"Bara, tadi lihat anak gadis yang masuk ke panti? Pakai mobil warna merah?"
"Lihat, kenapa?"
"Namanya Lyona, sama nggak sih dengan yang waktu itu ditaksir Ben?"
"Sepertinya sama. Kenapa?"
"Kamu nggak suka sama dia gitu?"
"Suka apa dulu nih."
"Maksud mama, sebagai laki-laki ke perempuan."
"Dia bukan tipeku, perempuan yang memilih tampil polos biasanya hanya cocok dijadikan ibu rumah tangga. Dan aku sendiri menuntut lebih dari itu. Mama tahu, kan?"
"Dia dokter lho."
"Meskipun dokter, artinya dia bahkan tidak menghargai dirinya sendiri. Rambut diikat seadanya. Bahkan keluar rumah tanpa lipstick. Setidaknya dia paham dimana tempatnya berada."
"Tapi kan mama lihat dia perempuan yang setia."
"Setia saja tidak cukup untukku. Karena justru aku yang tidak bisa setia. Kasihan anak orang nanti."
Kali ini Serra memilih diam, namun akhirnya sang ibu mencoba sekali lagi.
"Atau mama jodohin sama anak tantemu saja ya? Mahendra, anaknya Lusi."
"Boleh sih kalau mau. Sepertinya mereka cocok. Tapi ngapain sih mama sibuk jodohin orang, setiap manusia kan sudah punya jodoh sendiri."
"Ya sayang aja, karena selain cantik, dan baik. Dia juga punya passion dalam kegiatan sosial. Kalian tidak ada yang berkecimpung disana. Bagaimana dong dengan yayasan mama."
"Ya cari oranglah, apa susahnya? Masih banyak orang yang tertarik dibidang itu, selain Lyona."
Serra seketika kehilangan semangat. Bara melirik sejenak, namun akhirnya hanya tersenyum smirk. Ia tak suka dijodoh-jodohkan. Terutama oleh sang ibu, dengan alasan bahwa selera mamanya tidak akan jauh dari perempuan seperti Lyona.
***
Lyona masih berkutat dengan beberapa pasien terakhir saat Dokter Akandra yang sudah selesai menghampiri ruangannya.
"Mau dibantu Dokter Lyona?"
"Kalau dokter sudah selesai, boleh."
Dengan cekatan sang dokter membalut luka kaki pemulung yang sudah hampir busuk. Luka seperti ini selalu menimbulkan bau tak sedap. Dan baru saja dibersihkan oleh Lyona. Tampaknya dokter yang baru lulus itu terlihat sedikit kesulitan. Bisa dilihat saat keringat menetes dikeningnya. Biasanya ada perawat yang membalut, tapi hari ini mereka bekerja berdua saja. Tak lama semua selesai. Akandra meminta beberapa pasien untuk pindah ke ruangannya. Sementara Lyona memilih untuk melanjutkan sisanya.
Seluruh pekerjaan berakhir setelah pukul delapan malam. Saat keduanya keluar dari klinik.
"Makan dulu yuk, Ly."
"Makan dimana, Dok?"
"Naik aja, nanti dijalan kita pikirkan."
Lyona segera naik ke atas motor sang dokter. Membiarkan seniornya memilih tempat. Namun yang membuatnya cukup terkejut adalah, ternyata motor berhenti di Istana Koki. Meski tak suka akhirnya gadis itu turun. Paling tidak ia harus menghormati pilihan sang dokter.
Sementara tanpa disadari, Bara menatap keduanya dari kejauhan. Pria itu baru saja selesai makan malam dan berniat melanjutkan perjalanan ke club. Merasa tidak nyaman melihat kedekatan Lyo dengan pria yang dikenalnya bernama Akandra itu. Ettore baru selesai, sekarang muncul lagi Akandra. Bisik pria itu dalam hati. Meski mengenal kedua pria yang dekat dengan Lyo dari aktifitas mamanya yang cukup tinggi dalam dunia filantropi.
Akhirnya ia melangkah mendekati keduanya.
"Bagaimana makanannya, Dok?"
Mendengar itu, Lyo segera meletakkan sendok dan garpunya. Menyadari bahwa makan malam ini pasti akan berakhir buruk.
"Seperti biasa enak sekali, Pak Bara. Oh ya, mari makan sekalian."
"Saya baru selesai, boleh pinjam Dokter Lyona sebentar? Ada yang mau saya bicarakan, ini tentang pesan mama saya."
"Oh silahkan."
"Kita bicara di dalam." Ucapan Bara lebih terdengar sebagai perintah.
"Kamu apa-apaan sih?" teriak Lyo sambil melotot menatap Bara yang tengah tertawa saat keduanya tiba di salah satu ruangan yang terlihat kosong.
"Kamu cantik kalau lagi kesal begitu."
"Terus kamu mau ngomong apa? Dengan cara kamu tadi seolah bilang ke Dokter Akandra kalau aku pacar kamu."
"Aku nggak bilang begitu, kamu saja yang kegeeran. Seingatku cuma bilang mau membicarakan pesan mamaku."
Lyona semakin marah, sementara Bara hanya tersenyum karena merasa sanggup mempermainkan emosi gadis dihadapannya ini.
"Aku nggak punya waktu melayani orang kayak kamu. Heran ya, Tante Serra yang seperti malaikat bisa punya anak kayak lucifer. Permi-" ucapnya sambil membalikkan tubuh, sayang lengannya ditahan oleh Bara.
"Aku tidak minta dilayani. Kamu saja yang tidak tahu, bahwa sebenarnya aku juga bisa baik. Hanya saja aku nggak selalu harus jadi malaikat. Sesekali jadi lucifer bolehlah, biar seru. Sebenarnya cuma mau mengingatkan, kalau nanti bisa terjadi pertumpahan darah antar Dokter Akandra dan Dokter Ettore. Kamu nggak sadar sudah mempermainkan keduanya?"
"Nggak akan, karena keduanya bukan pacarku. Mereka cuma teman kerja. Tidak lebih! Dan mereka juga menyadari posisi masing-masing. Lagian kalaupun terjadi apa urusannya dengan kamu?"
"Baik kalau begitu, terima kasih atas jawaban kamu." Balas Bara tanpa peduli penjelasan Lyona.
"MAKSUD KAMU APA SIH! NGGAK LUCU TAHU NGGAK!"
"Tidak ada lelucon yang terbentuk dari hal normal, Lyo. By the way, terima kasih atas informasinya, bahwa kedua dokter itu bukan pacar kamu."
"Terus apa gunanya informasi itu buat kamu?"
"Nggak ada." Jawab Bara dengan cuek.
"Dengar ya, aku sudah bosan lihat kamu nggak jelas seperti ini. Satu lagi, ngapain kamu menyuruh orang untuk mengikuti aku?"
"Eits, siapa bilang? Aku tidak pernah melakukan itu. Untuk apa? Kamu kira kamu penting buatku?"
"Aku memang nggak penting buat kamu. Tapi cara kamu stalker aku bikin ilfil tahu nggak."
"Dengar aku nggak pernah stalker kamu. Ngapain melakukan hal itu pada orang yang jelas-jelas membuat kita tidak tertarik."
Lyo hanya menggelengkan kepala. Menahan rasa marah, malu dan entah apa lagi. Laki-laki didepannya ini benar-benar menyebalkan.
"Satu yang harus kamu ingat! Seumur hidup, ini terakhir kali aku menginjakkan kaki di tempat ini."
"Tidak masalah, aku masih memiliki tiga restoran sejenis diluar sana. Jadi bisa saja kita bertemu di salah satunya."
Tanpa berkata apa-apa, Lyona meninggalkan Bara yang tengah merasa meneguk kemenangannya. Namun tidak lama, Karena kemudian pria itu melihat Dokter Akandra berdiri dan melangkah keluar restoran sambil memeluk bahu Lyo. Tak hanya sampai disitu, jemarinya mengepal erat saat melihat Lyona menaiki motor pria itu sambil memeluknya erat!
***
Surat penempatan telah keluar. Lyona akan bertugas di Kaimana Papua. Ia bersyukur, tidak perlu menunggu lama. Beberapa teman telah menyampaikan, bahwa tempat itu cukup baik. Berada dipinggir laut, dan hubungan antar distrik bisa ditempuh dengan longboat atau kapal kecil.
Vera adalah orang yang paling berat melepaskannya. Sampai-sampai ingin mengantar kesana. Namun segera Lyo menolak. Ini adalah hal yang sudah lama diimpikan. Ia juga sudah menghubungi beberapa teman di sana untuk menjemput dan membantu mengurus segala hal penting ke Dinas Kesehatan dan Pemerintah setempat.
Kegiatan sehari-hari sebelum berangkat masih sama seperti sebelumnya. Membantu Dokter Akandra, kadang juga menemani maminya di toko. Beruntung sejak kejadian malam itu tak lagi bertemu Bara. Menjadi sebuah kelegaan karena pria itu seperti hilang di telan bumi.
Sementara ia juga beberapa kali bertemu dengan Mama Serra di panti. Dan perempuan itu selalu saja mengatakan ingin menjodohkan dengan putranya yang entah siapa. Lyo tidak mau tahu lagi.
Namun sore itu sedikit berbeda, sebelum keberangkatannya minggu depan, tiba-tiba Mama Serra memintanya untuk makan siang bersama. Kali ini Lyo menurut karena bukan hanya ia sendiri, melainkan bersama beberapa orang suster.
Ternyata jamuan yang dimaksud berlangsung di kediamannya sendiri. Lyo yang baru pertama kali berkunjung dibuat terpana. Rumah itu besar sekali bahkan hampir seperti istana. Taman dan seluruh bagian luar tertata apik. Pantas saja, Mama Serra sanggup mengeluarkan uang sangat banyak untuk banyak kegiatan sosial. Karena memang sangat berkecukupan.
Memasuki bagian dalam rumah yang luasnya bagai hall hotel bintang lima. Lyo dikejutkan dengan interior yang lebih terlihat seperti galeri seni daripada rumah pribadi. Terasa sekali sentuhan tradisional Indonesia. Tak lama sang empu rumah turun dari lift bersama seorang pria tua namun masih gagah yang ditebaknya sebagai suami Mama Serra.
"Hai Lyo, kenalkan suami mama. Panggil saja Papa Arryan. Arr kenalkan ini lho gadis yang kuceritakan. Namanya Lyona."
"Hai Lyona, senang bertemu dengan kamu." Sapa pria tua itu dengan ramah sambil mengulurkan tangan.
"Sama-sama, Om."
Kemudian Om Arryan menyapa tamu Mama Serra yang lain. Terlihat sekali mereka memiliki perbedaan usia yang cukup jauh. Namun saling mencintai. Saat seluruh tamu diajak menuju lantai dua yang menurutnya ruangan pribadi mereka, keduanya bergandengan tangan. Romantis sekali.
Akhirnya mereka tiba di sebuah balkon, yang menghadap ke hutan buatan. Lyona memandang dengan takjub. Disana juga sudah ada banyak makanan dalam jumlah yang menurutnya tidak terlalu berlebihan.
"Suka pemandangannya, Lyo?" Mama Serra bertanya sambil mendekati.
"Suka banget, udaranya juga segar."
"Mama juga senang sekali berada disini. Apalagi kalau sarapan."
Mereka kemudian mengelilingi sebuah meja yang sepertinya sudah dipersiapkan. Karena jumlah kursi sama persis dengan jumlah tamu ditambah tuan rumah. Obrolan siang itu juga hanya berkisar tentang hal-hal ringan. Yang sebenarnya Lyo tidak bisa menebak apa tujuan makan siang ini, kecuali mempererat hubungan pekerjaan. Dan seperti biasa ia hanya bisa diam.
Sampai kemudian saat acara hampir selesai, seseorang muncul yang sepertinya baru bangun tidur. Hanya bercelana pendek dan bertelanjang dada. Jelas tidak sopan.
"Bara! Kamu kebiasaan seperti itu." teriak Mama Serra.
"Sorry, tidak tahu kalau ada tamu. Mau pakai ruang gym papa. Saya permisi dulu."
Setelah menatap Lyo sejenak, pria itu pergi tanpa mengatakan apapun.
"Kamar Bara sebenarnya ada di bagian lain. Tapi ruang Gym bersatu di area sini. Dia sering bangun siang karena harus bekerja sampai pagi."
Lyo cukup heran dengan kalimat Tante Serra. Karena bukti yang selalu ditemui adalah, Bara sering berkeliaran disiang hari saat menemuinya. Namun apapun yang terjadi di luar sana, ia tetaplah tamu di sini.
Perempuan muda itu memilih fokus pada hutan buatan diujung sana yang dipenuhi pohon tinggi. Butuh berapa lama menumbuhkan mereka? Pasti itu adalah tempat yang menarik, selain lapangan golf dan kolam renang memanjang seperti sungai terlihat dari atas sini. Sepertinya keluarga Mama Serra memang benar-benar kaya raya. Sepintas teringat bagaimana Daud harus melepaskan cita-citanya agar ia bisa terus kuliah di kedokteran.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
28121
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top