12
Bang Daud sudah bisa dimiliki secara digital ya. Versi ebooknya hadir di PLAYSTORE. Yang kangen silahkan....
Tenang... ada extra part kok disana.
***
Bali adalah tempat terbaik bagi Bara untuk lari dari segala permasalahan. Terutama tentang pekerjaan. Tidak mudah untuk memimpin banyak anak usaha yang diserahkan sang ayah padanya. Sebenarnya ini bukan tujuan pada awalnya. Ia lebih tertarik mendalami ilmu tentang ruang angkasa. Namun sebagai anak yang sangat menyayangi keluarga, akhirnya tidak ada pilihan lain. Apalagi ibunya yang selalu membicarakan penyakit sang ayah.
Pagi itu ia menatap pemandangan sawah di Ubud, yang terletak dibelakang hotel milik mereka. Bulir embun yang masih menempel memberikan suasana sejuk pada siapapun yang melihat. Pantaslah tempat ini menjadi salah satu destinasi tujuan parawisata dunia. Karena memang lengkap, mulai dari laut, pantai sampai gunung dan danau.
Melakukan lari pagi sendirian memberikan kesenangan. Masih mengenakan jaket hoodie dan bercelana panjang, Bara kerap berpapasan dengan banyak penduduk dan wisatawan. Namun seperti biasa ia memilih diam. Karena memang tidak suka beramah-ramah dengan orang yang tidak dikenal.
Sifatnya berbeda jauh dengan Ben. Adik satu-satunya itu mirip dengan ibu mereka. Ramah, bisa menghidupkan suasana yang kaku. Dan juga mudah bergaul. Bukan berarti Bara tidak bisa bergaul, hanya saja harus dengan orang yang dikenalnya dengan baik.
Saat hendak memasuki area hotel, ekor matanya menemukan sang adik yang baru bangun tidur.
"Tumben bangun pagi?"
"Biasa aja lagi, dah sampai mana joggingnya?"
"Keliling aja, mama dan papa sudah bangun?"
"Belum, masih pelukan kali."
"Elo tuh." Omelnya.
"Gue mah bener, mau ngapain lagi tuh orang berdua kalau bukan mesra-mesraan tiap pagi. Bikin sakit mata!" Selesai mengucapkan kalimat tersebut Ben berlalu dari hadapannya. Seketika Bara bersyukur, karena tidak ada lagi kalimat tentang Lyo sampai pagi ini.
Sambil sedikit tersenyum ia memasuki kamar. Menyenandungkan lagu kecil dan menghampiri sarapan yang telah terhidang. Pancake dengan buah strawberry dan irisan kiwi yang menggoda. Dua buah favoritnya yang selalu hadir dimanapun ia berada. Entah karena suasana hening yang tercipta pagi itu, ingatannya kembali menghampiri sebuah nama, Lyona. Membuat senyum itu semakin mengembang.
***
Rasa lega itu, tak berlangsung lama. Saat makan siang di The Ultimate, Ben kembali membuat ulah. Di hadapan kedua orang tua mereka. Sang adik menghubungi Lyo. Bara pura-pura tidak mendengarkan dan sibuk dihadapan Macbooknya. Namun telinganya masih mendengar gombalan receh Ben terhadap gadis itu. Yang menurutnya bisa saja membuat Lyo malah merasa bosan.
Selesai bertelepon, kembali mamanya bertanya pada sang adik.
"Lyo itu bagaimana sih orangnya?"
"Yang aku lihat pertama sih, seru dan cerdas. Mama tahu kan bagaimana kalau perempuan cerdas dan punya selera humor tinggi diajak ngobrol."
"Sudah lama kenal?"
"Baru sih, tapi aku suka lihat dia. Sayang ditolak karena sudah punya pacar."
Arryan yang diam, melirik Bara sejenak. Menatap wajah sang putra sulung yang tetap mempertahankan raut wajahnya. Tapi jelas ia tidak bisa dibohongi. Karenanya pria tua itu meraih ponsel dan mengetik sebuah pesan pada Bara. Karena tidak ingin putra tertuanya itu merasa diintimidasi dengan kalimat.
***
Sore itu di Rock Bar.
"Siapa Lyona?"
"Papa kenapa?"
"Hanya bertanya."
Bara tertawa kecil, "bukan siapa-siapa. Aku sudah menjelaskan dimeja makan dua hari yang lalu. Apa ini titipan pertanyaan dari mama?"
Arryan diam, namun tersenyum kecil.
"Mamamu ingin kamu lebih serius dalam menjalin hubungan."
"Aku belum menemukan orang tersebut. Hubungan selama ini hanya sekedar teman."
"Papa tahu bagaimana kamu di luar sana. Karena itu mamamu khawatir."
"Mama?"
"Ya, dia pernah melihatmu keluar dari sebuah tempat, bersama seorang perempuan yang lebih tua."
"Dinda? Kenapa mama tidak tanya langsung?"
"Kamu mengenal mamamu dengan baik."
"Ya sih."
"Carilah, sampai kamu menemukan. Kemudian berhentilah, karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan kedua."
"Seperti kita?"
Tanpa menjawab Arryan mengangguk.
Keduanya kemudian menatap ombak dengan minuman yang masih penuh. Menikmati sore sebagai ayah dan anak.
***
"Ud, kapan launcing video yang tentang petani asparagus kemarin?"
"Minggu depan, gue belum sempat edit. Kenapa?"
"Nanya doang."
"Kak—"
"Hmm?"
"Lo sadar nggak sih kalau akhir-akhir ini sedang diikuti seseorang?"
Lyo meletakkan buku dipangkuannya.
"Ya, dan gue tahu siapa."
"Lo nggak buat masalah diluar, kan?"
"Nggaklah."
"Tell me. Lo nyimpan sesuatu?"
"Cuma nggak kepingin mami dan papa tahu terus mikir macam-macam."
"Lalu, siapa?"
"Orangnya Bara."
Seketika wajah Daud menegang.
"Bara yang—"
"Ya, yang punya club dan reputasinya buruk. Sudah hampir tiga bulan sih, awalnya sejak kasus perempuan itu. Tapi kemarinya lebih intens."
"Lo nggak takut?"
"Kadang, tapi kalau pulang malam lumayan juga. Jadi berasa ada yang ngawal."
"Kalian berteman?"
"Sekedar beberapa kali ketemu aja."
"Lo nggak takut? Sejauh mana?"
"Dia nggak semenakutkan yang dibilang orang. Kecuali sifat playernya itu. Nggak sejauh mana juga."
"Lo suka sama dia?"
Lyona menatap kesal sang adik. "Nggak ada alasan gue suka sam dia. Pertama bukan tipe gue. Dan kedua, bukan tipe mami. Yang paling utama, nggak ada satupun sifat papa yang ada di dia. Jawaban gue rasanya sudah lebih dari cukup."
"Atau lo masih mengharapkan Dokter Ettore?"
"Nggak juga, dia sudah bilang, kalau asmara bukan prioritasnya. Jadi jelas nggak ada tempat buat gue."
"Hati-hati kalau begitu, Bara orangnya nekat."
"Pasti, makanya gue menghindari pulang malam sekarang."
Daud akhirnya diam dan menatap sang kakak yang kembali berkutat dengan buku ditangan. Yakin bahwa jawaban Lyo sangat jujur tentang Bara.
***
Bara POV
Aku kembali sibuk dengan kegiatan semula. Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Menjadi kota yang paling banyak kukunjungi. Perlahan namun pasti, semua berjalan dengan baik. The Ultimate Bali juga sudah kembali seperti semula.
Sekarang cukup banyak untuk bersantai. Sampai kemudian mama mengajak untuk mengunjungi sebuah panti asuhan pada suatu pagi. Karena Ben sudah kembali ke UK, dan papa tidak mungkin pergi keluar rumah, jadilah aku yang mengantar, meski masih mengantuk.
Suasana jalanan tidak terlalu padat, membuat kami cepat sampai. Mama lebih dahulu turun dan segera disambut oleh para suster dan pekerja panti. Aku mengenal mereka karena memang cukup sering kemari. Mengikuti jejak mama, aku menyalami mereka. Lalu kemudian kembali ke mobil. Karena memang tidak tahu apa yang dikerjakan di sini.
Sampai kemudian sebuah mobil yang kuketahui milik Lyo berhenti di depan pintu utama. Gadis itu segera keluar, ia terlihat sendiri. Dan seperti biasa tampil cantk dan enerjik. Namun tetap terlihat girlie, sesuatu yang diam-diam aku sedikit suka, karena memang berbeda. Suster kepala menyambutnya dengan pelukan hangat. Sepertinya ia sering kemari. Belum sempat masuk, tiba-tiba mama keluar dan tampak terkejut. Namun melihat senyum mama yang lebar, aku tahu bahwa setelah ini hidupku takkan bisa tenang lagi.
***
LYO POV
Kulepaskan pelukan Suster Margareth sambil mengucapkan terima kasih. Ya, akhirnya aku bisa menyelesaikan koas minggu lalu. Kemari untuk menyampaikan ucapan terima kasih, karena sudah mendukungku selama ini. Sekaligus mengundang untuk acara syukuran di rumah.
Namun tiba-tiba seorang perempuan paruh baya yang sangat cantik keluar dari bagian dalam. Rasanya pernah bertemu dengannya, tapi dimana?
"Oh ya, Lyona. Kenalkan ini Ibu Serrafina TedjaMulia. Salah seorang donatur tetap yayasan ini."
Aku segera mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri. Ia menatapku sambil memberikan senyum yang sangat lembut. Belum berkata-kata saja aku sudah menilai bahwa perempuan di depanku pasti sangat menyenangkan.
"Hallo, kamu boleh memanggil saya Mama Serra." Ujarnya sambil mengulurkan tangannya yang berkulit halus dan sangat putih.
"Hai, Mama Serra. Aku Lyona."
"Kamu cantik sekali."
"Terima kasih." Jawabku malu.
"Sepertinya saya pernah bertemu kamu, tapi dimana ya?" tanyanya lagi sambil mengerenyitkan kening. Aku hanya diam, karena merasakan hal yang sama.
"Oh, iya. Kamu seorang dokter?"
"Baru beberapa hari yang lalu lulus. Selama ini masih koas."
"Ya, kita bertemu di rumah sakit. Kamu menemukan sapu tangan saya yang jatuh." Akhirnya Mama Serra menjawab sendiri pertanyaannya.
Aku hanya bisa menggeleng sambil tersenyum karena memang jujur tidak mengingat sama sekali.
"Ayo masuk, jangan mengobrol disini." Ajak suster Margareth.
Kami semua menurut dan memasuki bagian dalam panti.
"Ada apa kemari?" Tanya suster.
Aku menjelaskan maksud kedatanganku. Dan kembali mendapatkan pelukan serta ucapan selamat.
"Tidak disangka ya, waktu cepat sekali. Rasanya baru kemarin kita bertemu di Jaringan Perempuan. Waktu itu kamu masih mahasiswi malah. Sekarang benar-benar sudah menjadi dokter."
"Iya suster."
"Terima kasih undangannya Lyo. Dan semoga saya bisa datang. Oh ya, karena sudah jadi dokter beneran, bisa dong sering main kemari."
"Bisa suster, tapi rencana aku ambil PTT di Papua."
"Hebat banget kamu. Jangan lupa pada niat awal ya Lyo."
"Ok suster. Kalau begitu aku pulang dulu. Jangan lupa datang ya, ke acara syukuran."
"Saya akan datang, Oh ya, Dokter Ettore sudah berangkat?"
"Sudah, tapi ada Dokter Akandra sekarang yang menggantikan."
"Syukurlah, saya tahu, orang-orang seperti kalian akan terus bertumbuh."
"Oh ya, Mama Serra kalau nanti ada waktu, datang juga ya." Ucapku karena tidak enak padanya yang sejak tadi seperti mendengarkan pembicaraan kami.
"Ya, terima kasih undangannya Lyo. Mama suka lihat kamu yang aktif di dunia seperti ini. Kenal Dokter Ettore juga?"
"Ya, kebetulan saya banyak belajar dari dia. Dia seperti sebuah buku tebal, tempat banyak orang bisa menimba banyak ilmu. Tante kenal juga?"
"Ya, kebetulan, keluarga kami menjadi mitranya saat ada kegiatan."
Aku tersenyum lebar, senang karena Mama Serra mengerti akan dunia yang kugeluti sekarang.
"Saya senang lihat kamu, rasanya jadi ingat dari dulu kepingin punya anak perempuan seperti Lyo, suster." Balas Mama Serra.
"Oh iya, Ibu Serra tidak punya anak perempuan di rumahnya. Dia yang paling cantik. Kalau begitu bisa nih dipertimbangkan untuk jadi menantu."
"Bisa banget, tapi saya yakin Lyo yang nggak mau sama putra saya."
"Ah mama Serra bisa aja."
Seketika kami tertawa. Mengerti mungkin anaknya laki-laki semua. Dan Mama Serra bukan yang pertama berbicara tentang ingin mengambilku menjadi menantu. Banyak teman mami juga mengatakan hal serupa. Bagiku itu hanya sebatas obrolan. Aku mengangguk, sampai kemudian benar-benar pamit. Setelah mendapatkan pelukan dari keduanya.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
26121
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top