10
Begitu banyak bencana ya akhir-akhir ini. Saya harap kalian sehat semua. Demikian juga keluarga besar kalian.
Bagi para korban bencana alam, entah itu gempa, longsor maupun banjir. Semoga kalian semua tetap sehat, sabar dan kuat. Doa kami bersama kalian.
Dan buat kita yang memiliki rejeki lebih, mari saling membantu. Melalui beberapa organisasi sosial yang ada. Sedikit dari kita, pasti akan meringankan beban mereka.
***
Menahan kesal Lyo kembali meraih tugasnya. Dikembalikan! OMG ia tak pernah membayangkan kalau ini terjadi. Baru saja terlambat untuk mengikuti jadwal professor Ahmad. Lalu sekarang harus melakukan revisi tugas dari Dokter Harahap. Lengkap sudah penderitaannya.
Semua karena makan siang bersama Bara yang menghabiskan waktu sekian jam. Termasuk perjalanan pulang yang macet total. Menahan geram ia mengumpat dalam hati. Ini yang terakhir, setelah ini takkan adalagi manusia bernama Bara yang mengganggu. Setelah ini harus dipastikan kalau mobil akan baik-baik saja. Awas kamu Daud kalau sampai mobilku mogok lagi. Kalau perlu aku akan minta mobil baru ke papi.
Rasanya airmata sudah berada dipelupuk. Pertama kali hidupnya dipenuhi kekacauan. Berusaha menenangkan diri Lyo memasuki area toilet. Kemudian diam disana selama beberapa menit. Untung tempat ini bersih. Setelah merasa siap, ia keluar.
"Ly, dicari sama Professor Ahmad." Teriak Andri temannya saat tiba di ruangan khusus koass.
Tak sempat duduk, Setengah berlari Lyo menuju ruangan para petinggi di rumah sakit tersebut.
"Selamat siang, Prof." sapanya pada pria berusia setengah abad lebih itu.
"Selamat siang, Lyona. Kenapa tadi tidak bisa ikut? Setahu saya kamu salah seorang yang terbaik selama ini."
Kali ini ia benar-benar menangis karena merasa bersalah. Dengan menunduk ia menjawab,
"Maafkan saya, prof. Ada sedikit kendala di jalan."
"Seingat saya kamu salah seorang yang selalu on time sejak dulu. Dan saya bangga dengan itu. Kalau begitu kerjakan tugas kamu seperti biasa. Bagaimana dengan tugas kemarin?"
Seketika wajah yang menunduk itu tegak kembali. Pria dihadapannya ini terkenal sangat tegas, tapi hari ini entah kenapa ia merasa dimaafkan.
"Sudah selesai, Dok."
"Serahkan pada asisten saya, nanti akan saya periksa."
"Terima kasih banyak." Balas Lyo sambil membungkukkan tubuh. Ini benar-benar diluar dugaan.
Perempuan itu kemudian pamit dan melangkah kembali ke ruangannya.
Sementara, jauh dari tempat itu. Seorang Bara sedang menyecap minumannya. Merasa sedikit lega, saat tadi menghubungi Profesor Ahmad. Pria itu adalah seorang dokter spesialis yang dikenalnya dengan baik. Karena merupakan salah seorang dokter pribadi papanya.
Ia tahu Lyo sudah terlambat, karena itu menghubungi sang kenalan. Entah kenapa, ada sedikit rasa bersalah. Meski tidak tahu apa tujuannya. Seharusnya ia tidak perlu peduli. Tapi membayangkan wajah polos itu, hatinya menolak diam.
Masih menatap keramaian Jakarta di siang hari sambil menanti teman dekatnya. Rasa yang hadir kali ini benar-benar mengganggu. Teringat akan kecurigaan besar Lyo terhadapnya. Pria itu tertawa kecil, karena gadis itu tidak salah. Meski juga tidak seratus persen benar.
Bagi sebagian perempuan ia memang menakutkan. Meski sebenarnya bukan player seperti yang dituduhkan banyak orang. Hanya sekedar pria yang mencari teman berbagi diatas tempat tidur. Itu normal, bukan? Lalu salahnya dimana? Ia hanya tidak ingin berpura-pura menjadi pria baik, karena memang tidak ingin dianggap orang baik.
Yang tidak diketahui banyak orang adalah, para perempuan yang menjadi mantannya jelas bukan korban. Mereka melakukannya atas dasar suka sama suka setelah masing-masing pihak setuju. Sama-sama suka pada aktifitas ranjang. Melepas rasa jenuh terhadap rutinitas. Orang banyak tidak pernah tahu kalau sebenarnya ia sangat lelah terhadap tekanan pekerjaan yang ada.
Bersama para perempuan itu, ia tidak pernah menjanjikan masa depan. Dalam arti sebuah perkawinan. Karena memang bukan tujuan hidup seorang Bara. Lagi pula ia tidak tahu perempuan mana yang akan membuatnya benar-benar tertarik. Karena memang tidak pernah menginginkan secara sungguh-sungguh salah satu dari mereka.
Yang orang tahu, mereka adalah perempuan pilihan, harus cantik dan bertubuh bagus. Baginya itu adalah hal yang wajar. Ia punya segalanya yang membuat bisa memilih. Apa cuma dia yang suka pada perempuan seksi? Jelas tidak!
Ia memang tidak pernah menutupi saat sedang dekat dengan seseorang. Membiarkan para gadis itu mengumbar kedekatan mereka. Kecuali, Dinda tentu saja. Karena perempuan itu masih berstatus istri. Sementara yang lain adalah para perempuan lajang yang haus akan belaian dan uang. Sebuah hubungan simbiosis mutualisme.
Tapi hari ini semua berbeda, Sebenarnya ia menyadari, sejak pertama bertemu perempuan itu. Karena ketika isi kepala selalu berpikir tentangnya, maka ia percaya ada rasa tertarik disana. Entah itu hal yang baik ataupun tidak. Pertemuan pertama mereka membekas dalam ingatan Bara, meski bukan sebuah kejadian menyenangkan. Bara hanya menggelengkan kepala, sulit menerka isi kepalanya sendiri.
***
Bara menahan kepala dengan sebelah tangan. Sementara Dinda sedang ke kamar mandi. Baru kali ini kegiatannya terganggu. Bayangan Lyo yang tersenyum manis tanpa make up, rambut diikat seadanya dan raut polos yang tidak sadar kalau dirinya perempuan yang sangat cantik.
Bagi Bara, kecantikan milik Lyo tidak sama dengan perempuan lain. Dibarengi dengan kecerdasan yang tidak setiap orang punya. Pertahanan diri yang baik dalam menghadapi kaum pria sepertinya. Serta emosi yang meledak-ledak jelas membuatnya tertantang. Segala strategi yang biasa ia lakukan, tidak berguna sama sekali.
"Kamu berubah."
Suara Dinda membuyarkan lamunannya. "Berubah kenapa?"
"Kamu sedang jatuh cinta?" Tanya perempuan itu lagi.
"Tidak sama sekali."
"Aku kenal kamu lebih baik daripada diri kamu sendiri. Siapa dia?"
"Bukan siapa-siapa. Aku hanya sedang banyak pekerjaan."
"Kamu tidak semenggebu biasanya."
Bara tertawa kecil, tidak mudah menenangkan Dinda. Perempuan itu sangat sensitif terhadap hal kecil dalam dirinya. Namun seperti biasa ia tidak ingin menyakiti.
"Aku hanya lelah dengan rutinitas, rasanya hidupku terlalu lama di jalan. Kepikiran untuk membeli mobil yang nyaman untuk istirahat. Punya ide?"
"Nggak sih, mobil Van kamu kan sudah cukup banyak. Tapi aku yakin, bukan mobil yang mengusik kamu. Melainkan perempuan."
Pria itu kemudian meraih Dinda yang tengah penasaran ke dalam pelukannya.
"Nggak usah mikir aneh, aku masih nyaman bersama kamu."
Perempuan itu diam, namun entah kenapa hati kecilnya terusik. Merasa bahwa Bara bukan miliknya lagi. Meski tahu selama ini ada beberapa perempuan lain. Tapi mereka semua bukanlah saingannya. Akankah hubungan mereka ini berakhir? Ia tidak siap untuk itu, setelah beberapa tahun memiliki Bara.
Dalam hati Dinda berjanji akan mencari siapa yang menjadi saingannya kali ini. Model, pengusaha atau putri seorang pejabat? Sementara sang pria memilih memejamkan mata. Mencoba menyadari apa yang sudah dilakukannya sepanjang siang tadi. Sesuatu yang tidak masuk akal sebenarnya.
***
Lyo masih bergelung di balik selimut. Hujan deras dari tadi malam membuatnya malas bergerak. Ditambah hari ini adalah jadwal libur. Mami dan papa juga tidak membangunkan. Sementara Daud ke pulau pramuka bersama teman-temannya.
Sampai Akhirnya sebuah panggilan memasuki ke ponselnya. Ia tersenyum kecil, Ben!
"Hai, ben."
"Hai, Lyo. Kamu sedang apa?"
"Masih tiduran, dingin di sini."
"Bogor juga hujan deras. Tapi saya suka udaranya. Segar sekali."
Lyo tertawa kecil.
"Kamu ada acara hari ini?"
"Nggak ada sih, paling mau mampir ke toko buku aja. Tapi nanti agak sore."
"Toko bukunya, menjual buku berbahasa asing?"
"Setahuku sebagian kecil sih, kalau mau yang berbahasa asing ada di sebuah mal besar. Tapi sepertinya kurang lengkap. Kenapa?"
"Aku sedikit kesulitan kalau membaca buku dalam bahasa Indonesia."
"Kamu kan tidak pernah sekolah disini."
"Aku temani kamu boleh? Aku free hari ini. Lagipula tidak tahu mau buat apa di Jakarta. Lagian kita belum pernah ketemu kan?"
"Boleh sih, Kita ketemu langsung disana aja, ya."
"Ok, kirim alamatnya ya."
"Sip."
Lyo akhirnya bisa tersenyum. Paling tidak dia akan punya teman.
***
Mataku terbelalak saat melihat sosok yang sepertinya masih anak SMU muncul dihadapan. Bercelana jeans, dengan kaos putih dan jaket hoodie berwarna abu-abu. Kulitnya memang sedikit gelap, tapi wajahnya cukup manis. Berusaha menahan diri untuk bertanya tentang usia, kami segera masuk ke bagian dalam Gramedia.
"Kamu sering kemari?" tanyanya.
"Lumayan, untuk menghabiskan waktu. Toko buku ini sering diskon juga. Kamu memang lagi liburan disini?"
"Ya."
"Sejak kapan di UK?"
"Sejak Secondary sih. Papa mamaku kembali ke Indonesia. Dan aku tidak punya teman di Kanada."
"Wow kamu lahir disana?"
"Ya, aku lahir di Saskatchewan."
"Aku baru dengar nama itu. Kamu terlihat masih muda."
"Ya, tempat itu nggak terlalu tenar sih seperti Ottawa. Tepatnya aku tujuh belas tahun. Kenapa?"
Rasanya aku sudah salah mengajak orang. Pria disebelahku ternyata masih kanak-kanak. Tapi ia terlihat lebih matang daripada usia sebenarnya
"Setelah ini kita kemana?" tanyanya.
"Makan siang, mau?"
"Boleh, tapi kalau bisa jangan yang terlalu pedas ya."
"Kenapa?"
"Aku tidak terbiasa."
"Tapi bahasa Indonesia kamu bagus."
"Papa dan mamaku Indonesia asli yang biasa berbicara dalam bahasa ibu mereka. Jadi aku mengerti dan bisa. Oh ya, kamu suka makanan apa Lyo?"
"Apa saja, tapi lebih suka sayur."
"Kamu saja yang menentukan tempatnya kalau begitu."
Aku mengangguk, ternyata orangnya sangat menyenangkan. Kamipun pergi menuju salah satu restoran vegetarian favoritku. Diluar dugaan, Ben menyukainya. Dengan alasan cukup sering makan di restoran seperti ini. Beberapa sahabatnya vege juga.
"Aku senang memiliki teman seperti kamu disini. Karena sebenarnya tidak tahu untuk apa harus pulang. Selain menyenangkan mama."
"Kamu tidak punya saudara disini?"
"Ada, kakak laki-lakiku. Tapi dia sangat sibuk. Meski masih selalu pulang. Dia pebisnis, meneruskan dari orangtuaku sebenarnya. Tapi kuakui, kemampuannya sangat baik."
"Berarti dia pria yang hebat."
"Boleh dikatakan begitu, usia kami berbeda jauh. Jadi sulit untuk dekat. Tapi dia baik kok, dan selalu melindungiku. Kamu punya kakak laki-laki?"
"Tidak, aku punya adik laki-laki. Kami sangat dekat."
"Aku pernah ingin punya adik, tapi papa tidak mengijinkan mamaku untuk hamil. One day kalau menikah, aku ingin punya anak banyak."
Aku tertawa kencang mendengar itu. "Sebaiknya kamu menyelesaikan sekolah dulu baru memikirkan tentang perempuan."
"Itu adalah kalimat mamaku. Kamu sudah punya kekasih Lyo?"
Kulebarkan mata menatapnya lekat.
"Saat ini tidak, kenapa?"
"Aku suka kamu."
Kalimat itu benar-benar membuatku ingin pingsan.
***
Happy Reading
Maaf untuk typo
17121
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top