RETAK 5

"Produk baru yang kau usulkan mendapat sambutan luar biasa," ucap Aren saat berada di lift yang sama. "Kau tahu, masa pre-order hari ke-2 sudah tembus 5 ribu pcs, luar biasa! Sepertinya aku harus mempromosikan dirimu."

"Itu tidak perlu, aku tidak ingin jauh dari putriku."

"Sayang sekali, padahal ini kesempatan bagus untuk kariermu."

Tyas tersenyum tipis sebelum berpisah ke ruangannya. Dia tidak menginginkan hal lain selain terjaminnya pengobatan Luna.

"Permisi, Pak Narendra meminta Anda menemuinya di ruang meeting sekarang." Seorang OB baru saja mengantar kopi hitam seperti biasanya. "Maaf, apa Anda sakit?"

"Aku? Tidak, kenapa?"

"Anda terlihat sangat pucat. Maaf saya lancang."

"Tidak apa-apa, terima kasih. Kau bisa pergi sekarang."

Pucat? Akhir-akhir ini Tyas memang merasa kepalanya sering berdenyut dan pandangan kabur. Selama ini dia hanya berasumsi terlalu lelah. Namun, seseorang menyebutnya pucat, mungkin dirinya harus  memperhatikan kesehatan lebih ekstra. Dia tidak boleh sakit, tidak ada yang akan menjaga Luna. Setelah menikah, tidak sekalipun Aren mendekati Luna, apalagi menyentuhnya.

Perutnya seperti diaduk, sesuatu dari dalam menuntut dimuntahkan meski belum makan apa-apa. Adegan muntah-muntah itu menyita banyak waktu dan membuatnya terlambat ke pertemuan.

Sepatu hak tinggi menimbulkan bunyi saat dia berjalan cepat di koridor yang sepi. Semua orang sudah berkumpul, selain staf internal, ada beberapa kolega yang sengaja di undang. Dalam satu sapuan pandang, Tyas menyapa semua yang hadir dengan senyum tipis di wajahnya. Senyumnya memudar kala pandangan mata terpaut pada pria berkacamata dengan rambut yang selalu terpangkas rapi.

Seluruh anggota tubuh Tyas seakan tidak berfungsi, lemas, dan dia tidak bisa berpikir. Henri ada di sini? Dia pemenang tender yang akan menangani produk terbaru Narendra Production?

Waktu seakan berhenti berputar, dadanya teramat sesak bak diimpit dinding-dinding tak terlihat yang melantakkan seluruh tulangnya. 

"Anak terkutuk! Pembawa sial!" kata-kata yang terlontar bertahun-tahun lamanya tidak dapat Tyas lupakan dengan mudah. Rasanya terlalu sakit, saat seorang ayah menolak kehadiran anaknya. "Aku menjatuhkan talak!"

Tyas tersesat dalam roda waktu, memori pahit yang dijejalkan bersamaan membuat kepalanya seakan dihantam palu raksasa, matanya berkabut, perlahan seluruh tubuhnya tidak berfungsi, dan kegelapan merenggut seluruh kesadaran.

***

Tyas merasakan dirinya terbaring di kasur atau sofa yang empuk, entahlah. Itulah sensasi pertama yang dia rasakan ketika mulai siuman. Samar-samar, sebelum dia menangkap bunyi pantovel yang semakin menjauh, Tyas mendengar seorang wanita berkata, "Selamat, Pak. Sebentar lagi Anda akan menjadi seorang ayah."

Seketika organ sebesar kepalan tangan di dada seolah terlepas dari tempatnya meski kedua mata belum terbuka. Cahaya terang menembus retina secara perlahan ketika dia mengerjapkan kelopak yang terkatup. Wajah pertama yang terlihat, Narendra yang tengah menggenggam tangannya. Senyum terlebar yang pernah Tyas lihat menghias muka Aren. Gurat bahagia yang tidak bisa disembunyikan saat mendengar kehamilan sang istri.

"Aku sangat bahagia kau akan memberiku pewaris," ucap Aren dengan wajah berbinar. Matanya berkaca-kaca sampai kumpulan warna terlihat di mata keemasannya. "Aku akan menjaganya seperti bola mata yang sangat berharga. Dia akan tumbuh dengan ceria dan menjadi pusat dunia. Orang-orang akan membicarakan kepandaiannya, penerus perusahaan raksasa Narendra Production."

Harapan Aren yang berapi-api mengurungkan niat Tyas menceritakan kebenaran Henri. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan yang jarang Tyas lihat. Dia terlihat bangga dan bahagia saat produk barunya sukses di pasaran dan cepat menggeser posisi terkuat produk lain, tetapi Tyas belum pernah melihat kebahagiaan yang meluap-luap sebesar ini.

"Kau ingin bertemu Luna?" Tyas tidak percaya dengan pendengarannya, Aren menawarkan diri mempertemukan dengan Luna. "Tunggu sebentar, akan kubawa Luna ke sini."

Tak habis rasa syukur Tyas panjatkan kepada Tuhan, Aren datang menggendong Luna dengan senyuman merekah di wajah. Bocah berkepang dua pun anteng di dekapan ayah sambungnya.

"Lu-na, a-kan pu-nya ... a-dek," ujar Aren dengan penekanan lembut di setiap kata-katanya.

"Adek, Mama untuk Luna?"

"Iya, a-dek un-tuk Lu-na." Di pangkuan Aren, bocah berponi sepanjang alis bertepuk tangan. Namun, ketukan pintu membuat rasa takut Luna menyergap cepat, dia mengerut di ceruk leher Aren saat dua lelaki berpenampilan necis masuk.

"Maaf, atas kejadian tak terduga ini, meeting pun harus ditunda," kata Aren saat Henri menemuinya.

"Tidak masalah, apa dia putri Anda? Manis sekali." Bogem imajiner seolah menghantam telak dada Tyas bersamaan meluncurnya pertanyaan dari sang mantan.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top