RETAK 3

Bukan hal yang mudah meninggalkan Luna untuk waktu yang cukup lama. Pagi-pagi sekali sebelum putrinya membuka mata, Tyas telah berangkat ke Cirebon. Inspeksi mendadak di pabrik batik tulis penyuplai bahan dasar Narendra Production perlu dilakukan demi menjaga kualitas dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kecurangan, kata Aren menegaskan berkali-kali pentingnya menginspeksi bahan mentah untuk produknya.

Kepercayaan dalam sebuah hubungan pekerjaan atau ikatan apa pun sangat penting. Menginspeksi pabrik sebenarnya tidak perlu dilakukan. Namun, tidak bagi Aren. Masa lalu membuatnya bersikap waspada terhadap segala kemungkinan buruk. Keputusan-keputusan yang diambil pun lebih mengarah ke preventif. Mungkin, karakter itulah yang membuat Narendra Production menjadi produk fesyen pria yang digemari di kalangan kawula muda. Kualitas dari tahun ke tahun selalu terjaga, posisinya di pasar fesyen pun tidak tergoyahkan.

"Semua batik di sini dibuat manual hingga kualitas tetap terjaga," jelas ketua pengawas lapangan saat Tyas berkeliling gedung luas yang berisi ratusan pegawai. "Kain, malam, dan alat yang digunakan pun tidak sembarangan. Kami mempekerjakan orang-orang yang berpengalaman."

Tyas mengangguk setuju. Meski di ruangan luas itu hampir tiga per empat wanita, tidak ada yang terlihat membuang waktu sia-sia. Semua fokus pada pekerjaan di depan mereka. Tidak ada candaan atau pembicaraan yang tidak penting.

"Tahap awal pemilihan kain, kami memastikan kain yang dipakai memiliki kualitas grade 1. Di sana, kain-kain siap digambar dengan berbagai motif." Lelaki berjas kelabu menunjuk ke ruangan lain bersekat kaca.

"Bisa kita ke sana, Pak?" pinta Tyas sembari merapikan blazer yang dikenakannya.

"Mari."

Motif mega mendung sedang digambar oleh remaja awal dua puluhan. Tyas takjub dengan kemampuan remaja putri yang telaten menggambar di kain lebar itu. Setiap lengkungan sangat halus. Tahap pemberian lilin dilakukan oleh wanita yang kebanyakan usianya paruh baya. Dengan hati-hati lilin panas diaplikasikan ke kain sedikit demi sedikit mengikuti motif dengan bantuan canting.

Proses pewarnaan sampai penjemuran yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Kain-kain yang berlapis malam akan dicelupkan pada air mendidih yang sudah diberi pewarna. Langkah terakhir pengeringan dengan bantuan cahaya matahari. Ada halaman luas untuk menjemur kain-kain yang sudah berwarna. Terakhir pengemasan yang sangat rapi hingga kain batik tulis khas Cirebon siap kirim ke berbagai tempat, termasuk Narendra Production.

Tyas telah menyaksikan seluruh proses, tidak ada masalah dalam proses pembuatannya. Aren terlalu khawatir untuk hal yang tidak perlu. Sekarang yang ingin wanita itu lakukan adalah menghubungi tempat penitipan anak memastikan Luna baik-baik saja.

"Terima kasih atas kunjungannya, Bu Tyas."

Dia tidak sabar menjemput Luna. Gadis kecil bertahi lalat di dagu menjadi begitu pendiam dari biasanya. Ketidakwajaran Luna memantik kecemasannya. Dalam keadaan marah, biasanya dia akan memukuli apa pun di dekatnya. Kadang membenturkan kepala ke dinding. Rasa penasaran mengusik Tyas diam-diam.

Tidak masalah lelah menggerogoti raga saat ini, Luna adalah prioritas baginya. Tidak ada yang lebih penting dari itu. Dalam capek yang luar biasa, dia mengolah makanan kesukaan Luna, udang manis. Dia harus memastikan perut gadis kecilnya terisi sebelum tidur.

Jam dinding menggantung di ruang makan sempat dilirik oleh Tyas sebelum menyajikan makan malam. Sudah menjelang Isya suaminya belum kembali. Dia akan memberi makan Luna terlebih dahulu di kamarnya. Terakhir kali Luna makan bersama Aren, suaminya beranjak tanpa menghabiskan makan malam. Teriakan Luna, sikap apatis, dan kekacauan yang dibuatnya membuat nafsu makan Aren menguap seketika. Tyas mengembuskan napas panjang saat teriakan Luna kembali memenuhi indera pendengaran.

Kenop pintu terasa dingin saat Tyas memutarnya. Daun pintu terbuka, sesuatu mendarat di gawang pintu, salah satu serpihan memantul dan menggores keningnya. Ngilu menjalar-jalar ke belakang kepala. Cairan lengket berbau amis merembes sampai ke alis. Sesaat Tyas kehilangan fokus, nampan berisi makan malam yang bercampur pecahan tanah liat diletakkan di meja belajar. Sebuah celengan ayam dari tanah liat berukuran sedang yang jatuh tepat di kepala Tyas beberapa menit yang lalu.

Dia memungut satu per satu boneka dan mainan yang bertebaran di lantai. Luna melempar semua benda yang bisa dijangkau tangan mungilnya. Mendekati Luna yang berteriak, "Nakal! Mama, Nakal. Ros, Mama. Nakal, Ros."

"Luna ada apa?" Jemari lentik Tyas menyibakkan rambut tebal Luna ke belakang, lalu menangkup pipi chubby yang memerah. Wanita itu tidak bisa membendung air matanya terus, dia mendekap Luna dengan erat. "Tenang, Luna. Mama di sini."

Tyas mengamati wajah Luna yang terpejam erat sambil terus berteriak, nakal. Ucapan Luna sangat acak membuatnya sulit dimengerti. Kemarahan kali ini dipicu seorang anak yang membuatnya tidak nyaman di penitipan anak, mungkin. "Mama di sini."

Diangkatnya Luna ke dada, mengayun hingga hatinya lebih tenang. Tyas kembali ke dapur dengan Luna yang masih di gendongan. Dia harus masak kembali untuk mengganti makanan yang tercampur kotoran.

Di ruang makan bernuansa putih, Tyas menyuapi Luna dengan sabar. Hatinya merintih, tetapi dia harus kuat. Bunyi ponsel berdering berkali-kali diabaikan. Baru kali ini Luna makan dengan tenang, Tyas tidak ingin melewatkan momen ini. Tubuhnya begitu letih setelah perjalanan panjang. Dia hanya ingin, tidur.

Sembari membereskan kekacauan yang ditimbulkan oleh Luna, putri tunggalnya sibuk dengan beberapa lego di atas ranjang. Ponsel kembali berbunyi nyaring, panggilan video dari Aren memaksanya menghentikan aktivitas. Ternyata sudah lebih dari tiga panggilan tidak terjawab.

"Cepat, siap-siap. Aku akan menjemputmu," katanya tanpa basa-basi. Lelaki itu melakukan panggilan video, tetapi fokusnya pada laptop yang lain di sisi kanannya.

"Tunggu, aku tidak bisa pergi, Aren."

"Itu bukan pilihan, ini urusan bisnis dan kau harus hadir."

"Aren, cobalah mengerti, aku sudah meninggalkan Luna seharian ini," bujuk Tyas menatap Aren yang memegang ujung bibirnya tampak berpikir.

"Eh, apa itu di keningmu? Kau terluka? Luna ngamuk lagi?" cecarnya. "Pertemuan bisnis ini sangat penting bagiku. Begini saja, akan kupanggil Mbok Darmi ke rumah. Luna akan aman. Bersiaplah aku akan sampai tiga puluh menit lagi."

Tyas mendesah pasrah. Dia tidak menyangka pernikahan bisnis ini akan berimbas begitu fatal. Semua harus dibayar mahal dengan waktu, tenaga, dan kebersamaan dengan Luna yang berkurang.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top