Traitor's Ballad
Ketika aku menghalau tongkat berapi di depan monyet alpha, monyet itu mengikik keras dan mundur ke belakang. Ia masih tidak menunjukkan taring-taring giginya. Aku mulai berpikir kalau monyet ini memang tidak berniat jahat sama sekali. Aku memutuskan memberinya kesempatan.
Walau para monyet itu akhirnya pergi meninggalkanku, tapi mereka tidak benar-benar pergi.
Mereka berkumpul dan mengikuti si monyet alpha memasuki area hutan yang tadi ditunjuk, lalu beberapa monyet juvenile di belakang tampak sesekali menoleh ke arahku, seakan meminta untuk ikut.
Akhirnya, aku mengikuti kawanan monyet itu, tidak terlalu jauh di belakang.
Beberapa meter kemudian, mataku langsung menangkap buah-buah berwarna ungu bergelantungan di dahan yang rendah. Tidak hanya ada satu, tapi ada beberapa pohon di area tersebut yang juga ditumbuhi aneka buah-buahan.
Ada sebuah pohon yang ditumbuhi buah-buah berwarna kuning belang-belang berbentuk bintang. Ada juga buah dengan kulit berwarna polkadot berbentuk seperti kendi. Bentuk buah-buahan ini aneh sekali. Oh, buah merah yang tadi sempat kulihat juga ada di antara pohon-pohon buah-buahan tersebut.
Air liurku menetes. Rasa khawatirku hilang saat kawanan monyet tadi mulai memanjat ke bagian-bagian tertinggi pohon, lalu memetik buah-buahan dan mulai memakannya.
Agak aneh karena melihat monyet-monyet ini justru mencari makan di malam hari. Biasanya kan mereka mencari makan pagi. Ah, itu tidak penting! Yang terpenting, karena mereka mau memakan buah-buahan itu, artinya buah ini tidak beracun.
Benar.. Benar... aku ingat kakek pernah mengajakku berburu, lalu saat istirahat, ia bilang padaku. Saat berada di tengah hutan dan kelaparan, jika menemukan buah asing yang tidak diketahui jenisnya, tunggulah sampai ada hewan hutan yang memakannya, terutama monyet. Itu artinya buah tersebut aman dikonsumsi oleh manusia.
Haha.. kakek. Aku tidak menyangka ilmu singkat saat berburu bersamanya bisa berguna di situasi sekarang. Baiklah, aku tidak akan ragu lagi. Akan kumakan buah-buahan tersebut.
Aku pun mulai memakan buah itu. Buah yang berwarna kuning belang-belang terasa sedikit asam. Airnya banyak dan tidak berbiji. Rasanya cukup enak. Aku menghabiskan sekitar sepuluh buah, lalu beralih ke jenis yang lain. Buah-buahan berwarna ungu berbentuk segitiga terasa manis dan lembut, seperti mengunyah roti yang dibasahi oleh susu. Ah nikmat sekali. Lalu buah berkulit polkadot, kulitnya mudah dikupas. Buah di dalamnya bundar dan ketika dimakan terasa segar seperti apel, tapi ini sedikit lebih manis.
Aku menghabiskan banyak sekali buah. Perutku yang tadinya lapar kini terisi penuh, kerongkonganku yang kering dibanjiri oleh cairan dari buah-buahan. Enak dan manis. Aku merasa sudah cukup makan, lalu pergi ke bawah salah satu pohon yang batangnya besar. Aku merebahkan tubuhku. Dimanja oleh angin malam yang sejuk, mataku mulai terasa berat. Aku ingin tidur.
***
Aku terbangun karena suara perutku. Tidak, bukan hanya itu. Perutku sangat sakit seperti baju yang diperas. Sakit sekali!
Aku berguling-guling di atas hamparan rumput. Mengaduh-ngaduh seorang diri. Apa karena kebanyakan makan buah?
Aduh, aku rakus sih.
Aku pun berdiri, mencoba jalan-jalan di sekitar sambil menunggu rasa sakit yang melilit di perut reda. Saat melewati semak-semak, aku mendengar suara mengikik para monyet. Aku mengintip, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Monyet-monyet itu berkumpul di permukaan, mereka seperti mengadakan sesi 'diskusi'? Entahlah aku juga sulit mendeskripsikannya. Si monyet alpha berdiri di tengah seperti pemimpin rapat, lalu ada seekor monyet juvenlie yang tidur di depannya.
Lalu beberapa monyet lainnya mendatang si monyet juvenile yang tertidur dan mulai mengambil barang-barang yang ada di sekitarnya.
Haaaah! Jangan-jangan, monyet itu sedang memperagakan diriku? Apa itu artinya mereka berniat merampokku. Pantas saja! Monyet-monyet itu sudah mencurigakan sejak awal.
Aduduh.. Perutku melilit lagi. Namun, aku harus segera pergi dari sini. Mereka bahkan sudah berniat buruk padaku sejak awal. Kalau aku menunggu sampai pagi, bisa-bisa seluruh barang dan pakaianku dilucuti oleh mereka.
Tanpa sepengetahuan para monyet itu, aku pun mengendap-ngendap pergi, lalu setelah jaraknya cukup, aku lari menjauhi area hutan tersebut. Semoga mereka tidak mengejar dan menggangguku lagi kedepannya.
***
Aku berjalan cukup jauh dari teritori Monyet Lembah. Mengnadalkan penerangan seadanya dari obor sederhana yang kubuat, aku merasa kontur tanah yang kulalui semakin menurun. Samar, aku mendengar suara air terjun. Semakin lama semakin keras.
Aku memang sudah dapat cukup air dari buah-buahan yang kumakan, tapi rasa manis yang ditinggalkan buah membuat mulutku menjadi lengket dan haus kembali. Suara air terjun yang jauh berada di dasar lembah membuat hatiku bergelora.
Berhati-hati, aku menuruni jalanan stapak yang landai dan menurun. Ada beberapa rumput hijau yang tumbuh di atas tanah coklat berbatu tersebut. Beberapa lumut tumbuh di atas-atas batunya, sehingga menyebabkan jalanan menjadi sedikit licin. Aku harus cermat memilih pijakan.
Beruntung, aku berhasil sampai di dasar lembah tersebut. Suara air terjun yang deras terdengar dari sebelah kiri. Aku mengarahkan penerangan dan melihat sebuah air terjun setinggi lima belas meter menjulang.
Di depan air terjun itu ada ceruk yang besar, terisi penuh oleh air dan dasarnya tak terlihat. Entah dalam atau tidak, tapi aku tidak mau mengambil risiko mendekatinya. Di pinggiran ceruk terdapat batu-batu sungai berukuran besar. Permukaan sungai itu tampak berkilau terkena pantulan cahaya bulan. Indah sekali. Bahkan di dalam kegelapan aku bisa melihat kecantikan air terjun tersebut.
Mataku beralih dari ceruk. Terhubung oleh cekungan tersebut terdapat aliran sungai yang membentang. Badan sungai itu lebarnya sekitar tiga meter. Di tengahnya terdapat batu-batu besar yang bisa kugunakan untuk menyebrang ke sisi di sebelahnya.
Aku iseng melempar batu ke sungai, untuk mengecek kedalamannya. Suara plung kecil muncul ketika batu itu masuk ke air, sepertinya badan sungai ini tidak terlalu dalam. Namun, bukan berarti aku mau berendam di dalamnya.
Aku pergi ke pinggir ceruk, naik ke atas salah satu batu sungai lalu mengeluarkan tempat minum dari kulit yang sudah kosong sejak tadi pagi. Aku langsung mengisinya penuh, mengangkatnya dan meminumnya sampai puas.
Belum cukup, aku mengisi ulang tempat minum tersebut dan langsung menghabiskan isinya dalam sekejap. Bibirku yang kering terasa seperti dihujani oleh air yang segar. Seperti hidup kembali, aku mendapatkan energiku pulih sepenuhnya.
Ternyata benar kata orang-orang, manusia bisa bertahan tidak makan berhari-hari, tapi kalau minum? Itu sungguh siksaan yang sesungguhnya. Manusia tidak akan bisa bertahan hidup lebih dari tiga hari tanpa air.
Ah, aku sangat bersyukur menemukan air terjun ini.
Aku pun mengisi kembali tempat air minumku. Kali ini tidak kuhabiskan, tapi kusimpan saja untuk nanti. Bahaya kalau sampai aku nanti kehabisan air lagi dan tidak ada sumber mata air di sekitar :')
Aku lompat ke batu sungai yang lebih kecil. Kali ini aku berjongkok, sedikit menundukkan wajahku mendekati permukaan air. Tanganku menangkup langsung air dari ceruk tersebut. Rasanya dingin dan menyegarkan. Lalu kubasuh wajahku dengan air dari ceruk air terjun. Aku sedikit meringis saat air mengenai luka-luka goresan di sekitar wajah dan tangan, tapi tidak apa-apa, aku masih bisa menahannya.
Saat aku sedang membasuh wajah, telingaku menangkap alunan nada. Seperti nyanyian. Apakah itu balada?
Aku mengangkat wajah dan membuat pose ancang-ancang. Bersiap jika ada sesuatu yang menyeramkan, aku bisa kabur secepat mungkin.
Balada yang sendu itu mengalun lembut, semakin jelas terdengar, bahkan terasa seperti mendekat. Entah dari mana datangnya kabut tipis di sekitar air terjun, tapi dari kepulan putih samar tersebut aku melihat siluet seorang wanita.
Lekuk tubuhnya sempurna, seperti ada hiasa di atas kepalanya. Wanita itu duduk di atas salah satu batu sungai dekat air terjun.
Jarakku dan sosok itu hanya sekitar lima meter.
Saat kabut menipis dan cahaya dari bulan kembali menyirani tempat tersebut, kini aku bisa melihat wujud sepenuhnya dari makhluk itu. Rambutnya hitam kebiruan, tengkuknya jenjang dengan punggung yang indah. Tubuhnya sedikit berkilau karena memantulkan cahaya bulan.
Aku menelan ludah saat sosok itu berbalik. Wajahnya sangat cantik. Tidak, sangat sempurna! Hidung mancung dengan bibir sedikit tebal berwarna kemerahan. Mata besar dengan iris biru yang berbinar. Kulitnya putih. Saat kuperhatikan dengan teliti, sebagian kulitnya ternyata ditutupi oleh sisik. Bagian pinggul ke bawah kakinya berupa ekor seperti ikan. Sisik-sisik di bawah tubuhnya berwarna biru koral dengan gradasi hijau toska. Di atas rambutnya yang lebar dan terurai, terdapat perhiasan yang bersinar-sinar seperti bintang, tidak jauh berbeda dengan permata murni.
Siren. Aku ingat, Kapten Bas bilang soal keberadaan Siren di pulau ini. Aku tidak menyangka kalau bisa bertemu dengan siren yang cantik seperti itu. Bahkan Kapten Bas juga memuji kecantkannya—sekaligus memperingatiku untuk waspada dengan pesonanya tersebut.
Siren itu menyelesaikan baladanya yang sendu. Bahkan, aku bisa merasakan kesedihan dari nyanyian tersebut. Kapten Bas mengatakan kalau siren ini terhubung dengan sebuah legenda, yang menyebutkan bahwa sang siren pernah dikhinati oleh sang peri. Sang peri menuduh siren mencuri permata milik bangsa peri, mereka bertengkar lalu sang peri meinggalkan siren tersebut. Sang siren tidak pernah mendapatkan keadilan atas tuduhan peri, ia merasa tersakiti dan dikhianati.
Kesedihan yang dirasakan oleh siren merasuk ke dalam diriku. Saat ia mengakhiri baladanya yang lembut, aku tersenyum simpatik padanya. Di dalam hati, aku berharap siren cantik ini mendapatkan kebebasan atas dendam pengkhianatan yang pernah dialaminya.
Oh, tidak kusangka. Siren itu tersenyum balik padaku. Aah jantungku! Dia cantik sekali.
Siren itu masuk ke air di dalam ceruk, berenang mendekat ke tempatku.
Ia seperti tertarik padaku. Entah bagaimana, dari tatapan mata dan gesturnya, aku bisa memahami keinginan dan isi pikirannya. Aku berjongkok dan mencodongkan tubuhku ke arah ceruk. Perlahan, aku bisa mendengar permintaan sang siren untuk beritirahat dan tinggal lebih lama di air terjun ini.
Aku ingin sekali. Sungguh. Namun, kakekku yang terbaring tidak sadarkan diri, tidak bisa menunggu lebih lama. Aku harus segera menemukan Jimat Suci.
Pahit memang, tapi aku harus menolak permintaannya.
Aku menggeleng kepadanya. Wajah siren itu ditekuk, kedua tangannya terulur dan menggapai tanganku, ia mulai menarik-narikku ke air di ceruk tersebut.
Aku panik. Tenaganya kuat sekali. Aku berusaha melawan tarikannya. Berulang kali padanya aku bilang kalau tidak bisa menetap terlalu lama di sini. Aku harus pergi ke lokasi berikutnya.
Mendapati ajakannya ditolak berkali-kali, mata siren yang tadinya berwarna biru berubah menjadi hitam sepenuhnya. Muncul bola mata seperti kelereng berwarna kuning dan iris yang memanjang. Bibirnya melebar sampai ke pelipis, ia menyeringai dan menunjukkan gigi-giginya yang panjang bertaring. Ia membuka mulutnya dan mengeluarkan suara raungan seperti marah.
Tenaganya juga bertambah kuat. Tidak kulihat lagi sosok jelita di sana, melainkan monster mengerikan yang ingin menyeretku ke dalam air.
Aku panik. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?
Oh, tunggu, aku ingat. Aku punya benda berkilau yang mungkin disukainya. Bulu burung Humingo! Jika kuberikan, semoga dia kembali ke wujudnya yang cantik.
Aku buru-buru mengeluarkan bulu burung Humingo dari balik jas dan menyodorkannya ke hadapan sang siren.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top