Serve The Death

Pagi ini cerah seperti biasanya. Udara dingin yang berhembus membuatku betah berlama-lama duduk di pinggir jendela sambil menikmati kopi dan sepotong roti. Mataku tertuju ke luar, menikmati pemandangan lautan biru yang membentang.

Jika ada yang harus disyukuri dari tinggal di perbukitan dekat area pemakaman adalah pemandangan dari jendela kamarku benar-benar keindahan bagai lukisan alam. Namun, berubah menjadi menyeramkan saat malam hari, terlebih penerangan di luar sangat minim.

Rhea City Cemetery adalah komplek pemakaman yang terletak di pertengahan bukit. Keluargaku turun menurun tinggal di area tersebut. Rumah kami dua lantai, besar dan luas. Dikelilingi oleh taman bunga dan pagar hitam setinggi empat meter. Di depan gerbang ada jalan kecil yang menuju ke area pemakaman langsung.

Dulu, aku suka bermain di sekitar pemakaman. Lokasi itu benar-benar cocok dijadikan tempat peristirahatan terakhir. Rumputnya hijau dan lembut, angin yang berhembus dingin, siraman mataharinya cukup dan burung-burung kadang berkicau lembut sembari aku mencoba untuk tidur siang di bawah pohon.

Sayangnya, aku sudah tidak bisa menikmati hari-hari santai seperti itu lagi.

Beberapa bulan lalu, kakekku—Direktur Pemakaman di Wildenhour Funeral Home, jatuh sakit. Kondisinya tidak buruk, tapi demi menjaga kesahatannya, aku mengambil sebagian besar pekerjaannya untuk bertemu klien dan mempersiapkan mayat yang akan dikuburkan.

Aku sudah belajar menjadi mortician sejak kecil, tapi ketika harus menghadapi klien, kesulitannya menjadi berkali-kali lipat. Luapan emosi dan tatapan penuh luka dari keluarga yang ditinggalkan, kadang membuat diriku ikut merasa terpuruk. 

Bicara soal pekerjaanku sebagai mortician, tadi kakek tiba-tiba menemuiku di kamar. Tumben. Biasanya ia tidak akan menemuiku di pagi hari, kecuali ada hal yang sangat penting.

Di rumah sebesar ini, aku hanya tinggal bersama kakekku—dan beberapa pelayan tentu saja. Ayah dan ibuku sudah meninggal sejak aku bayi, kakekku sendiri yang mengurus pemakaman mereka. Setelah itu kakek menjadi waliku. Aku dididik agar bisa menjadi mortician dan mengelola usaha keluarga kami sebagai jasa pemakaman.

Kakek  sekarang berjalan menggunakan tongkat untuk menopang berat tubuhnya. Jalannya lambat dan punggungnya bungkuk. Jika ia bisa berdiri tegap, tingginya mungkin mencapai 190 cm. Aku terlihat seperti kurcaci di samping kakek.

Tidak, aku bercanda. Tinggiku sekitar 180 cm. Jadi karena kakek bungkuk, sekarang kedudukan kami seri.

Ehm, kembali soal permintaan kakek. 

Kakek memberikanku sebuah lembar hasil wawancara. Aku tidak tahu ia melakukan wawancara dengan klien diluar informasi resepsionis. Apa jangan-jangan ia sering melakukannya dengan klien tertentu? 

Kakek memintaku membacanya, lalu ia mulai bercerita tentang si klien. Sepasang gadis kakak beradik. Mereka miskin. Sangat miskin sampai untuk makan pun sulit. Mendengar kisah dari kakek, bukannya sedih, yang aku justru bingungkan adalah bagaimana kedua gadis ini membayar jasa pemakaman. 

Kakek tersenyum maklum mendengar tanggapanku. Ia bilang, klien ingin melihat keluarga mereka untuk terakhir kalinya. Mereka berharap anggota keluarga mereka pergi mengenakan pakaian terbaik, parfum yang disukai, bahkan memoles kulit agar tampak seperti orang tidur—bukan mati. Tugasku adalah memastikan keinginan terakhir itu terwujud.

Aku terdiam mendengar penjelasan kakek. Mungkin itu alasan kenapa kakek bisa tetap ceria walau setiap hari berurusan dengan mayat dan mendengar tangisan kliennya. Sepertinya aku harus merevisi niatku agar tidak terlalu depresi menjalankan pekerjaan ini.

Aku minta maaf pada kakek. Setelahnya, aku bertekad agar serius menjalankan permintaan dari klien ini. 

Kakek kembali melanjutkan, kalau ibu kedua anak itu habis mati dihukum gantung. Tuduhannya karena mencuri. Kakek itu hanya iba kepada si anak jadi membiarkan ibu mereka diurus jenazahnya oleh rumah duka. 

Kakek bilang jasad si ibu akan diantar siang ini. Maka aku pun bergegas menuju ke Pasar Troist untuk membeli permintaan klien yang ada di catatan wawancara.

Bagi penduduk Kota Rhea, nama Wildenhour sudah tidak asing lagi. Kami adalah satu-satunya keluarga yang menyediakan jasa pemakaman sejak jaman dulu. Klien Wildehnhour Funeral Home terdiri atas golongan atas sampai bawah. Sejak berada di bawah kepemipinan kakek, masyarakat kelas menengah kebawah lebih mudah mendapatkan pelayanan pemakaman. 

Kakek rajin membagikan kupon, walau awalnya dianggap aneh oleh para penduduk. Aku ingat dulu ada tentara yang datang ke rumah karena kakek mendapat banyak laporan dari masyarakat. Tuduhannya, "mengganggu ketertiban umum dengan membagi kupon gratis pemakaman."

Di mata orang normal, itu seperti harapan seseorang cepat mati agar bisa memakai kupon tersebut. Padahal, niat kakek tidak seperti itu.

Ucapan kakek terbukti beberapa tahun kemudian, banyak yang akhirnya menggunakan kupon gratis itu agar keluarganya bisa dimakamkan dengan layak. Apalagi, Rhea City Cemetry adalah tempat peristirahatan terbaik. 

Berhubung kami adalah satu-satunya jasa penyedia pemakaman, maka tidak heran masyarakat jadi mudah mengenali seragam perusahaan, termasuk yang kukenakan sekarang.

Selama kakiku melangkah di Pasar Troist, sudah ada lebih dari dua puluh orang yang melirikku diam-diam. Ada yang terkejut, ada yang tidak sungkan menatap dari ujung kepala sampai kaki. Bahkan saat aku sedang berdiri di depan air mancur pasar, dua wanita yang berdiri tidak jauh dariku berbicara cukup keras.

Wanita berambut ikal coklat yang mengenakan gaun kuning bilang kalau perasaannya selalu tidak enak saat melihat petugas pemakaman sepertiku. Teman di sebelahnya menimpali, ia bahkan merasa seperti dijemput oleh kematian setiap melihat orang-orang kami berlalu lalang di kota.

Jika saja aku punya tenaga lebih untuk mencampuri urusan orang lain, aku ingin sekali berteriak di depan wajah mereka kalau semua manusia memang akan mati. Dasar penggosip aneh. 

Mendengarkan pembicaraan orang lain sangat tidak menyenangkan, terutama stigma yang melekat pada para pekerjaanku. Padahal kalau diingat-ingat lagi, niat kakek sangatlah baik dan tulus. Walau manfaatnya sudah terasa ke masyarakat, tetapi citra yang melekat pada mortician tampaknya belum berubah.

Tidak banyak barang permintaan yang ada di daftar klien. Toko yang pertama kudatangi adalah Venola Qanthero. Produk sepatu paling populer di Kota Rhea. Sulit untuk membeli sepatu di sini kalau uangmu hanya cukup untuk makan sehari-hari. 

Permintaan dari klien adalah ia ingin ibunya bisa dimakamkan mengenakan sepatu produksi Venola Qanthero. Luar biasa. Tidak punya uang, dapat jasa pemakaman gratis dan sempat-sempat ia meminta sepatu kualitas tinggi berharga mahal.

Sabar Arthur. Tidak boleh emosi. Jangan remas kertas jurnal. 

Baiklah, aku tetap menuruti permintaannya. Sepasang sepatu dari Velona Qanthero bukan hal yang sulit. 

Setelah berkeliling toko tersebut, aku membeli sepasang sepatu gelap dengan tali dan hiasan cantik. Ukurannya sudah disesuaikan dengan deskripsi dari klien. 

Dari toko sepatu, aku langsung menuju toko bunga yang terletak ujung jalan. Papan nama Blossom Shop tertera di atas pintu kayu. Aku masuk dan disambut semerbak wangi bunga. 

Toko bunga ini sudah lama bekerjasama dengan Wildenhour Funeral Home. Aku cukup menyerahkan permintaan klien berisi daftar bunga dan jenis rangkaian yang diinginkan, petugas di toko bunga sigap mencatat dan bilang akan mengirimkan pengantar bunga ke rumah duka. 

Beberapa toko, seperti parfum, bunga, dan kerajinan memang sudah bekerjasama dengan Wildehnhour Funeral Home sejak lama. Kami biasa memesan kofin dengan ukuran khusus di toko kerajinan kayu. Kadang, ada juga klien yang minta model dan hiasan berbeda, semua tergantung seberapa kuat klien itu membayar. 

Setelah membeli semua yang dibutuhkan, aku ingin mampir ke toko roti dulu. Roti selalu menjadi makanan favoritku. Teksturnya yang lembut seperti sedang mengunyah bantal, membuat hatiku menjadi lebih tenang dan rileks.

Saat aku keluar dari toko roti, seorang gadis kecil yang sedang menatap kaca di depan toko tiba-tiba menoleh. Ia menatapku dengan mata bulatnya. Mata bulat itu beralih ke permen di tangan kirinya, lalu kembali padaku. 

Tiba-tiba anak itu berlari dan memberikan permen lolipopnya padaku.

Aku bingung, tapi tetap menerimanya. Aku ingin bertanya kenapa ia memberikanku permen itu, tapi si anak langsung lari meninggalkanku. Aku termangu cukup lama di tempat, heran dengan sikapnya. 

Akhirnya tugas belanjaku selesai. Aku pun bergegas kembali ke rumah duka. 

Rumah duka ini terletak di pertengahan bukit, dekat dengan area pemakaman. Termasuk dekat juga dengan kediaman Wildehnhour.

Dari luar bangunannya terlihat kecil, walau eksteriornya tampak mewah dan mahal. Di dalam ada meja resepsionis, ruang tunggu, ruang petugas dan ruang wawancara klien. Di bagian belakang rumah terdapat tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah tempat kamar mayat berada. 

Saat aku sampai di rumah duka, jasad keluarga milik klien juga baru tiba. Dua karyawan lain di Wildehnhour Funeral Home sudah mulai bekerja membersihkan cairan tubuh yang masih tersisa di jasad tersebut.

Aku menyusul pekerjaan mereka setelah mengenakan lapisan pelindung seperti kain celemek yang menutup bagian atas tubuh, lengan, sampai ke lutut. Tidak lupa aku juga mengenakan penutup rambut dan masker dari kain. Bau para mayat ini sulit dilupakan, juga sulit dihilangkan. Walau aku sudah terbiasa dengan baunya, tapi berprinsip untuk pulang ke rumah dalam keadaan wangi.

Setelah membersihkan tubuh jasad, aku memakaikan pakaian yang baru dibeli dari pasar Troist. Pakaian ini sesuai dengan permintaan dari klien, dress selutut berwarna cerah, lengkap dengan topi lebar musim panas. Tidak lupa aku juga mengenakan sepatu hak yang diingikan mendiang saat semasa hidupnya dulu. 

Selanjutnya aku menata rambut jasad tersebut, menggulungnya dengan hati-hati dan menatanya serapi mungkin di. 

Bagian yang sulit adalah tata rias. Aku belum terlalu ahli dibagian ini, tapi kedua karyawan lainnya lebih senior dibandingkan diriku. Jadi aku membiarkan mereka yang melakukan pekerjaan tersebut sementara aku memperhatikan di samping.

Kulit-kulit pucat itu diberi sedikit warna agar tampak hidup, begitu pun wajahnya. Ia diberi lipstik dan riasan bedak. Aku cukup takjub dengan hasilnya.

Memang, sekeras apa pun seseorang berusaha memakaikan riasan ke mayat, mereka tidak akan tampak sama seperti saat hidup. Namun, jasad ini terlihat lebih baik ketimbang saat baru diantar pertama kali dari tiang gantung. Setidaknya, kali ini klien jasad tersebut tidak akan menangis histeris saat melihat ibu mereka.

Sejam setelah menyiapkan jenazah, kami meletakkannya di peti mati. Lalu membawanya ke bagian atas rumah duka, di ruang pertunjukkan. Ruangan ini tempat para keluarga mengucapkan perpisahan terakhir mereka kepada mendiang sebelum dikubur.

Durasi pertunjukkan ini tergantung dari permintaan klien.

Saat aku tiba di atas, aku terkejut melihat seorang gadis berusia sekitar 12 tahun dan adiknya yang mungkin baru berusia 6 tahun, berdiri di ruang pertunjukkan. Anak kecil itu yang tadi di pasar memberikanku permen.

Mereka berdua berkumpul ke pinggir peti mati ibu mereka, mengucapkan kata-kata terakhir.

Aku menyaksikan itu dari belakang, dekat dengan pintu. Kakekku muncul dari ujung lorong dan menghampiriku. 

Kakek sering memujiku, tapi kalimat yang tadi ia ucapkan membuat hatiku hangat. Ia bilang, aku sudah melakukan kebaikan. Pekerjaanku yang sering dicap abu-abu oleh masyarakat umum, tapi sebenarnya kami hanya mencoba berbuat baik kepada mereka yang sudah mati.

Pemakaman ibu dari kedua gadis itu berjalan lancar. 

Setelah kembali dari rumah duka, aku duduk di kamar dan mengisi jurnal ini. Jurnal ini terasa lebih panjang daripada biasanya. Sepertinya mood-ku cukup bagus makanya sampai sepanjang ini.

Selanjutnya...

Tunggu sebentar, para pelayan ribut di luar.

Ada yang tidak beres.

Apa maksud mereka berkata kakek tidak sadarkan diri?

Aku harus ke kamar kakek sekarang. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top