Hairy Visitor
Aku masih hidup. Itu adalah hal pertama yang harus aku syukuri.
Beberapa saat setelah aku memutuskan memanjat tebing, sesuatu yang besar mencengkram pundakku, tubuhku terangkat dan melayang di udara, dibawa terbang tinggi oleh Humingo. Ketika kukira aku akan dibunuh saat itu juga, burung itu melesat kencang lalu melepaskan cengkraman kakinya.
Aku terjatuh berguling-guling di tanah. Aku mendengar beberapa tulangku berbunyi. Aku tidak tahu apakah ada yang patah atau tidak, tapi rasanya sakit sekali. Aku mencoba berdiri dan lari, tapi Humingo itu mengejarku dan mulai menyerang dengan brutal.
Aku mendapat luka goresan di punggung akibat cakarannya. Perih sekali. Aku menggigit ujung pakaianku agar tidak berteriak. Beruntung, aku menemukan celah di tebing yang seperti gua kecil. Ukuran tubuhku muat masuk ke celah tersebut.
Aku terus menyeruak masuk, sampai seluruh tubuhku tersembunyi aman di dalam gua tersebut. Cakaran Humingo mencoba masuk ke celah, ujung jarinya yang berkuku tajam mencungkil bagian dalam. Aku sudah ketakutan setengah mati. Debu-debu dari tanah beterbangan mengenai mataku, tapi aku tidak peduli. Aku tidak merapatkan tubuhku di dalam.
Aku mencoba tidak bergerak sama sekali, menahan suara apa pun keluar dari mulut. Lambat laun, Humingo itu menarik cakarnya dari celah gua. Lalu aku mendengar suara kepakan sayap yang semakin menjauh. Humingo sudah pergi.
Hah, aku lega sekali karena berhasil selamat.
***
Sepeninggal Humingo, aku keluar dari celah berbatu tersebut. Mataku silau oleh suatu benda yang mengkilap. Aku kira itu sejenis kaca, tapi ternyata itu adalah salah satu helai bulu milik Humingo. Aku mengangkatnya dengan kedua jari, panjang bulu itu hampir satu lengan orang dewasa. Warnanya mengkilap dan indah.
Walau itu hanya bulu, aku tetap membawanya pergi. Dijadikan souvenir juga bagus. Kapan lagi aku bisa mendapatkan bulu Humingo.
Masih dalam keadaan haus, kini ditambah luka-luka goresan di badan, aku pun melanjutkan perjalanan. Menara-menara berbatu mulai menghilang dari pandangan, matahari tengelam perlahan, menyisakan langit berwarna kemerahan di atas kepala.
Angin yang berhembus sedkit lebih sejuk. Aku mengangkat kepala dan melihat hamparan berwarna hijau.
Mungkinkah itu hutan?
Oh hutan!
Aku langsung berlari sekencang mungkin, mengerahkan segenap tenagaku. Jalannya menurun dan semakin terjal, aku mengurangi kecepatan. Ternyata aku tiba di dasar suatu lembah. Lembah ini ditumbuhi pohon-pohon dan rumput yang lebih hijau.
Aku mendongak, di sekelilingku banyak tebing-tebing tinggi menjulang, tapi itu bukan seperti menara batu. Tempat ini kemungkinan adalah Cunning Valley. Aku melihat peta, menyesuaikan posisiku saat ini dengan garis yang kutandai di lembaran tersebut. Ternyata benar, aku memang berada di Cunning Valley.
Tebing-tebing itu tinggi besar, ada jembatan yang saling terhubung di sana. Aku memicingkan mata, mencoba melihat ke bagian atas tebing, dimana banyak terdapat lubang-lubang kecil aneh di sana.
Aku mengedikkan bahu, entah apa yang ada di sana, tapi aku sendiri sudah sangat kelelahan dan ingin beristirahat.
Matahari hampir tenggelam sepenuhnya, langit mulai gelap dan malam pun datang. Aku berjalan memasuki lembah. Karena posisinya yang ada di dasar, serta diapit tebing-tebing tinggi, pencahayaan dari bulan tidak terlalu sampai ke sini. Sekelilingku menjadi hampir gelap total.
Aku harus membuat penerangan dengan bahan seadanya.
Aku mengumpulkan kayu-kayu kering. Tidak sulit mencarinya, tempat ini memang pada dasarnya sudah kering :')
Aku menyusun kayu-kayu kering menjadi bentuk lingkaran. Posisi kayu berdiri dengan ujung yang saling menopang. Di bawahnya, aku selipkan daun-daun dan rumput yang sudah kering. Aku kembali membawa dua buah batu. Batu pertama sejenis rijang, lalu yang satunya lagi termasuk golongan pirit besi. Kedua batu itu tubrukkan lalu kugesek ke dua arah yang berbeda. Aku mencobanya berulang kali sampai muncul percikan-percikan api dari keduanya.
Percikan api yang dihasilkan dari gesekan batu, mengenai salah satu daun kering. Api menyebar perlahan, membakar daun-daun dan rumput kering sebagai sumber bahan pembakaran. Hingga akhirnya api itu menyebar dan membakar kayu yang kutumpuk.
Malam tiba bertepatan dengan menyalanya api unggun buatanku.
Aku merasa puas dnegan hasilnya. Aku tidak berpengalaman sama sekali melakukan kegiatan di luar, hanya saja, aku sempat memperhatikan para kru The Holy Serpent saat menyiapkan api unggun. Cara konvesional yang mereka pakai ternyata sangat berguna untuk dipelajari.
Setelah mendapat cukup penerangan, aku pun memutuskan untuk istirahat.
Aku bersandar pada sebuah pohon besar berbatang hitam. Ketika aku menengadah, cahaya dari api unggun memberi penerangan ke tajuk pepohonan yang lebar. Pohon ini memiliki banyak cabang di atasnya, batang-batangnya besar dan semakin mengecil di ujung. Lalu kulihat, di antara warna hijau dedaunan tampak bola-bola berwarna merah. Seperti buah.
Buah? Sungguh itu buah.
Aku yakin itu buah. Aku ingin sekali mengambilnya, pasti rasanya segar. Ketika kugigit dagingnya yang empuk, sekumpulan air manis akan pecah dan memenuhi mulutku. Membayangkannya saja sudah membuat rasa hausku kembali. Namun, aku hampir tidak punya tenaga tersisa. Bahkan untuk memanjat pohon rasanya aku sudah tidak kuat lagi.
Tunggu dulu, aku juga tidak boleh sembarangan makan buah di sana. Walau warnanya sangat indah, bisa saja buah itu beracun.
Tidak, tidak, aku tidak mau mati keracunan. Jadi sebaiknya, aku tetap di sini, beristirahat dan melanjutkan perjalanan esok pagi.
Aku belum bisa tidur. Mataku masih terbuka menatap perapian. Api yang meliuk-liuk di hadapanku seperti berubah menjadi satu piring ayam panggang yang lezat.
Argh! Sadar Arthur! Sadar! Jangan berhalusinasi!
Tapi, aku benar-benar lapar dan haus. Aku ingin pulang. Kembali ke kasur yang empuk di rumah, memakan masakan pelayan yang enak. Di saat hidup dan mati seperti ini, seseorang memang akan memikirkan kenangannya yang paling indah.
Tidak kusangka akan datang hari dimana aku merindukan rumahku, kamar mayat beserta jenazah-jenazah yang harus kupersiapkan. Hari-hari membosanku itu, justru sekarang menjadi hal-hal yang sangat ingin kurasakan kembali.
Mataku mulai sayu, kantuk pun datang. Aku hampir saja tertidur, tapi telingaku menangkap suara gemerisik yang ganjil.
Seperti ada yang datang mendekat, tetapi dari atas pohon. Aku mendengar suara dahan-dahan yang bergerak. Khawatir, aku pun membuka mata.
Aku hampir berteriak karena melihat sebuah muka berbulu di depan wajahku.
Seekor monyet.
Monyet itu juga sama kagetnya denganku. Ia mengikik keras, rambut-rambutnya hampir berdiri dan giginya yang bertaring dipamerkan tepat di depan wajahku. Ia menggulung ekornya yang panjang, dan tubuhnya seperti ditarik ke atas dahan.
Aku berdiri, menjauh dari pohon dan berdiri di belakang api unggun.
Ternyata di pohon itu sudah ada banyak monyet-monyet yang bertengger. Mereka pasti monyet lembah. Kapen Bas pernah menyebutkannya saat membahas sedikit tentang Cunning Valley. Monyet lembah berpenampilan sangat mirip dengan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Yang membedakan, monyet lembah bertubuh sedikit lebih besar, rambut mereka juga berwarna coklat kehitaman.
Aku mencoba menghitung jumlah monyet yang ada di pohon itu. Sangat banyak. Mungkinkah itu satu koloni? Di batang-batang pohon lain pun terlihat kumpulan monyet tersebut.
Aku tidak mengerti, sebelumnya aku tidak melihat ada sekawanan monyet ini. Apa mereka datang karena api unggun yang kubuat, atau mereka memang mendiami lokasi ini sejak awal dan terusik oleh kehadiranku?
Aku harus waspada. Walau kelihatan seperti monyet biasa, siapa tahu mereka sangat kelaparan dan mau memakanku hidup-hidup.
Mataku tetap memperhatikan gerak-gerik monyet itu. Walau tadi aku sebut sekawanan, tampaknya ini hanya bagian kawanan berburunya saja. Tidak ada monyet betina sama sekali maupun anak-anaknya. Hanya ada monyet dewasa yang berambut lebih gelap dan monyet juvenile yang berambut coklat.
Tiba-tiba, salah satu monyet turun dari pohon. Tubuhnya paling besar di antara yang lain. Aku bisa menebak kalau ia adalah alpha di kawanan monyet ini.
Bahkan kedua lengannya keliatan seperti berotot :')
Monyet alpha itu mendekat tanpa ragu ke arahku. Namun, saat kukira ia akan menyerang, monyet itu justru menunjukkan gesture yang aneh. Ia berdiri dengan dua kaki, jari telunjuknya mengarah ke suatu tempat di balik pepohonan.
Ia mengeluarkan suara kiik kiiik sambil lompat-lompat. Jemarinya selalu menunjuk arah tersebut, diikuti oleh kepalanya yang berulang kali menoleh, seperti mengedik.
Aku takut, apa dia ingin bilang kalau dia sejak tadi tinggal di daerah sana dan terganggu dengan api yang kubuat?
Tolong, aku tidak bisa bahasa permonyetan.
Beberapa monyet juvenile yang masih bertubuh kecil dan kurus turun, membawa buah-buah merah yang tadi kupandangi. Air liurku seketika mengalir melalui pinggir bibir, tapi buru-buru kulap.
Monyet itu memeluk buah-buahan yang dikumpulkan, lalu mereka berjalan rapi seperti berbaris ke arah yang ditunjuk oleh si monyet alpha tadi.
Monyet alpha itu kembali menunjuk arah tersebut, ia lompat-lompat, dan mulutnya monyong. Aku dengar, selama monyet tidak menunjukkan giginya ke lawan, artinya dia sedang tidak marah. Dilihat dari sikap kumpulannya pun, sepertinya memang monyet itu datang bukan untuk menjaga teritorinya. Bahkan, si monyet alpha tidak menunjukan agresivitasnya sama sekali.
Kupikir, apa monyet ini berusaha menyuruhku untuk pergi ke arah tersebut.
Apa jangan-jangan di sana ada makanan? Itu sebabnya monyet juvenile tadi menunjukkan buah-buahan yang dipetiknya ia bawa ke arah tersebut.
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk si monyet alpha, menelan ludah, tenggelam dalam keraguna. Haruskah aku mempercayainya? Seekor monyet.
Maksudku, dia hewan liar. Tidak mungkin hewan memiliki naluri sebaik ini pada manusia. Tingkah lakunya mencurigakan, terasa terlalu cerdas untuk ukuran monyet.
Tidak, ini membuatku ragu dan khawatir. Aku menghela napas, menguatkan diri, mengumpulkan keberani. Tanganku menyambar salah satu batang kayu dari api unggun, ujungnya membara oleh kobaran api.
Aku menghalau tongkat itu dan mengusir si monyet alpha.
Aku tidak tertarik dengan ajakannya yang mencurigakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top