Dying of Thirst
Pedas!
Kuah mi itu sangat pedas! Lidahku kelu dan mulutku terasa seperti dicubit oleh semut-semut kecil. Aku tidak bisa berhenti minum sejak menghabiskan sup ular laut itu. Semua tidak sesuai ekspetasiku, aku tidak menyangka rasa pedasnya bertahan lama di dalam mulut. Awalnya terasa nikmat, aku pun ketagihan dengan rasanya, tapi lama kelamaan kerongkonganku seperti terbakar, lalu panasnya menyebar ke mulut.
Usai menghabiskan satu mangkok sup, aku langsung berlari ke tumpukan tong kayu berisi air. Aku mengambil gelas dan mengisinya penuh dengan air. Aku minum sebanyak mungkin, bahkan sampai kembung, tapi rasa pedas itu tidak kunjung hilang. Badanku juga perlahan-lahan semakin hangat. Apakah ini efek sup itu?
Belum hilang efek pedas, Kapten Bas meminta semua tamu berkumpul ke tengah lapangan. Aku bergabung dengan kerumunan, masih mengibas-ngibaskan tangan di depan mulut. Semoga rasa pedas ini segera hilang.
Kapten Bas bilang kalau hari ini kita akan mulai mencari jimat suci tersebut. Ia pun mengeluarkan peta dan menunjuk tiga lokasi yang berbeda. Inti dari penjelasannya, dia akan membagi para tamu ke lokasi yang berbeda, lalu masing-masing dari tamu akan menelusuri wilayah tersebut untuk mencari jimat.
Ia memanggil nama tamu satu per satu dan mengelompokkan ke wilayah masing-masing. Aku mendapatkan lokasi bernama Monochrome Abyss. Lokasi itu terletak di antara Green Mist Forest dan Moroe Vulcano. Dari penjelasan Kapten Bas tadi, tempat itu berupa lembah-lembah dan perbukitan yang agak gersang. Artinya, aku harus membawa banyak air minum.
Aduh, mulutku masih terasa terbakar. Aku harus membawa kantong minum paling besar.
Aku mendatangi Od yang sedang mengangkat kotak-kotak kayu berisi bahan makanan. Aku meminta tolong untuk dicarikan kantong air minum berukuran besar. Od memintaku menunggu, lalu ia pergi menghilang ke bagian perlengkapan barang. Tidak lama, ia kembali membawa kantong minum terbuat dari kulit. Namun, ukurannya tidak sebesar yang kubayangkan.
Od bilang itu ukuran paling besar yang bisa ditemukan.
Baiklah, tidak apa-apa. Lebih baik daripada tidak membawa minum sama sekali. Aku berterima kasih pada Od dan menerima kantong minum itu. Aku langsung mengisinya penuh dengan air, lalu mengalungkannya di badan.
Aku lihat, satu per satu tamu mulai meninggalkan area kemah. Baiklah, aku juga harus berangkat. Semakin cepat jimat itu ditemukan, maka semakin baik.
Aku melambaikan tangan pada Od. Ia menyemangatiku dari kejauhan.
Terima kasih, semoga saja aku bisa memenuhi misiku ini.
Ngomong-ngomong, mulutku masih merasakan sensasi terbakar. Ditambah udara yang berembus terasa hangat, membuat fisik luar dan dalam tubuhku seperti menari-nari di dalam kuali yang panas.
Ah! Panas!
Tidak apa-apa kurasa kalau minum sedikit. Seteguk saja. Hanya seteguk.
Ah lega.
Hentikan, kumohon, hentikan. Jangan buang-buang air. Aku harus menghemat. Perjalanan bahkan baru dimulai. :')
Jalanan mulai terasa menanjak. Sekelilingku yang tadinya dipenuhi pemandangan hijau, kini semakin gersang. Aku melangkah di atas jalan berkerikil, semakin ke selatan, tumbuhan makin jarang kutemukan. Ada beberapa pohon, tapi itu pun jarang.
Bebatuan memenuhi sisi kanan kiri jalan, aku berhenti sebentar untuk beristirahat. Aku kaget saat duduk, pantatku rasanya seperti terbakar. Batunya panas seperti wajan penggorengan karena terkena paparan sinar matahari terus menerus.
Aw, sakit 😢
Matahari semakin tinggi, lagi-lagi suhu naik dengan kejam. Sudah mulutku terbakar, badanku ditambah kepanasan. Aku dipanggang luar dalam.
Beberapa jam lalu, aku bersumpah tidak akan minum sebelum sampai di bukit Monochrome Abyss, nyatanyaa baru tiba di tanjakan pertama aku sudah meneguk air minumku lagi.
Ah! Segar! Rasanya seperti hidup kembali! Kalau sesegar ini, pasti aku bisa mencapai tengah wilayah hanya dalam tiga jam.
...
...
...
Wacana hanyalah wacana. Tiga jam mendaki, aku bahkan belum sampai di puncak bukit. Aku benci ini! Sekelilingku panas! Mulutku terbakar! Aku haus! Kakek! Kurasa aku akan mendahuluimu!
Selamat tinggal!
...
...
...
Aku bercanda. Aku masih ingin hidup. Maaf karena aku mendramatisir. Panasnya matahari membuatku ingin rebahan di dalam kamar mayat yang dingin. Aku rindu kamar mayat. Apa yang kedua asisten itu lakukan di jam segini? Kuharap mereka tidak kewalahan mengurus jenazah-jenazah itu.
Oh, benar. Jangan sampai mereka dikejutkan dengan kedatangan jenazah tubuhku.
Aku tidak boleh mati di sini. Ayo, semangat. Puncaknya sudah sedikit lagi. Haus, aku sangat haus. Aku butuh asupan H2O untuk mengembalikan fokus.
Satu tegukan.
Dua tegukan.
Tiga tegukan.
Aku mengecap bibir penuh kenikmatan. Aku tidak ingat air putih terasa semenyegarkan ini. Siapa yang pertama kali menemukan air putih? Dia orang paling berjasa di muka bumi.
Kenapa aku jadi melantur begini? Apa karena kepalaku mulai pusing. Oh? Apakah suhu panas ini penyebabnya?
Aku harus mencoba fokus. Tidak masalah. Aku akan minum sedikit demi sedikit. Berjalan setiap tiga puluh menit, lalu istirahat satu jam. Tidak lupa aku meluruskan kaki saat sedang istirahat di atas sebuah batu besar.
Puncak itu semakin dekat. Aku pasti bisa.
***
Hahaha! Aku berhasil! Aku berhasil sampai puncak bukit.
Saking senangnya aku sampai melompat-lompat. Aku, Arthur sang mortician yang menghabiskan waktu di dalam kamar mayat bertahun-tahun, untuk pertama kalinya, melakukan perjalanan outdoor dan berhasil menaklukan sebuah bukit pendek.
Iya, bukit ini termasuk pendek. Aku lihat di sekeliling terdapat banyak bukit batu-batu yang lebih tinggi. :') Betapa lemahnya diriku.
Aku membuka peta yang tadi sempat dibagikan oleh Zen kepada para tamu. Jika perhitunganku benar, saat ini posisiku berada di Rocky Hills, bagian Utara Monochrome Abyss. Area ini berisi bukit-bukit yang berbatu. Memang benar, sepanjang mata, aku hanya melihat kumpulan batu-batu yang tersebar acak, besar mau pun kecil.
Tanahnya lumayan gersang, tidak ada rumput hijau. Yang ada hanyalah rumput-rumput kuning setinggi lutut. Ada beberapa pohon, tapi tumbuhnya saling berjauhan. Bentuk pohon-pohon itu mengingatkanku pada akasia karena cabangnya yang banyak dan kanopinya lebar.
Aku duduk di atas salah satu batu. Beristirahat untuk yang kesekian kalinya. Kalau dipikir-pikir, pemandangan di Rocky Hills tidak terlalu buruk. Padang sabana yang membentang seperti lautan emas, sungguh elok dipandang. Angin berembus, sedikit mengusir rasa panas dan gerah.
Tidak jauh dari tempatku berada, terdapat bukit yang lebih tinggi menjulang. Aku perhatikan ada sesuatu yang berguling dari atas ke bawah, seperti roda yang berputar. Aku penasaran di mana benda bundar itu akan berhenti. Ternyata sampai ke bawah!
Di dekatku, benda bundar itu mendarat. Tidak lama dua buah bundaran lainnya ikut turun. Aku masih diam di posisi, tidak bergerak, penasaran dengan wujud asli benda bundar itu. Sisik yang menyerupai katup keras terbuka, muncul wajah loncong dengan hidung mancung. Kedua mata hitam makluk-makhluk bertubuh lonjong itu menatapku.
Sama seperti mereka, aku juga kaget.
Kapten Bas tadi sempat bilang kalau di wilayah Monochrome Abyss ada hewan yang disebut dengan Trenggiling Batu. Mereka pemalu dan umumnya tidak menunjukkan diri di hadapan predator atau pun manusia.
Entah apa aku perlu menyebut diriku beruntung, ternyata hewan-hewan itu justru muncul sendiri di hadapanku. Mereka lucu dan menggemaskan. Seperti tikus tanah, tapi dengan kulit bersisik yang tebal dan licin. Namun, karena takut melihatku, kelompok trenggiling itu langsung bersembunyi lagi dibalik kulit tebalnya, mengubah tubuh mereka menjadi bentuk bola dan menggelinding ke tempat lain, meninggalkanku seorang diri.
Sayang sekali, padahal aku ingin membuat sketsa mereka dulu di buku jurnalku.
Ya sudahlah. Mungkin sudah waktunya aku melanjutkan perjalanan. Hmm, tapi tunggu dulu. Sejak tadi aku istirahat, tapi rasanya tubuhku tidak kunjung segar. Masih ada yangkurang. Kerongkonganku kering. Tidak, bukan hanya itu. Mulutku masih sedikit merasakan efek pedas dari sup ular laut. Sial, ini sungguh mengganggu. Lidahku sudah tidak sakit lagi, tapi rasa hausku masih tidak terbendung. Aku membuka penutup wadah air, lalu mengangkat tas air minum itu ke atas mulut.
Saat aku mendongak, kucuran air yang turun sangat sedikit. Aku mengguncang wadah, tapi debit air yang turun masih sama menyedihkannya.
Apa tersumbat sesuatu?
Oh, tidak. Ini bukan karena tersumbat. Air yang kubawa tinggal sedikit!
Aku menurunkan kantong minum itu, mataku mengintip melalui lubang di ujungnya. Di dasar kantong, masih terdapat air, tapi sangat sedikit. Air itu hanya cukup untuk dua kali tegukan.
Gawat! Ini gawat! Perjalananku masih jauh dan tidak menentu, tapi airku sudah menipis! Sangat tipis malah! Celaka! Celaka! Aku harus mencari sumber mata air!
Benar, ini di atas bukit. Bukankah seharusnya ada mata air?
Ya, ya, aku akan berkeliling dulu di sekitar! Siapa tahu ada sumber mata air, kubangan tempat mandi hewan, atau pun itu!
***
Astaga, aku lelah sekali. Aku kembali ke titik awal di Rocky Hills. Kakiku pegal dan rasanya mulai lecet. Sepatu bootsku tidak cocok dipakai untuk kontur berbukit dan jalan berbatu seperti ini. Aku melepas kedua sepatuku termasuk kaos kaki. Tampak di ujung kaki, jari-jariku lecet. Perih sekali.
Tidak hanya itu, karena tadi aku berkeliling mencari sumbermata air, rasa hausku malah menjadi berkali-kali lipat. Aku sungguh tergoda untuk meminum persedian airku yang terakhir. Persediaan yang tidak seberapa itu!
Ah, tidak ada mata air di sekitar sini! Apa tempat ini benar-benar bukit? Sudah cuacanya panas, tidak ada tempat untuk berteduh, dan airku habis! Penderitaan macam apa ini. Kenapa tidak ada bukit bersalju saja di sini!
Aku haus, sangat haus. Namun, aku harus melanjutkan perjalanan.
Tenggorokanku kering, bibirku juga mulai pecah-pecah. Mataku terasa perih dan kepalaku pusing. Aku butuh air! Air apa pun! Oh, jangan air laut. Air tawar, maksudku air tawar!
Aku berniat melanjutkan perjalanan, walau harus selangkah demi selangkah. Namun, di saat itulah mataku melihat tanaman yang bukan pohon. Itu kaktus!
Aku memperhatikan kaktus itu dari kejauhan. Kaktus ini tidak jauh berbeda dari tanaman-tanaman kaktus pada umumnya. Jika itu kaktus biasa, artinya di dalam batangnya mengandung sangat banyak air.
Air. Membayangkannya membuat air liurku menetes.
Kakiku sudah mengarah ke lokasi kaktus itu, tetapi, sebelum melangkah, tiba-tiba sebuah rekaman di ingatanku berputar. Dulu aku pernah mendapat jenazah bertubuh ungu. Aku kira dia mati tercebur olahan pabrik cat, ternyata dia mati karena keracunan. Dia meminum cairan di dalam kaktus peliharaannya. Warnanya terlihat menggoda dan baunya harum, tapi siapa sangka cairan menyegarkan itu ternyata membuatnya menjadi hiperaktif, lalu mulutnya berbusa dan akhirnya mati.
Mengerikan. Sungguh mengerikan.
Aku menelan ludah. Rasa haus mungkin masih bisa kutahan beberapa jam lagi. Namun, kalau aku gegabah minum dari sumber yang tidak jelas, justru nyawaku menjadi taruhannya.
Oke, aku tidak jadi mendekati kaktus itu. Sampai jumpa kaktus.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top