EPILOGUE
Aku berubah pikiran. Aku memutuskan untuk tetap hidup dan tidak akan mati sia-sia. Bunuh diri adalah keputusan paling konyol yang dilakukan orang-orang paling putus asa seperti saudara kembarku. Ya, harus diakui hidup bersama Madam dan Nababan memang menyedihkan. Bertahun-tahun kami bertahan dalam tekanan. Sayang sekali kematian dipandang olehnya sebagai solusi terbaik yang akan mengakhiri semua masalah dan beban hidup yang harus ditanggung. Dia benar-benar egois! Sama sekali tidak memikirkan beban yang harus kutanggung karenanya. Sampai-sampai aku mengerti rasanya lebih baik mati saja.
Kurasa Madam juga tak sepenuhnya salah saat dia berkata, "Menyedihkan, tenggelam dalam kesakitan agar tetap hidup."
Aku nggak bisa mengelak. Selama ini pun aku melakukan self harm karena aku tahu rasa sakit yang ditimbulkan dapat mengalihkanku dari keputusasaan. Sakit itu pasti, tapi nggak masalah. Aku menikmati ketika nyeri dan perih merambat setiap inci kulit dan menusuk ke dalam secara perlahan. Aku berharap setiap kali aku menyakiti diriku, rasa ngilu akan menyadarkan sebagian diriku yang sudah mati. Tapi, kalau dipikir-pikir, aku lebih setuju dengan Navan.
Navan datang padaku suatu pagi, dia memberikan salinan foto-foto yang dia dapat dari rekannya di kepolisian. Gambar-gambar itu adalah foto yang diambil dari olah kejadian perkara kasus bunuh diri yang dilakukan oleh saudara kembarku. Sampai detik foto itu sampai ke tanganku pun, aku masih tidak bisa mempercayainya. Aku masih berasumsi Nababan di balik kasus ini.
Dia membunuh remaja di sebuah vila, membunuh saudariku jelas bukan hal yang sulit baginya. Sialnya, kenapa semua bukti tidak mengarah kepada lelaki itu? Apa benar saudariku murni bunuh diri? Aku bersumpah akan mencari tahu kebenaran tentang itu. Tak peduli jika Nababan kini sudah rata dengan tanah sekali pun.
Konyol sekali sosok seceria saudariku mengakhiri hidupnya dengan dua gelas obat nyamuk cair yang ditenggak di dalam kamar terkunci. Aku tidak akan pernah melakukan kekonyolan serupa. Catat itu!
Sayang sekali, Navan tak bisa mendampingi proses terapiku saat ini dan seterusnya. Waktu itu aku senang sekali, Reinier menunjukkan keadaan kakak angkatnya membaik bahkan sampai membuka mata. Namun, saat aku mulai menyukainya, dia justru tiada di depan mataku. Namun, aku memastikan satu hal, setiap kata-kata Navan akan kubiarkan tetap hidup dan berkembang dalam diriku. Untuk itu, aku ada di sini, ruang tunggu milik Margareth Ann. Kuharap dia tak menghakimiku di pertemuan pertama atau aku akan membunuhnya seperti yang kulakukan pada psikolog sebelumnya.
Sssttt ....
"Ava Adipatra." Aku menutup jurnal harianku dan menoleh ke arah asisten Margareth Ann. Senyumnya ramah, tapi aku tidak suka senyum itu. Tidak alami dan penuh kepalsuan. "Senyum formalitas yang ramah, usaha bagus," kataku saat melewatinya.
Senyuman itu pun luntur seketika.
"Halo, Ava? Salam kenal. Aku Margareth Ann."
"Aku tahu."
Wanita itu mengangguk, tatapannya tak beralih. Dia terus memandangiku. Mungkin berusaha mengintimidasi? Sayang sekali dia tidak akan berhasil.
"Sebaiknya kita mulai dari mana?" tanyanya. Dia masih mengawasiku, seakan-akan aku benda paling berharga yang bisa hilang hanya dengan kedipan mata. "Bagaimana kalau kita mulai dengan dirimu? Aku dapat informasi kalau kamu pernah berada di dalam penjara anak, apa itu benar?"
Aku tak menjawab. Toh, Margareth Ann sudah mengangkat sebuah map. Pasti itu berkas berisi detail informasi tentang diriku.
"Dan pendampingan bersama psikiater selama kurang lebih empat tahun. Apa yang kamu rasakan?"
"Tidak ada."
"Tidak ada? Kamu yakin?" Dia menatapku lebih lama. "Oke, aku mengerti. Bagaimana kalau kita membahas hal lain seperti tato ambigram di tengkukmu misalnya?"
"Ada masalah dengan tatoku?"Aku menatapnya dengan tajam.
"Tidak, tidak. Jangan salah paham. Aku hanya penasaran apa saudaramu tidak keberatan namanya tertulis di tengkukmu?"
"Saudaraku?"
"Ya, saudara kembarmu. Apa dia tahu namanya terukir di sana?" katanya sambil menunjuk ke arahku. Refleks aku meraba tato itu. Sekujur tubuhku terasa panas, aku nyaris tenggelam dalam pikiranku sebelum suara Margareth Ann berhasil menyeretku ke dunia nyata. "Dia pasti bangga sekali."
Aku rasa aku menyeringai saat menjawab pertanyaannya. "Nggak juga. Aku merasa perlu merahasiakannya. Aku nggak mau dia tahu apa yang sudah terjadi padaku hari itu."
Aku yakin ini kejujuran terdalam yang bisa aku wujudkan dalam kata-kata. Aku sudah memendamnya begitu lama. Aku adalah Ava Putra Nababan, seperti nama ambigram pada tato di tengkukku. Aku mendapatkan tatoku setelah mengetahui apa yang terjadi kepada Afifa bertahun-tahun yang lalu. Aku yakin tato ini akan berguna suatu saat nanti, jadi saat Afifa tertidur, aku memotretnya dengan kamera yang kucuri dari kamar Bapak. Aku pergi ke tukang tato untuk membuat tato itu permanen.
Benar saja, dia mendapati situasi yang lebih sulit dari yang aku bayangkan. Dia nyaris dipenjara. Aku sampai membongkar gudang mencari toaster yang disembunyikan beserta benda-benda lain seperti penggiling adonan. Aku memastikan sidik jariku ada di semua benda yang menjadi barang bukti.
Aku yakin aku terlalu kecil dan lemah untung menggiring Nababan ke penjara saat itu, jadi aku akan menunggu.
Aku benci Ava, aku benci namaku. Aku benci tidak bisa menggantikan saudaraku dalam masa-masa sulitnya. Namun, tidak masalah. Semua sudah berakhir sekarang. Tak peduli aku akan dikenal sebagai siapa pada akhirnya aku tidak peduli.
"Kamu sangat menyayanginya?" Aku bisa merasakan pandangan semakin memburam. "Karena kamu sangat menyayanginya, bukan sampai-sampai kamu ingin merasakan penderitaan yang dialaminya. Begitu, kan?"
Apa aku harus merusak pita suara Margareth Ann agar dia tidak banyak bicara? Aku menggenggam erat gunting kuku dalam saku kardiganku.
TAMAT
Terima Kasih Sobat Ahya yang sudah mengikuti perjalanan Ava dan Afifa dalam kisah ini. Bagaimana perasaan kalian setelah membaca dari awal sampai akhir? Aku akan senang sekali kalau kamu mau meninggalkan jejak dengan memberiku kritik dan saran.
See you next time!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top