Detak 9: The Black Book

Untuk pertama kalinya, Ava bersyukur sekolah mewajibkan siswa-siswinya memakai seragam lengkap beserta printilannya, termasuk name tag. Pihak sekolah tak akan segan menghukum siapa pun yang berani melanggar. Bahkan sekadar memodifikasi apa pun terkait seragam. Seperti memodifikasi sebagian model rok mereka.

Reinier adalah nama yang tertera pada name tag cowok itu. Nama keren bersifat palindrom. Sebuah kata yang dibaca dari arah depan ataupun belakang sama saja bunyinya. Palindrom seperti sebuah prinsip hidup. Merupakan sesuatu yang kokoh dan tak tergoyahkan. Sesuatu yang tetap dan tetap. Seperti Reinier yang sejak pertama melihat parasnya sudah mencuri perhatian banyak orang. Cowok itu punya lesung pipi ganda yang sangat manis. Selain parasnya, hal lain yang membuatnya terpikat adalah nama yang menjadi identitasnya, Reinier.

Banyak nama-nama orang terdekatnya merupakan sebuah palindrom sebut saja, Afifa, Madam, dan Bapak tirinya, Nababan, tetapi Reinier palindrom yang paling dia suka. Sayangnya, dekat dengan Reinier bukan hal yang baik. Jantungnya akan merespons secara berlebihan saat terlalu dekat dengan Reinier. Sialnya, mereka harus sebangku sepanjang hari ini.

Aku nggak terbiasa dengan situasi ini, Rei di dekatku. Dia ada di sebelahku sekarang. Tepat di sisi kananku. Diam-diam aku meliriknya, sialnya aku sering ketangkap basah dan cowok itu kemudian akan tersenyum ganjil. Setiap kali Rei tersenyum akan muncul sengatan aneh dalam dadaku. Namun, setiap kali dalam jarak yang cukup dekat, aku selalu resah karena aku kesulitan berinteraksi dengannya. Boro-boro ngobrol santai ngalor ngidul, menyapanya saja sulit bukan main. Menghindar jelas cara terbaik, walau Afifa pasti akan keberatan aku merusak sedikit citranya di kelas. Hanya sedikit, kuharap dia tidak marah.

Ngomong-ngomong soal Afifa, pagi ini dia agak berbeda. Aku seperti melihat cerminanku sendiri. Maksudku, kami memang kembar, tapi tak pernah benar-benar kembar. Kadang, aku juga heran. Kami dibesarkan dalam keluarga yang sama, tapi dia tumbuh penuh warna. Afifa sangat ceria, mudah bergaul, punya banyak teman yang menyenangkan di kelas ini. Aku sudah bilang ada yang berbeda dengan Afifa pagi ini, kan? Ya, itu dia. Tiba-tiba dia hanya bicara seperlunya kayak pagi ini dia cuma berpesan agar aku jangan lupa membelikannya lalat beku.

Padahal selama ini, kalau lagi bertukar peran seperti ini, dia akan mirip banget sama Madam. Aku agak khawatir sebenarnya ....

Sebuah tepukan di pundak mengejutkan gadis itu. Reinier mengajaknya ke lapangan utama. Sebelum mengikuti cowok itu, buku A5 itu ditutup dengan cepat dan dijejalkan dengan asal ke tasnya. Setidaknya, jam pertama adalah pelajaran olahraga yang menjadi favorit Reinier. Ngomong-ngomong soal Reinier, mungkin akan terdengar aneh kalau mereka bertemu sejak awal semester, keduanya mengikuti eskul yang sama. Sayangnya, Ava belum menemukan momen yang tepat untuk mengajaknya bicara. Hanya saja, Ava selalu mencuri pandang di setiap kesempatan. Namun, saat kini Ava punya banyak kesempatan berinteraksi dengan Reinier, dia justru tak mampu bertahan menatap wajahnya lebih dari tujuh detik.

"Melamun lagi, kayaknya kamu beneran sakit, deh."

Dia menggeleng dan berlari ke lapangan. Letaknya persis di depan gedung megah SKTB hanya dibatasi sebuah jalan raya. Untuk pemanasan semua siswa disuruh memutari lapangan. Dia pun mulai berlari. Dia lupa jika bedak yang dipakainya akan luntur oleh keringat dan menampakan frekles di wajahnya. Yang dia tahu, saat berlari, dia merasa bebas. Dia bisa berekspresi lebih natural. Inilah dirinya yang sesungguhnya. Dia sangat bergairah terkait olahraga lari cepat itu.

"Aku baru tahu kalau kamu bisa berlari secepat itu, Putri Katak," kata Reinier sudah berlari bersisian dengannya. Namun, Putri Katak benar-benar tak teralihkan. Kakinya justru terpacu semakin cepat, cepat, cepat. Putri Katak menoleh ke cowok itu saat dia mengingat "putri katak". Jangan-jangan Reinier memanggilnya dengan nama itu pagi tadi dan dia tidak menyadarinya. Seketika bulu kuduknya meremang saat mengingat semua itu. Bayangan semua yang belum dimulai akan berakhir lebih cepat benar-benar mengganggunya sekarang.

Lantas dari mana panggilan menjijikan itu berasal? Seketika anura dalam kotak-kotak transparan berkelebat dalam ingatannya: African dwarf, Oriental fire-bellied, Oriental fire-bellied, dan jenis lain yang tak dia ingat detail namanya. Semua menyatu dalam satu nama yang sama, katak. Bel berbunyi menandakan pergantian jam pelajaran. Bersama teman-temannya yang lain mereka bergegas ke kelas. Tak ada yang lebih menyenangkan selain menghilangkan dahaga selepas olahraga. Hampir saja dia masuk ke kelas X-C.

Bagaimana tidak, berbulan-bulan Ava keluar masuk kelas itu, langkahnya pun sudah seperti autopilot. Sesampainya di depan pintu, kelas itu sedang pelajaran Matematika. Semua pandangan mata langsung tertuju padanya. Waktu seakan berhenti sebelum akhirnya Reinier datang menyelamatkannya dari situasi yang buruk. Dia menarik tangan Putri Katak menjauhi pintu, dia menurut saja.

"Lagi ngapain di sana?"

"Apa?"

"Lagi ngapain di kelas X-C? Mau ketemu kembaranmu, ya? Siapa namanya. Sebentar, aku ingat. Dia jago banget lari dan kita satu klub. Ah, ya ... aku inget! Namanya Ava. Benar, kan? Di mana dia duduk?"

"Oh, itu. Dia nggak masuk."

"Kenapa dia? Sakit apa gimana?"

"Aku nggak harus melapor apa pun setiap ke kamu, kan?"

"Kenapa, sih, sengak banget sama aku? Kamu cemburu, ya sama kembaranmu sendiri?"

"Apaan, sih."

"Tuh, kan pipimu merah. Ngaku deh kalo kamu cemburu karena aku ceritain Ava," godanya.

Gadis itu hanya menatapnya dengan tajam sebelum meninggalkannya. Ava pikir, dia akan merasa senang Reinier menunjukkan perhatian yang selama ini tidak pernah dia dapatkan. Nyatanya, jantungnya tak berhenti berdentam. Dia tidak tahu harus merespons seperti apa atas perhatian yang tak pernah dia duga sebelumnya.

Sesampainya di kelas, di dalam kelas X-E, dia terkejut. Minuman isotonik miliknya telah tandas tak tersisa padahal dia yakin belum meminumnya sama sekali. Jika harus ke kantin dulu sebelum ganti baju, dia akan terlambat pada jam pelajaran selanjutnya. Namun, jika tidak minum, lehernya akan terbakar rasa haus. Bising kelas, udara panas, dia hanya bisa mengipas-ngipaskan tangan untuk mendapat udara lebih banyak menghilangkan gerah.

"Afifa, sori ya, tadi aku minum duluan," kata seorang berkulit gelap sambil mengerling. Gadis itu ternganga, dia tak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Bahkan jika Afifa yang melakukan itu, dia tak akan membiarkannya. Sayangnya energinya telah terserap habis. Dia kelelahan.

"Mau soda?" Reinier menyodorkan minuman kaleng yang sudah dibuka. "Ini masih utuh, kok."

"Aku nggak suka soda, trims."

"Masa, sih? Bukannya ini minuman favorit kamu, ya, setiap selesai olahraga aku liat kamu selalu minum soda rasa lemon."

"Aku–"

"Ayolah, waktu kita terbatas. Lebih baik soda daripada nggak minum sama sekali, kan?"

Oke, soda rasa lemon. Sekali aja kurasa nggak masalah. Nggak terlalu buruk, suaraku akan baik-baik aja, dia membatin selagi menenggak minuman soda yang dingin itu.

Rasa hausnya benar-benar terpuaskan.

"Trims, Rei." Dia meninggalkan cowok yang sudah memegangi kaleng soda itu kemudian membuang sisanya.

Reinier menyeringai tipis saat ke ruang ganti laki-laki. Jika dugaan Rei benar, rencananya berjalan dengan lancar.

Mereka bertemu lagi di auditorium. Ruangan luas menyerupai aula dilengkapi perkakas musik. Hari ini kelas X-E ada pengambilan nilai seni tarik suara. Ternyata cara pengambilan nilai dilakukan secara acak, tidak sesuai absen.

"Kamu bakalan tampil setelah Afbyan dan aku akan tampil sesudah kamu," bisik Reinier.

"Oh, ya?" Ava memainkan pembuka kaleng yang dia lepas dari tutupnya. Mengaitkannya ke kuku menarik-narik dengan pelan mengiringi irama lagu.

"Lihat polanya, Bu Rima memanggil secara teratur dari absen teratas bergerak turun, sedangkan dari absen terakhir bergerak naik," jelasnya. "Gantian."

"Hm." Kebiasaan Bu Rima bukan hal yang baru, dia pun mengenali pola itu, tetapi ketika kamu tidak hafal nama teman sekelasmu, dia tak bisa menerka sama sekali.

"Benarkan?" kata Reinier dengan kebanggaan penuh dalam dadanya seakan dia merasa paling tahu segalanya. "Ava?"

Ava? Sentakan keras membuat kuku jempolnya terlepas. Darah bercucuran dan merembes ke mana-mana.

✨✨✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top