Detak 8: It Start With You

Dua tahun kemudian

Begitu banyak hal yang terjadi dua tahun belakangan. Namun, hubungan Ava dan Afifa terus membaik setiap harinya. Afifa membantu Ava mengejar ketertinggalan pelajaran sampai mereka bisa lulus bersama-sama dan di terima di sekolah yang sama. Sekolah yang sangat familier karena SD, SMP, dan SMA berada dalam satu naungan atap kelembagaan yang sama, Sekolah Kesatuan Tunas Bangsa. Kini mereka telah berada di penghujung semester genap, di mana nilai-nilai akan diakumulasikan untuk kenaikan ke kelas XI.

"Nggak boleh baca buku, nggak boleh dengerin musik, dan nggak boleh tidur di kelas." Remaja itu sedang becermin saat merapalkan sederet kalimat. Mengulanginya lagi dan lagi sehingga terdengar menyerupai mantra. Mata hitam miliknya masih mengamati pantulan diri sendiri. Tangannya dengan cekatan merapikan rambut ikal yang tergerai. "Aku udah siap, semuanya akan baik-baik saja."

"Kayak ada yang kelupaan," gumamnya.

Dia kembali duduk setelah mengaitkan anak rambut ke telinganya. "Warna rambut yang sering membawa masalah."

Ada aturan sederhana di sekolahnya, tentang rambut yang diberi warna. Warna hitam kemerahan seperti terbakar matahari sering membuat gadis itu ada dalam masalah. Beberapa kali dia pernah dipanggil ke ruang BK untuk memberi keterangan bahwa rambutnya tidak pernah di cat sama sekali. Aturan lain yang mendapat sorotan adalah pemakaian make up saat di sekolah. Pelanggarnya akan mendapat peringatan yang sama dari guru BK, tetapi untuk saat ini dia tak bisa melewatkan hal krusial itu, dia harus berdandan.

Percaya tidak, kalau bakat alami kadang hanya butuh sedikit latihan dan ketelatenan akan membawa hasil yang menguntungkan. Dengan menonton tutorial yang bertebaran di sosial media, YouTube, dan Tiktok, dia berhasil mempelajari cara memoles wajah secara natural. Sebuah kekurangan kecil akan membedakan identitas yang sesungguhnya, dia harus menyamarkannya. Wajahnya yang putih memiliki frekles di area hidung kemudian menyebar secara melintang hingga bawah mata. Kini bintik cokelat itu sudah tertutup sempurna dengan warm ivory foundation yang dipadukan dengan bedak padat dengan merek serupa. Jangan tanya benda itu milik siapa. Saat Madam tahu, wanita itu akan murka.

Tak ada yang bisa menyelamatkan dari kemarahan Madam. Seandainya tak ada seseorang yang telah menjamin keamanan dirinya hari ini, sumpah demi apa pun di dunia ini dia tidak mau melakukannya: meminjam alat-alat make up bernilai jutaan rupiah milik Madam.

"Kayaknya aku butuh kacamata baru," lanjutnya sambil mengepas kacamata di wajahnya. Sebuah kacamata dengan bingkai hitam yang lumayan tebal kini bertengger di atas hidungnya yang mungil. Pandangannya agak terganggu setelah memakai benda itu, tetapi dia butuh. Tanpa kacamata itu semua akan kacau.

"Ah, repot sekali strap ini terlalu kecil," keluhnya lagi. Namun, tetap saja tas berbahan kulit sintesis berukuran sebelas inci itu dia pakai. "Setidaknya warna khaki nggak terlalu buruk."

Gadis itu berdiri dan berputar sambil melihat cermin. Tas berwarna khaki sangat tidak serasi saat dipadukan dengan seragam lengan panjang berwarna putih dengan rok biru bermotif kotak-kotak. Meski begitu, dia tetap berangkat sekolah. Sesampainya di halaman, dia akan berjalan keluar gang untuk mencari angkutan umum yang akan membawanya ke Sekolah Kesatuan Tunas Bangsa, SKTB.

SKTB merupakan sekolah terbaik ke dua di kota Perwira. Hanya ada dua kategori jika berhasil masuk ke sekolah itu. Kalau tidak pintar, bisa dipastikan anak itu termasuk anak orang kaya. Setidaknya kaya menurut standar kabupaten. Seumur hidup, dia dilahirkan dan dibesarkan di kota yang sama, Kota Perwira. Salah satu kabupaten yang terletak di pinggiran karesidenan Banyumas. Gadis berkacamata itu tak memenuhi standar kaya di tempatnya, jadi bukan termasuk dalam kategori yang kedua. Tersirat dengan jelas dia harus bertahan lebih keras di sekolah itu dengan beasiswa.

"Bapak akan antar kamu dulu sebelum ke apotek." Suara laki-laki itu terdengar di antara suara air yang menggerojog. "Sebentar lagi bapak juga selesai."

"Nggak usah, Pak. Aku naik angkot aja. Masih sempat, kok."

"Biar sekalian, arah apotek dan sekolah, kan, sejalur. Lagi pula. keuangan kita lagi kurang baik, kalau ikut bapak, kamu akan hemat waktu dan ongkos. Uang transport bisa kamu pakai buat jajan atau keperluan lain," jelasnya sambil menggulung selang.

"Nggak usah, Pak. Trims. Maksud aku makasih."

"Bapak udah selesai ngelap motornya. Tunggu sebentar bapak ambil baju dan dompet." Lelaki itu menggaruk tengkuk menyadari dia hanya mengenakan singlet putih dan celana katun sepanjang lutut.

Jika usiamu baru menginjak tujuh belas dan tinggal bersama suami kesayangan Madam, artinya sebuah penolakan tidak ada gunanya. Sekarang tidak ada pilihan lagi selain menunggu. Jika tidak menurut, dia akan mendapat masalah. Bermasalah dengan Madam mengundang petaka tak berujung dalam hidupmu. Sejak kembali dari vila, perhatian Nababan semakin intens. Pergerakan si kembar pun terbatas.

Perjalanan ke sekolah normalnya membutuhkan waktu sepuluh menit dengan sepeda motor, tetapi bersama bapak pengecualian. Rasanya sepanjang jalan ingin mengumpat, tiga puluh menit terbuang sia-sia. Sekarang tidak ada bedanya seandainya dia naik angkutan umum ke sekolah. Bapak bukanlah lelaki lansia, dia bahkan terlalu muda untuk dipanggil Bapak. Dia laki-laki yang memiliki lekukan otot pada lengannya. Jujur saja bapak lebih cocok bersama Lik Fara daripada bersanding dengan Madam. Sampai hal ini terdengar oleh Madam, setidaknya kamu akan kehilangan uang sakumu selama sebulan setengah. Sekali lagi garis takdir mengikat seseorang dengan cara yang tidak sederhana.

Tak ada yang tahu pasti kedekatan bapak dan madam terjalin. Entah bagaimana kronologinya, malam hari di bulan Desember 2008, Madam pulang bersama lelaki itu dan mengenalkannya sebagai bapak. Seperti anak-anak lain, informasi yang dijejalkan dengan tiba-tiba cenderung ditolak. Pernikahan itu pun juga. Mereka selaku anak-anak Madam memberontak. Mereka tidak siap dengan kehadiran orang baru. Sayangnya lelaki bertubuh atletis itu membawa bukti tak terbantahkan, akta pernikahan mereka. Dan apa yang bisa dilakukan anak sekecil mereka? Tak ada yang bisa dilakukan selain menerima dan diam.

"Pak, bisa cepetan nggak?"

"Dengar–" Perkataannya terpotong saat motor mereka melewati sebuah tonjolan polisi tidur. Saat melintasinya, Bapak tidak mengombinasikan dengan menekan rem sedikit, jadi mereka melintas dengan kasar. Badan pun terhuyung hingga buah dadanya menempel ke punggung Bapak. "Maaf, bapak lupa mengerem. Kamu nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa, Pak," jawabnya menekan rasa dongkol setengah mati.

"Makanya bapak nggak mau ngebut-ngebut. Istri bapak yang pertama meninggal saat membonceng bapak saat itu, jadi ... sebenarnya bapak takut kalau berkendara dengan kecepatan tinggi. Apalagi dengan orang-orang yang bapak sayangi."

Masa bodoh dengan istri tua Bapak, lagi pula siapa yang peduli. Toh, Nggak kenal orangnya. Motor matik keluaran 2016 telah sampai di gerbang SKTB, dia pun berjalan melewati gerbang pembatas yang akan ditutup sebentar lagi. "Nanti bapak jemput?"

"Nggak usah, Pak," katanya tanpa berpikir panjang. Dia menyalami bapak tirinya itu sebelum berlari membaur bersama anak-anak yang berlalu lalang. Bunyi sepatu menghantam paving block bersahutan dalam berbagai ritme. Kepak burung gereja memenuhi udara saat puluhan burung pingai itu menjauh dari manusia yang terburu-buru waktu. Setelah sampai di koridor, dia kembali menepi memisahkan diri dari rombongan anak kelas XII. Meski bukan tipe siswa yang datang sejam sebelum pelajaran dimulai, dia tak pernah datang nyaris bersamaan dengan bel berbunyi.

Mereka yang baru datang berlarian menuju kelas masing-masing. Dia pun akan melakukan hal yang sama, dia tidak boleh kena hukum. Semua akan berantakan, beasiswanya bisa terancam. Madam akan punya banyak alasan membandingkan dirinya dengan brutal.

Nggak, nggak boleh, nggak akan kubiarkan!

Dia berlari menyusuri koridor kelas X. Untuk sampai ke kelas X-E, dia harus melewati pinggiran lapangan upacara. Tepat di depan kelas X-C, dia berhenti sejenak. Teman-temannya bergerombol menghalangi pintu masuk. Ada yang jongkok. Ada yang berdiri. Di saat dirinya tengah terhipnotis dengan suasana kelas itu dan para penghuninya, seseorang menepuk pundak membuatnya berjingkat kaget.

Cowok berkulit pucat berdiri di dekatnya dengan napas terengah-engah. "Dih, aku panggilin dari tadi juga."

Untuk sesaat, rasanya seperti tersesat. Dia gelagapan. Sumpah demi apa pun, tak ada yang memanggil namanya.

"Aku panggil dari tadi, loh. Tumben lari terus," lanjutnya.

"Masa, sih? Sori, aku nggak ngeuh. Ada apa?"

Postur cowok itu lebih tinggi membuatnya harus mendongak saat berbicara. Kedua alis tebal cowok itu menukik tajam seakan memancarkan kecurigaan yang nyata. Saat telapak tangannya mendarat ke kening gadis berponi itu, refleks dia memejamkan mata."Nggak panas, kok."

"Apaan, sih." Dia merapikan poni.

Tak lama, cowok itu melirik arlojinya dan berkata, "Cuma mau mastiin aja, tumben agak siangan. Ada apa?"

"Nggak ada, cuma kesiangan bangun aja."

"Kok bisa?"

"Manusiawi, lah. Kok kamu ngeselin, sih."

"Ya, sori. Kamu agak beda aja. Kayak kurang fokus gitu. Tadi dipanggil nggak nyahut, terus aku lihat kamu bengong di koridor, dan sekarang kamu marah-marah nggak jelas. Lagi PMS apa gimana?"Astaga! Apa tadi katanya? PMS?!

"Aku nggak apa-apa, Rei. Oke?"

"Aku serius, loh. Kalau kamu nggak enak badan nanti izin aja."

Gadis itu hanya tersenyum sebelum akhirnya berjalan cepat melewati lelaki yang dipanggil Reinier. Pipinya terasa memanas. Entah karena marah atau malu. Meski dugaan Reinier tidak benar, tetap saja membicarakan PMS di depan cewek itu agak kurang beres otak dia. Kalau pun itu sekadar candaan receh, menurutnya sangat tidak lucu.

✨✨✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top