Detak 7: How to Stop Time

Kota Perwira bukan kota besar, tetapi suasana pagi di hari Senin akan tampak sibuk seperti kota-kota lain. Anak-anak berseragam sekolah memenuhi angkutan umum. Pegawai pabrik pembuatan rambut palsu berbondong-bondong dengan sepeda motor mereka. Motor, mobil, truk, dan kendaraan bermotor lain sudah mengular di perempatan lampu merah. Kantor-kantor pemerintah pun sudah siap dengan setumpuk pekerjaan yang tak ada habisnya. Navan berencana ke kontrakan di kawasan Pasar Manis sebelum mengantar Ava ke rumahnya.

Pasar Manis merupakan pasar tradisional yang sangat padat pada pagi hari dan pengunjung atau penjualnya akan membludak saat pasaran jawa manis seperti pagi ini. Trotoar penuh dengan pedagang asongan. Suara mereka saat mengasongkan dagangan membuat suasana sangat riuh. Belum lagi tawar menawar yang membuat transaksi jual beli sangat lama kadang membuat Navan jengah. Namun, saat ini uang yang dia miliki hanya mampu untuk menyewa petak kecil di dekat Pasar Manis. Lokasinya pun masih terjangkau kalau-kalau dia harus ke kampus mendadak.

"Kamu nggak apa-apa, kan, kita istirahat sebentar di kontrakan?" Navan memulai. "Setelah makan dan istirahat, sore nanti baru kita pulang."

Navan mengerti, walaupun Ava diam, dia tak punya pilihan lain selain setuju. Navan bisa melihat gadis itu merasa takut untuk kembali ke rumah. Namun, tekadnya sangat kuat. Ada hal yang perlu dia perjuangkan sehingga memaksanya harus kembali. Lagipula, remaja empat belas tahun membutuhkan wali.

Yang terpenting, Navan harus mempersiapkan diri. Apa yang akan dihadapi bukan sekadar tentang Ava, tetapi tentang Hannah juga. Sudah sebulan sejak adik perempuan Navan belum kembali, rasa penyesalan menggerogotinya. Lelaki itu masih belum menyerah. Semua kemungkinan masih terbuka lebar. Berkat informasi tambahan dari Ava, polisi yang sudah nyaris tak bergerak meneruskan penyelidikan kembali bergerak. Namun, Navan tak bisa mengandalkan mereka yang bergerak lamban. Navan berharap bisa mempunyai lebih banyak waktu dan kesempatan.

***

Nababan, lelaki bertubuh atletis duduk setelah menyajikan secangkir teh. Dia tipe orang yang mudah disukai orang. Dia memiliki senyum yang mudah merekah di sela-sela keramahannya.

"Jadi Anda wali Ava, ya, Pak? Salam kenal, saya Navan."

"Betul, saya Nababan, wali dari Ava Adipatra Putra Nababan. Kami kehilangan dia saat berlibur di vila keluarga kami di Mangkelang." Nababan berbicara tanpa menatap Navan, pandangannya tertuju pada Ava membuat gadis itu tertunduk. "Berhari-hari kami mencarinya, tapi Ava seperti hilang ditelan bumi. Saya senang sekali saat mendapat telepon dari tukang kebun vila bahwa Ava datang menemuinya bersama laki-laki. Saya bersyukur laki-laki itu Anda."

Pandangan Nababan beralih ke Navan dan berkata, "Sepertinya Anda orang baik, Ava sangat beruntung."

"Ah, Anda terlalu berlebihan memuji saya. Kebetulan saya sedang menemani ibu mencuci pakis dan jamur yang kami temukan di hutan, ibu saya berteriak. Saat saya mendekat, Ava tergeletak pada batu besar dalam keadaan pucat pasi. Dia tak sadarkan diri." Navan melirik Ava yang memainkan jemarinya. Menyobek tepian kuku hingga berdarah. "Kami merawatnya sampai sadar. Namun, dia kehilangan sebagian ingatannya. Itulah yang membuat saya terlambat mengantar Ava pulang. Kami sempat ke vila, tapi hanya penjaga kebun yang bisa kami temui sehingga sekarang saya bisa ke sini berkat bantuan beliau."

"Ah, tidak apa-apa. Saya sangat senang bisa menemukan Ava kembali. Terima kasih banyak sudah mengantar dia pulang."

"Ava, kamu nggak mau masuk kamar, Sayang? Afifa pasti merindukanmu."

Ava menatap Navan, seakan meminta persetujuan. Setelah Navan tersenyum dan mengangguk barulah Ava beranjak. Dia menoleh Navan saat berada di susuran anak tangga. Dia melangkah perlahan, dia sempat melihat Afifa berdiri di gawang pintu sebelum akhirnya daun pintu ditutup sempurna.

"Begini, Pak Nababan. Sebenarnya ada hal yang ingin saya sampaikan kepada Anda terkait Ava." Navan menjeda sejenak, dia menghela napas panjang seakan-akan apa yang akan dia sampaikan hal yang sangat berat. Di lantai dua, Ava memilih duduk di lantai yang tak terlihat baik oleh Navan ataupun Nababan. Namun, dia masih bisa menyimak pembicaraan itu. Suara Navan semakin lirih, jelas sekali dia menurunkan intonasinya. Namun, samar-samar Ava bisa mendengarnya. "Ava mengalami guncangan pada jiwanya akibat kecelakaan itu. Dia memiliki kecenderungan menyakiti diri sendiri. Sejauh pengamatan saya, intensitasnya sudah mulai berkurang. Namun, dia memiliki kecenderungan bunuh diri yang tinggi. Untuk itu, saya harap Pak Nababan dan keluarga lebih memperhatikan Ava lagi."

"Apa dia bisa sembuh?"

"Maaf?"

"Apa Ava bisa disembuhkan dan bersekolah seperti anak-anak lain?"

"Butuh waktu, Pak, tapi Ava bisa bersekolah seperti remaja lain. Justru akan bagus untuk perkembangannya nanti. Dia akan sibuk dan tidak hanya fokus pada self harm yang dia lakukan."

"Ah, baiklah. Maaf sebelumnya, apa Anda seorang psikolog?"

"Belum, Pak. Doakan saja, saya sedang mengerjakan tesis sekarang."

"Ah, begitu rupanya." Nababan mengangguk-angguk. "Eh, ayo, tehnya diminum dulu."

"Terima kasih, Pak." Dengan canggung Navan mengambil cangkir di hadapannya dan menyeruput teh dengan kadar kemanisan yang sangat tinggi.

"Maaf, tehnya agak kurang enak, ya? Saya tidak biasa bikin minuman sendiri. Istri saya lagi kerja dan anak perempuan saya baru pulang les saat Anda datang, jadi masih kecapean mungkin."

Navan tersenyum. "Bapak sendiri tidak bekerja?"

Nababan tersipu. Waktu menunjukkan jam tiga sore. Pekerja pabrik maupun kantoran belum waktunya pulang. Namun, Nababan terlihat santai di rumah. Dia bahkan hanya mengenakan singlet putih dikombinasi dengan celana sepanjang lutut saat Navan datang dan baru mengambil kemeja berlengan pendek setelah mempersilakan masuk.

"Saya bermain saham sejak SMA. Sekarang pun masih, jadi tidak perlu ke mana-mana."

Navan mengangguk paham. Dia melirik jam tangan sebelum akhirnya berpamitan.

"Titip salam buat Ava, Pak."

"Terima kasih, ya, Navan. Kapan-kapan mainlah ke rumah. Ava pasti akan sangat senang mendapat kunjungan."

"Baik, Pak. Terima kasih banyak atas suguhannya. Semoga Ava lekas membaik. Saya pamit, Pak."

Dari lantai dua, Ava memperhatikan punggung Navan sampai tak terlihat. Ava memegang kenop pintu kamar dan memutarnya. Aroma yang sangat familier menyerbu hidungnya. Tak ada yang berubah dari kamarnya, hanya saja susunan barang-barangnya lebih rapi. Afifa pasti merawat kamar ini dengan baik saat Ava tidak ada. Ava bergerak menuju sebuah pintu penghubung antara kamarnya dengan Afifa. Dia mengetuk sebanyak tiga kali, tak ada jawaban. Ava menempelkan telinganya di daun pintu. Dia ingin tahu apa yang dilakukannya di dalam sana sampai dirinya diabaikan. Air mata pun menetes.

"Ada banyak hal yang mau kubagi, Afifa." Ava bergumam. Dia memutar kenop, tetapi pintu itu benar-benar terkunci. Ava merosot, dia memeluk dirinya sendiri di sana, menangisi sebuah kehilangan. Dia tak pernah merasa sesepi ini. Afifa tak pernah menolaknya sebelum ini. "Apa kamu marah, aku pergi terlalu lama dan membiarkanmu sendirian di sini? Setidaknya kamu masih hidup, Afifa. Maafkan aku."

Bunyi klik terdengar, Ava menoleh ke arah pintu penghubung yang terbuka. Di ambang pintu, berdiri Afifa yang lebih kurus dari yang dia ingat. Dia menatap Afifa dengan tatapan duka.

***

Afifa berjalan mundur setiap kali Ava mendekat. Wajahnya tanpa ekspresi, air muka itu bukan yang Ava kenali. Sebulan berlalu menghilangkan segaris senyum yang selalu muncul di wajah itu. Sebulan berlalu menguras bobot tubuhnya. Dia sangat kurus. Matanya yang sayu menatap lekat Ava. Tatapan itu penuh duka dan kekecewaan. Mungkin karena Ava muncul dan terlihat baik-baik saja saat dirinya harus menerima semua kepahitan selama sebulan terakhir.

Ava menangis, Afifa terus menolaknya. Menepis tangan yang hendak memeluknya. Upaya memangkas jarak pun sia-sia. Afifa masih kekeuh dengan pendiriannya.

"Kenapa kamu pulang?"

Afifa bisa melihat bagaimana Ava terkejut karena pertanyaan itu. Mengingat saat pulang pun kondisi Ava tak jauh lebih baik dari dirinya. Afifa pun bisa melihatnya. Matanya memanas melihat keloid, melihat saudara kembarnya lebih tirus dari yang terakhir kali dia lihat. Hati Afifa mulai bergejolak. Dia bergetar membayangkan kehidupan Ava selama ini. Dia sangat takut jika dugaannya salah. Bagaimana jika selama ini Ava juga sama seperti dirinya yang tidak baik-baik saja.

Rasa takut itu meruntuhkan egonya. Dia tak lagi menjauh. Hanya bergeming saat sang kakak mendekat. Dia merasakan jemari Ava mendekat, menyentuh wajah Afifa dengan takut-takut dan mengaitkan anak rambut yang terkulai sementara air matanya tak berhenti mengalir.

"Kenapa baru pulang sekarang?" Suara Afifa bergetar. "Kenapa?!" teriaknya.

Ava menghambur ke pelukannya, tetapi Afifa memberontak. Dia membanting kotak pensil yang dia jangkau dari mejanya.

"Kamu nggak tahu, kan, apa yang udah aku lalui selama ini?"

"Maaf, Afifa–"

"Aku sendirian, Ava!"

"Maaf."

"Kenapa kamu nggak pulang lebih cepat? Aku ... Bapak, dia memperlakukanku dengan buruk. Apa kamu tahu? Kamu nggak tahu bukan? Setiap hari, aku selalu mencari cara untuk mati. Bapak, dia ... apa bersikap hal yang sama kepadamu selama ini?" Hening menguasai saat Afifa menjedanya. "Kamu juga mengalaminya? Dan kamu nggak kasih tahu aku selama ini?"

"Nggak, Afifa. Aku udah balik, kamu nggak boleh kenapa-kenapa lagi. Seandainya aku ingat lebih cepat ...."

"Ava, jadi benar dia bersikap buruk sama kamu juga? Kenapa kamu pergi dari rumah?"

Afifa memandangi luka di kepala Ava yang belum sembuh sempurna, goresan ada di mana-mana. Tak ada cerita yang meluncur dari mulut Ava. Namun, tampaknya Afifa sudah mendapatkan keputusannya.

"Kita akan membalaskan semua ini, kan, Ava?"

"Tentu."

"Aku akan hidup untuk menghancurkan lelaki itu."


___AhyaBee___

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top