Detak 6: Silent Treatment

Keheningan itu terlalu lama. Kadang diisi suara binatang rumahan seperti cicak atau suara tokek. Sore ini agak berbeda, kedua binatang itu tak terdengar. Menjelang malam, tonggeret melantang bersahutan dengan suara katak. Katak-katak itu menggiring perasaan rindu Ava kepada saudari perempuannya, Afifa Dwipatra.

Afifa paling menyukai anura di antara penghuni rumah itu. Nababan yang mengenalkannya. Saat itu, Bapak membawa beberapa ekor katak pohon yang membuat Afifa kecil terpesona. Rencananya, katak itu akan dijadikan umpan ular peliharaannya. Namun, karena permintaan Afifa, Nababan bahkan tidak menjadikan binatang itu menjadi umpan dan membiarkan Afifa memeliharanya. Afifa bisa duduk berjam-jam mengamati katak peliharaannya sampai Ava kerap kali merasa bosan. Afifa menjadi sering malas diajak bermain petak umpet atau berebut bola.

Tahun lalu, ketika usia mereka tiga belas, bapak bahkan memberi Afifa hadiah katak berlisensi yang tidak bisa dipelihara sembarang orang dan pria itu memberi Ava nail clip wood entah atas dasar apa. Secara harga, keduanya terpaut sangat jauh. Setiap orang bahkan bisa memiliki nail clip wood dengan mudah.

"Permisi," kata Navan setelah mengetuk pintu kamar yang terbuka. Dia membawakan makan malam seperti biasa. Berhari-hari, Ava hanya menghabiskan waktunya di kamar Hannah tanpa melakukan apa pun. Kamar itu tidak terlalu luas, tetapi kerapian dan kebersihannya terjaga membuat siapa pun akan kerasan berlama-lama di sana. Belum lagi aroma yang dipilih untuk ruangan itu memiliki selera yang serupa dengan wewangian kesukaan Ava.

"Aku masuk, ya." Navan sering kali berusaha mengajaknya keluar, menikmati udara segar, melihat keindahan desa kelahirannya itu. Ketenangan alam akan memberi dampak positif dalam proses penyembuhan Ava. Namun, upaya Navan selalu diabaikan. Sejak Navan membentaknya hari itu, Ava tidak pernah lagi berbicara dengannya.

"Aku akan tetap di sini sampai makananmu habis, ya?"

Ava tak merespons, dia menekuri sprei bergambar bunga lili yang membungkus kakinya. Seakan, pemandangan di sana adalah pemandangan terbaik yang bisa dilihat.

"Ava, kamu masih marah sama aku?" Navan melihat Ava menggigiti bibirnya yang kering. "Kamu boleh marah Ava, tapi jangan mengabaikan makananmu. Boleh aku menyuapimu, ya?"

Hening. Saking sunyinya sore itu, suara perut Ava yang berbunyi sampai terdengar.

"Aku suapi, ya?" Selanjutnya hanya denting sendok yang bertumbukkan dengan piring. Meski tak bersuara, Ava menerima suapan dari Navan dengan malu-malu. Suasana makan sangat khikmat, tenang. Untuk pertama kalinya, Ava makan tanpa menyisakan apa pun di piring. "Enak, kan, sop ayam buatanku?"

Navan kembali berkata, "Aku benar-benar minta maaf telah membentakmu, aku hanya terkejut kamu tiba-tiba mengambil buku itu."

"Aku ingat," kata Ava.

Navan menghentikan aktivitasnya, jika bisa, dia bahkan tidak hanya menahan napas. Dia juga akan menahan jantungnya yang berdetak kencang. Ava berbicara kepadanya untuk pertama kali dan dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini dengan menyela.

"Aku tinggal di sebuah vila berlantai dua, ada pohon mangga cukup besar di belakang vila itu. Lokasinya agak jauh dari minimarket 24 jam, jadi keluarga kami biasa memesan bahan makanan dari toko kelontong. Mereka akan mengirimkan pesanan kami melalui kurir. Aku nggak yakin, tapi ... Aku pernah bertemu anak itu. Dia sering mengantar bahan makanan untuk keluarga kami, jadi kalau nggak keberatan, aku mau Kakak membantuku," tutur Ava. Dia menunduk saat melanjutkan. "Aku mau pulang."

Ketika Ava mendongak, dia melihat jakun Navan bergerak-gerak. Dia tampak kesulitan menelan ludah.

"Anak itu yang kamu maksud?"

"Hannah. Dia yang ada di foto itu. Apa Kak Navan mau anter aku pulang? Aku takut."

Kesunyian semakin pekat melingkupi ruangan itu.

"Ah, Kakak nggak bisa, ya. Nggak apa-apa, aku akan pulang sendiri." Ava meminum air putih untuk menetralkan perasaannya. Begitu banyak hal berkecamuk dalam dadanya.

Tentang mimpi yang terulang setiap malam, itu pasti bukan bunga tidur biasa. Bisa jadi alam bawah sadar Ava memberi peringatan akan sesuatu yang dia lupakan selama ini.

Ava pergi dari Kota Perwira ke Mangkelang pada bulan Juni. Madam dan suaminya marah besar saat mengetahui remaja empat belas tahun pergi sendirian ke luar kota. Hal itu juga yang pada akhirnya mereka membuat keputusan menghabiskan libur semester ganjil di vila Mangkelang. Tentu saja bukan untuk mencari jejak peninggalan kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya bertahun-tahun yang lalu seperti tujuan Ava sebelumnya.

Vila itu memiliki pemandangan yang indah. Dari balkon rumah di bagian belakang, mereka bisa melihat deretan bukit. Jika berjalan-jalan di sekitaran vila, sejauh mata memandang akan disuguhkan panorama hijau yang menyegarkan. Hal itu sangat memanjakan mata saat liburan. Liburan di vila peninggalan ayah menjadi satu kegiatan yang menyeimbangkan setelah berkutat dengan hiruk-pikuknya kehidupan di kota.

Kota Perwira memang tidak sebesar kota lain di Indonesia, tetapi fasilitasnya tak kalah baik. Di sana pun mulai kesulitan menemukan lokasi sehijau dan sealami Mangkelang. Ava suka tempat ini. Dia Tak peduli apa pun tujuan madam dan bapak saat datang ke sini, Ava merasa punya kesempatan sekali lagi. Maka di sela-sela waktunya, dia menyelinap keluar untuk berjalan-jalan menyusuri jejak-jejak masa lalu. Dia selalu berhenti di sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir sungai dengan arus yang kencang. Puluhan meter dari lokasinya berdiri dia akan melihat tikungan tajam yang di sebelahnya merupakan jurang yang terjal. Kata media, ayah kecelakaan di tempat itu.

Ava tak pernah menduga hal ini–musibah–akan terjadi. Nyawanya hampir melayang di tempat yang sama dengan lokasi yang menjadi tempat kematian ayahnya. Setidaknya, kini Ava tidak bingung lagi dengan lubang waktu yang terasa hilang itu. Meskipun, ya ... dia masih belum menemukan alasan kenapa dan bagaimana prosesnya sampai dirinya jatuh di tebing Mangkelang yang curam dan tak sadarkan diri seminggu lamanya.

"Aku nggak mungkin biarin kamu pulang sendiri. Besok, aku akan ke toko kelontong itu mencari informasi, kita akan pulang kalo udah ada info yang valid, oke?"

Ava mengangguk dan berkata, "Trims."

"Tapi, kamu yakin ... gadis di foto itu yang sering mengantar pesanannya? Kalau iya, aku tahu toko kelontong yang kamu maksud."

"Aku nggak akan lupa. Dia sangat ramah. Aku berpapasan saat dia izin mau ke kamar mandi. Aku nggak terlalu memperhatikan, tapi dia selalu mengepang rambutnya, jadi aku nggak bisa lupa."

"Iya, nggak salah lagi dia Hannahku."

***

Berkah Sempoerna merupakan toko kelontong terbesar di Mangkelang. Satu-satunya toko yang menyediakan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan. Berkah Sempoerna juga mengikuti perkembangan zaman, meski tidak memakai aplikasi, toko kelontong itu sudah menerapkan Cash on Delivery. Pembeli akan memesan melalui telepon, pihak toko akan mengirim pada jam tertentu. Menurut informasi, tidak banyak vila yang menggunakan fasilitas COD dari toko kelontong Berkah Sempoerna. Banyak dari pelanggan setia yang didominasi penduduk lokal lebih memilih datang langsung daripada menunggu di rumah, tetapi harus mengantre lama karena pengiriman hanya dilakukan dua kali dalam sehari.

Ada dua vila yang biasa memesan bahan makanan atau keperluan lainnya melalui COD. Menurut keterangan Ava, vila pertama bukan tempat yang dia tinggali. Mereka pun pergi ke alamat lain yang hanya berjarak dua puluh menit jalan kaki.

Mereka sampai di depan gerbang yang terkunci. Waktu melintasi gerbang belakang, mereka menemukan pohon mangga sesuai penggambaran Ava. Seharusnya ada seorang penjaga yang merawat rumah ini. Pria berusia lima puluh tahunan akan datang setiap hari merawat kebun belakang dan akan datang dua sampai tiga kali seminggu untuk membersihkan rumah saat rumah sedang tidak ditempati.

"Apa mereka lagi pergi ke suatu tempat?" Navan tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

"Mereka nggak akan membiarkan rumah dalam keadaan kosong."

"Apa mereka pulang ke Kota Perwira?"

"Mungkin."

"Tanpa mengajakmu? Itu aneh sekali."

Ava mendahului Navan, dia berjalan dengan lesu. Keluarga yang aneh, memang tak menyadari kurangnya salah satu personelnya? Meskipun begitu mereka tetap pulang tanpa Ava! Apa yang harus Ava katakan? Dia tak mungkin menceritakan tentang mimpinya yang kemungkinan besar adalah penggalan ingatan dari kenyataan yang sebenarnya. Jika itu benar, Ava tidak yakin Navan dan keluarga yang sudah merawatnya penuh cinta akan menerimanya lagi. Mereka semua pasti akan membenci Ava.

"Nggak apa-apa. Aku akan mengantarmu ke Kota Perwira. Apa kamu keberatan menunggu sampai minggu depan?"

Ava tampak berpikir.

"Aku harus membereskan sesuatu lebih dulu di sini."

Ava tak punya pilihan.

✨✨✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top