Detak 5: Don't Touch It
Ava menghabiskan waktu dengan membaca novel di balkon sambil mendengarkan musik melalui earbuds. Kegiatan itu sangat menyenangkan dilakukan sore hari. Suasana pegunungan yang sejuk, aroma hutan yang tertiup angin, tak ada sore sesempurna itu. Bunga gayong di belakang rumah berguguran. Daunnya bergerak-gerak seperti ada sesuatu mengendap-endap di antara batang-batangnya. Rasa penasaran membawa Ava yang berdiri di balkon bergegas turun. Mungkin, kucing liar atau kambing tetangga lepas dan menerobos halaman vila melalui pintu belakang, kemudian merusak tanaman di sana. Madam akan marah besar, jika bunga Anggrek kesayangannya porak-poranda.
Madam bukan panggilan karena dia seorang germo, melainkan karena perubahan sikapnya setelah menikah dengan Nababan delapan tahun silam. Dari ibu rumah tangga tulen menjadi wanita kantoran yang supersibuk. Gaya hidup pun melejit, ibu mulai membeli barang-barang mahal walau KW, dia mulai tidak suka dipanggil ibu, harus dipanggil Mami. Mulai saat itu, setiap kali membicarakan ibu secara diam-diam, Ava dan Afifa akan memanggil ibu mereka Madam. Ava harus memastikan tanaman anggrek madam tidak akan tersentuh hewan apa pun yang menerobos masuk itu.
Sore yang teduh berubah kelabu, gerimis tiba-tiba turun. Kabut tipis mulai menghalangi pandangan. Dia menajamkan indra pendengarannya mencari-cari bunyi suara kambing di antara bunyi hujan dan gemerisik dedaunan yang saling bersinggungan. Tidak terlihat adanya ekor, tai kambing yang biasa tercecer juga tidak ada. Hanya ada pemandangan yang tak seharusnya. Gundukan tanah merah membuat Ava memicingkan mata, dia mendekat sepelan mungkin. Seseorang sedang menggali lelaki itu memakai kaos biru dongker dan celana sepanjang lutut. Ava berdebar kencang.
"Bapak," panggil Ava dengan suara bergetar.
Lelaki itu menoleh, wajahnya mengeras. Bola matanya yang merah seakan mau keluar. Ava melirik ke gundukan tanah dia terkejut Nababan berkata dengan tiba-tiba, "Aku sedang mengubur bangkai-bangkai tikus yang kutangkap dengan racun semalam. Ada cukup banyak, jadi ... masuklah, buatkan aku kopi."
Ava mengangguk, meski tak bersuara, dia menuju ke dapur. Namun, sebuah sandal kiri tergeletak di parit. Seseorang pasti terjatuh karena posisinya ada di celah penutup selokan. Sandal perempuan seukuran dirinya. Ava menoleh ke arah bapak tirinya yang sedang melanjutkan pekerjaan itu. Celananya sudah kotor terkena cipratan tanah, gundukkan tanah itu tampaknya terlalu besar untuk ukuran beberapa ekor tikus.
"Afifa," panggil Ava setelah menyajikan kopi. Rasa khawatir seakan mencubit hatinya. Apalagi setelah dipanggil berulang kali tak ada sahutan sama sekali. Jantungnya berdentum kencang sekarang. "Afifa ...."
Ava berusaha menghubunginya, saudara kembarnya tak terlihat di mana pun. Dering ponsel terdengar menggema di sekitarnya! Rasa panik yang muncul terlalu familier. Setiap malam, rekaan kejadian itu seperti diputar ulang. Aroma tanah yang terkena gerimis, aroma kopi, bahkan bunyi air hujan membuat kepala Ava sakit. Dia beringsut ketika mimpi itu terus menghantuinya sepanjang malam. Di lain waktu, dia akan mendengar langkah kaki yang tergesa-gesa mengejarnya. Di mana pun Ava sembunyi sekelompok orang itu selalu menemukannya. Entah untuk alasan apa orang-orang berbadan besar itu terus mengejar dan berusaha menangkapnya. Bahkan di dalam mimpi.
"Afifa ... Afifa. Seharusnya aku lari lebih cepat dan mencari bantuan," bisiknya dalam mata yang masih terpejam. Air mata meleleh di antara bulu mata yang terkatup. "Tapi aku nggak nemu bantuan."
Isaknya semakin nyata, badannya menegang memeluk lengannya sendiri. Seakan dengan bersikap seperti itu, dia bisa melindungi diri sendiri dari rasa takut yang menguntitnya tanpa ampun belakangan ini.
"Ava," panggil Navan. Dia mengusap lengan dan mengguncangnya pelan. "Bangun, Va."
"Afifa ...."
"Ava? Kamu baik-baik saja? Buka matamu, Ava."
"Afifa!" teriak Ava. Peluh membanjiri wajah dan lengannya. Matanya bergerak tak beraturan. Napasnya pendek-pendek seolah-olah dia baru menyelesaikan sprint seratus meter empat putaran penuh.
"Nggak apa-apa, Ava." Navan mengusap punggung Ava dan berkata, "Kamu aman. Mau minum?"
Navan menunggu tiga detik, dia beranjak setelahnya tanpa menunggu reaksi Ava. Dalam sekejap dia menyajikan cokelat hangat. Ava pun tak menolak, lehernya teramat kering seperti berhari-hari tak tersentuh air.
"Gimana perasaanmu, udah lebih baik?"
Ava mengangguk, dia terlihat bingung. Apalagi wajahnya basah kuyup perpaduan keringat dan air mata. Navan tersenyum saat tatapan mereka terpaut.
"Nggak apa-apa, Ava boleh nangis. Ava bisa cerita sama Kakak. Ava mimpi buruk?"
Ava menangis lagi, memeluk dirinya sendiri. Dia menggerakkan tangan kiri yang diperban dan mengamatinya. Navan menggenggam tangan Ava. Menatap matanya, mencoba membangun kepercayaan dalam keheningan itu. Seseorang akan sulit mengutarakan isi hati kepada orang asing yang baru hadir dalam hidupnya. Navan tahu itu. Namun, dia tak menyerah sama sekali. Dia sudah kehilangan sang adik. Navan tak mau kehilangan gadis ini.
"Jangan pernah berpikir melakukan hal itu lagi, Ava. Menyakiti diri sendiri hanya akan membuat orang-orang yang menyayangimu terluka. Afifa pasti nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa."
Ava menggeleng, tetapi tangisnya kembali pecah.
"Sori, aku nggak bermaksud ... aku janji akan membantumu. Kita akan menemukan keluargamu. Oke? Ava mengerti?"
Seperti itulah komunikasi yang terjalin antara Navan dan Ava sangat timpang. Ava lebih banyak diam, hanya sesekali pancaran sorot mata terbaca jelas. Selebihnya, di kamar seluas enam belas meter persegi itu, Navan bermonolog. Kadang dia bercerita tentang ibunya, tentang impiannya yang bekerja sebagai psikolog profesional, sesekali juga menceritakan Hannah adik kandungnya yang hilang.
"Aku punya sesuatu untukmu."
Navan mengambil sebuah buku bersampul hitam, dia menyerahkan sambil berkata, "Menceritakan sesuatu kepada orang asing memang butuh effort. Aku udah berusaha masuk dalam hidupmu, tapi kamu agak sulit tersentuh. Mungkin aku terlalu terburu-buru ingin tahu segala hal tentang dirimu." Navan mengambil jeda. "Kamu nggak usah khawatir, aku nggak akan maksa."
Navan melihat buku di tangannya, Ava hanya melihat tanpa berniat mengambilnya.
"Ambil ini dan tulislah apa pun yang kamu pikirkan tanpa perlu merasa takut. Aku nggak akan berengsek dengan membaca tanpa seizinmu," jelasnya sambil tersenyum. "Begini, Ava. Stigmud Freud pernah berkata, emosi yang tidak terekspresikan tidak akan pernah mati. Mereka dikubur hidup-hidup dan akan tampil nanti dengan cara yang lebih buruk."
Navan melihat Ava meraba sampulnya, kupu-kupu embos berwarna emas tampaknya memikatnya.
"Trims."
Navan keluar ruangan dengan suasana hati yang menghangat.
"Apa ini akan membantuku mengingat segalanya?" Ava bergumam setelah kepergian Navan. Dia membuka buku tebal itu, di dalamnya terdapat beberapa stiker lucu yang membuat Ava tersenyum. Saat Ava mendongak, Navan belum pergi. Dia masih berdiri di ambang pintu mengamati senyum Ava. Tatapan mereka terpaut beberapa detik. Ava kembali sibuk dengan buku kosong di depannya, sangat polos.
Kata Navan, selain menulis, Ava bisa menggambar sesuatu. Itulah alasan dia memilih buku polos daripada bergaris. Warna hitam menginterpretasikan keadaan yang sedang dilalui saat ini, saat membukanya, kertas kosong itu tergantung kita mengisinya seperti apa. Apa akan dihiasi dengan stiker penuh warna yang melambangkan kebahagiaan atau sebaliknya. Hitam putihnya hidup kita yang memilih.
Ava belum tahu apa yang akan dia lakukan dengan buku itu, yang jelas dia membutuhkan pena dan Navan tidak memberikannya. Untuk pertama kalinya Ava benar-benar memindai kamar itu. Kamar yang terbuat dari kayu sangat manis. Cocok sekali ditempati seorang gadis remaja.
Tak terlalu banyak boneka, sedikit barang-barang, dan buku-buku sekolah tersusun rapi di lemari.
Pasti ada pena, pikirnya. Sebuah buku menarik perhatiannya, saat dia akan membuka buku itu, suara lantang mengagetkannya.
"Jangan sentuh!"
Ava terperanjat, dia melempar buku itu dan selembar foto yang dipegang. Navan membentaknya ... Ava sama sekali tidak percaya. Sorot matanya sangat marah.
✨✨✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top