Detak 4: The Ghost in My Head

Kenapa nggak didorong aja sampai terjerembap, lalu ikat kakinya? Ava menggeleng, dia memejamkan mata dan mulai menghitung. Samar-samar dia mendengar seseorang tertawa. Awalnya hanya satu orang, kemudian tawa lain yang lebih keras menyusul. Semakin lama, tawa itu membentuk gelombang kelakar yang tak terputus. Jantung Ava pun berdebar tak beraturan. Napasnya mulai tersengal. Mereka menertawakan siapa? pikirnya. Menertawakan aku? Hentikan kumohon hentikan ....

Matanya yang terpejam semakin erat membuat sepasang alisnya berkerut dalam. Bibir kering kerontang itu sudah tergigit sampai mengeluarkan rasa asin. Dia mengerut, menekuk tubuh menjadi sangat kecil, memeluk dirinya sendiri. Rasanya, dia ingin menghilang saja. Gerakan maju mundur tak juga berhenti, justru ritmenya semakin cepat saat kedua tangan menutup telinga rapat-rapat. Dia tak akan membiarkan suara sialan itu menembus gendang telinga dan mengusik ketenangannya lagi.

Pengecut. Gitu aja masa takut. Ava pengecut ... Ava pengecut.

"Diam," gumam Ava tanpa membuka matanya. Dia sudah menangis. Badannya masih bergerak-gerak maju mundur.

Afifa keren, deh. Kok, bisa ya, punya kembaran pengecut dan pecundang kayak Ava.

"Hentikan." Ava memohon penuh harap.

Ava pecundang, Ava pecundang.

"Tidak!" Ava pun menjerit. "Tidak, tidak, hentikan. Kumohon ...."

"Buka matamu, Ava," pinta seseorang yang baru saja menghampirinya.

Sentuhan di pundak yang terlalu tiba-tiba seakan menyengat tanpa belas kasih. Refleks, Ava menepis tangan itu seraya berteriak, "Nggak!"

Ava terperanjat, dia tak berniat menepis sekeras itu. Namun, wanita itu sudah terhuyung dan nampan di tangannya terjatuh. Sesaat dia membeku mengamati mangkuk berisi bubur mendarat di meja. Keributan tak terelakkan karena gelas, sendok, dan piring buah ikut berjatuhan. Tidak ada barang yang pecah, tetapi wajah wanita yang berkeriput itu sudah memerah dan siap menyemburkan amarahnya. Tentu saja ledakan amarah itu tidak akan terdengar karena tak selang berapa lama, Navan masuk ke ruang tamu dengan napas tersendat-sendat.

"Ada apa, Bu?" Mata sehitam jelaga itu memindai ruangan dengan cepat. Dia bergegas mendekati Ava dan memegangi kedua pundaknya. "Kamu nggak apa-apa?"

"Lihat saja kelakuannya." Ibu menggerutu.

"Oh, maaf untuk itu, Bu. Navan akan membereskannya," jawabnya tanpa menoleh ke arah ibu.

"Apa ada yang terluka? Ada yang sakit?"

Ibu meninggalkan ruangan dengan kesal.

"Tetap di sana, lantainya licin. Aku akan membersihkannya."

Dalam sekejap, Navan kembali dengan perkakas kebersihan di tangannya. Dengan cekatan, dia membersihkan bubur yang tercecer di meja meleber ke lantai. Dia mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu sampai tempat itu benar-benar bersih. Bahkan tak ada bau yang tersisa. Sentuhan terakhir, Navan mengelap meja dan lantai dengan tambahan pewangi. Terdengar air dari perasan kain pel. Sesekali Navan melirik ke arah Ava yang sudah melamun lagi. Wajah Ava tampak sangat kusam, sembap, dan basah oleh air mata. Pandangannya tidak fokus, tatapan itu sangat jauh dan kosong menembus jendela kaca yang berembun. Sudah berhari-hari hujan belum juga berhenti. Sudah berhari-hari juga, Ava hanya duduk diam membatu di kursi itu. Seakan jiwanya terserap oleh sesuatu entah apa itu.

Bukan ini yang Navan inginkan. Semakin hari keadaan Ava tak ada perkembangan yang berarti. Tak ada informasi yang dia dapatkan, Ava belum bisa diajak bekerja sama. Ingatannya tak bisa diandalkan. Gadis itu kerap kali meminta pulang. Namun, ketika ditanya, dia tidak tahu alamat pastinya ada di mana. Setelah berkeliling sekitaran tebing Mangkelang, menyusuri sungai itu, dia bahkan keliling ke desa sekitar, tidak ada yang tahu tentang Ava. Keterbatasan informasi membuat Navan kesulitan membantu lebih jauh. Namun, Ava sudah bertekad. Dia tidak akan menyerah begitu saja! Dia hidup, tetapi mati. Navan mendesah pelan.

"Aku akan mengambilkan makanan yang baru," kata Navan. Dia beranjak dengan membawa serta semua peralatan kebersihan. Sesampainya di dapur, ibu menghentikan langkahnya. Navan merasa bingung.

"Mau sampai kapan, Nak?" Pagar kayu membuat suara tidak teredam dengan baik, Ava mungkin bisa mendengarnya meski samar-samar. Navan melihat Ava menunduk setelah menoleh ke arah dapur.

"Sssttt, Ibu. Kecilkan suaramu," pinta Navan sembari memeluk ibunya.

Ibu melerai pelukan itu.

"Biarin aja dia dengar! Biar dia tahu, ada hal lain yang perlu kamu urus. Kamu harus mulai memikirkan pendidikanmu, Navan."

"Ibu tenang aja, ya. Navan nggak akan mengabaikan kuliah. Navan janji."

"Navan, dia nggak ada harapan. Kita sudah menunggu, kamu sudah mencoba membantunya. Ibu khawatir karena kamu fokus mengurus cewek itu jadi lalai sama S2 kamu."

"Ibu, Navan akan lulus dengan nilai yang baik dan mendapat pekerjaan impian Navan. Ibu nggak usah khawatir, kehadiran Ava sama sekali nggak menghambat Navan. Ibu lihat," kata Navan sambil menunjuk ke arah Ava. "Bukankah Ava sangat mirip sama Hannah?"

Navan tersenyum tipis melihat ibu membeku, tetapi dia memperhatikan.

"Dia mengalami kejadian yang tak biasa dan mengguncang jiwanya, Bu. Bagaimana kalau hal itu menimpa Hannah kita?"

"Jangan ngomong kayak gitu," jawab ibu dengan jengkel. Dia meninggalkan Navan dan mulai mencuci piring. Gelas dan piring bertumbukan lebih keras menimbulkan dentang-dentang yang tidak natural. Ibu marah! Navan mendekapnya dari belakang.

"Ibu, maaf."

"Navan, lepasin ibu."

"Ibu jangan marah, Navan sayang ibu."

"Kalau sayang ibu, Navan harusnya nurut sama ibu."

"Ibu nggak keberatan, kan, Navan merawatnya."

"Navan ...." Wanita itu berbalik. Namun, perkataannya terhenti. "Hanya jika pendidikanmu nggak akan terganggu."

Navan memeluk ibunya dengan sangat erat, menjatuhkan kepala di punggung ibunya sambil berbisik, "Terima kasih, Ibu. Navan janji."

"Navan, lepasin ibu. Berhentilah bersikap seperti anak kecil," katanya sambil cemberut. Namun, tak lama setelah Navan melepas pelukannya, dia mendekap sang ibu lebih erat lagi.

"Navan sayang Ibu."

Navan bisa merasakan ibu tersenyum. "Urus dia dengan baik, beri makan dengan benar."

"Siap, Bu." Navan memberi sikap hormat tentara membuat sang ibu menggeleng heran.

***

Navan menyiapkan makanan dengan senyum mengambang di wajahnya. Apalagi ibunya berkata, "Bantu dia sampai sembuh."

Tentu saja Navan sangat senang. Akhirnya ibu yang beberapa hari terakhir kurang suka dengan keberadaan dan sikap Ava kini mulai melunak. Ibu mulai sering memeringati anak laki-lakinya memberi makan anak itu, menyiapkan baju Hannah untuk dipakai Ava. Meski masih gengsi memberikannya sendiri. Navan tahu, kehadiran Ava mengisi satu titik kosong yang seharusnya digenapi oleh Hannah di hati ibunya. Belakangan bahkan sang ibu kerap kali ketahuan tengah mengamati Ava diam-diam saat gadis itu tengah duduk di serambi selagi menulis. 

Navan mendesah, sang adik tak juga kembali sejak hari itu. Dia sudah berkali-kali mencari ke toko kelontong tempat Hannah bekerja paruh waktu, tetap saja mereka bilang Hannah tidak pernah datang beberapa hari terakhir sebelum dia dinyatakan hilang. Seandainya, Navan tak terlalu keras kepadanya semua ini tidak akan terjadi. Navan tak bisa melupakan bagaimana dia memperlakukan Hannah, adik perempuannya.

Gejolak darah muda yang memenuhi dada Hannah pasti membuat remaja yang usianya baru enam belas tahun mulai mencoba hal baru. Berdandan, pergi ke luar rumah, sampai suatu ketika Navan marah besar saat Hannah pulang malam. Jika Navan bisa mengendalikan diri dan tidak berlebihan dalam memarahinya, Hannah pasti masih ada di rumah ini menebar tawa dan keceriaan. Navan menghela napas panjang.

Navan merasa heran, saat dirinya keluar, Ava sudah tidak ada di kursinya.

"Ava?" panggilnya. Matanya jelalatan ke sana kemari. "Ava, kamu di kamar?"

Ketukan pintu sudah tiga kali terdengar, seperti biasa, Navan akan masuk saat tak mendapat respons. Dia merasakan kelegaan saat melihat Ava berbaring di kasur. Namun, saat mendekat, Navan dikejutkan adanya bercak darah pada selimut. Lingkaran itu semakin melebar, Navan menyibakkannya. Ava membuka mata, mungkin dia merasakan kehadiran seseorang.

"Astaga, Ava. Apa yang kamu lakukan." Navan mulai panik, dia membebat pergelangan tangan dengan kain yang dia temukan sebelum akhirnya berlari kalang kabut ke dapur mencari kotak pertolongan pertama. Dia bahkan seperti orang kesurupan saat mengobrak-abrik dapur mencari kotak P3K itu dan dia mengabaikan pertanyaan sang ibu. Setiap detik bagi Navan sangat berarti, dia tidak mau kehilangan lagi.

"Ava, buka matamu. Tetap sadar, Ava." Navan terus bermonolog. Dia mulai membalut tangan kiri Ava. Navan memejamkan mata sejenak setelah pendarahan berhenti. Dia sangat lega, Ava masih sadar sepenuhnya. Hanya saja, wajahnya sangat datar. Tak ada ekspresi apa pun di sana. "Ava, kamu baik-baik saja? Bagaimana perasaanmu?" Ada jeda sebelum Navan melanjutkan. "Maaf, aku hanya khawatir. Take your time, Ava."

Navan menunduk dalam, ada gelombang perasaan aneh yang berputar dalam dirinya, lebih dari sekedar takut kehilangan, dia tahu itu. Terdengar sinting memang, gadis di depannya bahkan baru empat belas tahun. Dia bahkan sakit dan butuh pertolongan.

Navan ... bisa-bisanya otakmu berpikir seperti itu. Navan memperingatkan diri sendiri. Dia keluar ruangan setelah mengambil gunting yang terjatuh di lantai. Navan menduga gunting itulah yang dia pakai untuk menyayat nadinya.

Ketika Navan ada di ambang pintu, Ava berkata, "Ada suara di dalam kepalaku."

Navan terlihat berpikir sejenak sebelum merespons.

"Aku takut sendirian, Kak."

Suara itu nyaris tak terdengar, Navan kembali dan duduk di kursi belajar. "Aku akan tetap di sini."

✨✨✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top