Detak 3: Heart Wants it Wants
Setiap kali mengingat hari itu, Afifa akan terhuyung-huyung kemudian roboh. Tangis kembali pecah, kedua tangannya menyilang di depan dada seakan membentuk perlindungan yang menyedihkan. Desah letih yang menyesakkan mengguncang bahu ringkihnya. Tubuh itu gemetaran, kepanikan menyerangnya.
Ketukan pintu diiringi suara madam merebut seluruh perhatiannya.
"Afifa keluar, dong. Mami mau pergi. Nanti tolong angetin makan siang buat bapak, ya?"
Afifa tak menjawab.
"Afifa, Mami pergi sekarang, ya." Suara Madam seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Benar-benar menjengkelkan bukan?
Pintu pun terbuka dari dalam. Afifa ada di antara celah pintu dan gawangnya. Dia pun berkata, "Mami masih bisa pergi ke mana-mana saat salah satu anak Mami belum kembali?"
"Kamu ngomong apa, sih? Kita sudah berusaha. Yang bisa kita lakukan hanya menunggu."
"Usaha? Usaha seperti apa? Mami hanya melapor ke aparat desa! Mami nggak mencoba lapor polisi. Tujuh hari, Mi. Sudah tujuh hari Ava menghilang."
"Cukup, ya. Mami sudah terlambat. Jangan lupa angetin makanannya."
"Aku nggak mau!" Afifa menutup pintu dengan kekuatan penuh. Dia bersandar di sana. Tubuhnya kini merosot lemas. Dia menangis.
Di mana aja kamu, Va? Kenapa kamu pergi sendirian nggak ngajak aku! Kamu tahu, kalau kamu di sini pasti bisa menolongku dari Bapak. Tapi kamu pergi. Asal kamu tahu, rasanya sakit banget, Va.
Afifa terkulai ke lantai, badannya sangat lemas. Berhari-hari tak tersentuh nasi. Nafsu makannya menghilang sejak saudara kembarnya tak pernah pulang sejak hari itu. Hawa panas mulai memenuhi dadanya, perlahan menyebar ke kepala, juga merembet ke kaki. Afifa mengalami demam tinggi. Dia terpaksa dibawa pulang ke kota Perwira agar mendapat perawatan.
Hari itu, Nababan harus naik balkon kamar agar bisa mengeluarkan Afifa. Menurut keterangan medis, dia mengalami depresi. Nababan menjelaskan terkait hilangnya saudara kembar yang mungkin menjadi memicunya. Dokter pun memberi rujukan konsultasi psikiater untuk mendalami keadaan psikis Afifa saat ini. Sayangnya, Afifa tak menyambut baik keputusan itu.
"Asal kalian tahu, aku nggak gila!" katanya setiap kali ada yang menyinggung tentang psikiater ataupun psikolog. Afifa sulit sekali diajak kerjasama. Setiap pertemuan dia hanya diam saja. Hal itu mengundang kemarahan madam. Dia sudah tidak mau buang-buang uang untuk hal yang sia-sia. Sore itu madam membawa pulang Afifa dengan jengkel.
"Apa masalahmu? Ava belum kembali bukan salah mami, kan. Kenapa kamu marah sama semua orang? Marah sama mami, Marah sama bapak."
Afifa tak menanggapi pertanyaan madam. Dia sibuk dan tenggelam dalam dunianya sendiri. Kepalanya tak berhenti berpikir.
"Tahun ajaran baru segera dimulai. Mami mau kamu kembali ke sekolah. Apa kata kolega mami kalau mereka sampai tahu putri Mami malas belajar dan tidak bisa mempertahankan beasiswa atas prestasinya. Malu banget. Ngerti, kan? Pokoknya nggak ada tawar-menawar. Saat liburan berakhir kamu akan langsung pergi ke sekolah. Mengerti?"
Madam melirik Afifa yang memandangi jendela. Lalu lintas tak seramai biasanya. Namun, dia tetap melihat jalanan.
"Mau mampir membeli sesuatu?"
Afifa menggeleng. Dia ingin cepat sampai dan merebah. Belakangan, selain menangis, Afifa semakin malas melakukan apa pun. Dia bisa berhari-hari di tempat tidur tanpa melakukan apa pun. Hanya terlentang menatap langit-langit.
"Kamu tahu, kamu ini semakin merepotkan seperti Ava," lanjut madam.
Telapak tangan kanan Afifa terkepal erat. Dia ingin sekali memukul jendela. Begitu mobil berhenti, tanpa bicara sepatah kata pun Afifa menyelonong ke kamar dan mengunci pintu.
***
Afifa mendengar langkah kaki keluar dan pintu depan terbuka lebar. Dia melongok dari tangga, Nababan berdiri di ambang pintu sedang mengangkat telepon. Pria itu merapikan kerah kemeja menutupi tato mawar. Dia tampak serius dan memindai seisi ruangan sebelum benar-benar pergi.
Afifa memandangi ruangan luas yang berisi katak-katak dalam kotak kaca bersekat. Dia bergerak ke ruangan itu membagikan lalat beku, cacing, juga membersihkan tempat tinggal mereka seraya berkata, "Setelah ini, siapa yang akan merawat kalian?"
Dia berjalan tanpa gairah menyusuri rumah, dia berharap bisa berpikir jernih. Namun, setiap sudut ruangan itu menampilkan Ava. Setiap kali bayangannya muncul, dalam dadanya seakan tertikam. Rasa nyeri menggerogotinya. Seandainya dia tidak pergi ... setidaknya Afifa tidak perlu menghadapi semua ini seorang diri.
Ruangan yang luas itu seakan menyempit, mengimpit, dan meremukkan dirinya sehingga dia tak bisa berdiri lagi. Bahkan saat dia sudah menyusutkan badan dengan jongkok dan memeluk lutut, tekanan itu terasa sangat nyata dan dia tidak kuat lagi.
Tidak ada yang diperjuangkan, jika semua berujung pada kematian, mengapa harus menanggung hidup menyakitkan lebih lama?
Semua terasa gelap, jika ada secercah cahaya ... sinar itu datangnya dari jendela memantul ke deretan botol-botol kaca. Benda itu terkunci rapi di lemari mungil yang dipesan khusus untuk menyimpan ekstrak racun poison.
💫💫💫
10.8.23
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top