Detak 24: Wish Me Death
23 Februari 2022
Malam berjalan bergitu lambat, dia masih belum bisa tidur. Pikirannya teramat sibuk. Otaknya terpaksa bergelut dengan berbagai kemungkinan. Tentang Navan yang berdarah-darah, tentang dirinya yang menjadi buronan, bahkan sekarang Reinier kembali ikut campur. Sudah berkali-kali dia bilang agar cowok itu jangan pernah membantunya dalam keadaan apa pun!
Tidakkah cowok itu ingat kalau bantuan-bantuannya kerap kali berujung masalah? Terlepas dari semua itu, Ava tak ingin siapa pun terlibat dengannya lagi. Cowok itu tak perlu terlibat lebih jauh lagi. Ava sudah membuat orang-orang yang dia sayangi dalam bahaya. Reinier pun tidak boleh. Jika sekarang Ava buron, yang dia lakukan hanyalah pergi dari sini dan jangan sampai tertangkap.
Ava sudah membuka pintu kamar Reinier yang ternyata hanya indekos murahan. Pintunya terbuat dari triplek 32 mm. Ketika dibuka, Ava harus mengeluarkan tenaga ekstra belum lagi harus menahan agar pintunya tidak berderit atau menjeblak.
Ava tersentak, dia nyaris menjengit. Separuh badan Reinier bersandar pada daun pintu. Setengah badannya tertopang gawang pintu. Untung saja Reinier tidak terjengkang saat Ava menarik pintunya ke dalam. Gadis itu menutup kembali dengan hati-hati tanpa mengeluarkan suara. Dia mulai cemas tak mendapati jendela.
Ruangan 6m x 6m itu sangat tertutup. Satu-satunya ventilasi ada di atas pintu dilapisi jaring antinyamuk dari kawat. Dia tak mungkin keluar dari sana. Sekali pun bisa memanjat dan lubang ventilasi itu muat untuk tubuh kecilnya, dia akan jatuh dan mendarat persis di pangkuan Reinier. Keluar dari ventilasi udara adalah pemikiran yang bodoh.
Pikirkan cara lain, Ava. Dia sudah menggigiti ujung kuku jempolnya. Pasti ada jalan.
Ava kembali merebah, dia menarik napas pelan saat matanya dipejamkan, dia mencoba berpikir jernih. Nggak boleh self harm. Kamu baik-baik saja, Ava. Semua akan baik-baik saja. Pasti ada solusi. Tenang, Ava. Ayo, berpikir. Keberuntungan tidak datang dua kali, kali ini akan tertangkap dengan mudah.
Nggak, jangan sekarang. Ada hal yang harus diselesaikan.
Terdengar napas diembuskan. Pandangan mata yang sibuk menyusuri plafon flat sederhana itu berhenti di satu titik. Dempul di sudut timur tidak rapi ada retakan membentuk persegi mengikuti bentuk tepian gipsum. Sedangkan plamir di sekitarnya cukup rapi untuk ukuran indekos murahan. Ava tahu harus keluar melalui lubang itu. Ada satu potongan gipsum berukuran sekitar 75cm x 75cm yang tidak dipasang permanen. Mungkin sengaja didesain untuk antisipasi, jikalau membutuhkannya untuk memperbaiki saat ada kerusakan instalasi listrik.
Ava tak menemukan apa pun yang bisa dipakai untuk memanjat menjangkau satu-satunya jalan itu. Ruangan ini nyaris kosong. Hanya ada Ranjang, nakas kecil, dan lemari susun dari kain, Ava tak yakin bisa memakai benda-benda itu. Baru menggeser ranjangnya saja pasti akan membuat keributan. Ava turun dari ranjang dan mondar-mandir. Tatapannya terpaut pada sebuah kardus yang terbuka di kolong ranjang. Sebuah buku yang sangat dia kenali ada di tumpukan teratas. Dia tak mengerti kapan dan bagaimana benda itu ada di sini.
Ish, terkutuklah Rei yang nggak pernah membersihkan kolong kamar tidur dengan benar.
Bukan mencela, dirinya sendiri bukan tipe yang rapi dan teratur. Dia bahkan akan kesulitan menemukan kacamata yang ada di atas kepalanya. Namun, Reinier ... lihatlah, bawah ranjang tempat tidurnya.
Sarang laba-laba menggantung di pojokan ranjang, bola basket, tongkat kasti, menyebar tak beraturan. Kardus-kardus yang isinya menyembul berjejeran menempel tembok. Ava mengarahkan cahaya lampu dengan cermin yang dia temukan di nakas. Bias cahaya itu memantul ke kolong ranjang. Tepat di balik kardus-kardus itu ada sebuah solusi. Ava tak perlu berpikir panjang untuk masuk dan menggeser kardus-kardus itu. Di atas kardus yang tutup terbuka menarik perhatian Ava. Sebuah agenda bersampul hitam. buku itu mengusik rasa penasarannya, sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali dirinya menulis.
Ava kesulitan merangkak saking rendahnya kolong ranjang ini. Ava menggunakan siku untuk merayap mencapai sebuah pintu kecil berwarna hitam. Bentuknya persegi, ukurannya hanya bisa dilalui seekor anjing dan kucing peliharaan yang gemuk. Saat mencapai bagian kunci yang berkarat, dia mulai ragu. Badannya memang tidak terlalu besar, Ava tergolong kurus, tetapi untuk pintu seukuran ini ... Ava bahkan tidak tahu apa pintu itu masih berfungsi atau sudah mati. Bisa saja di balik pintu itu sebuah dinding beton yang akan menghancurkan usahanya dalam sekejap. Ava menahan napas, bau apak semakin pekat. Satu tangannya dia pakai menutup hidung agar tak menghirup debu dan terbatuk-batuk. Satu tangan yang terbebas membuka pintu yang terbuat dari tripeks dilapisi seng. Warna hitam yang melapisi seng membuatnya terlihat mencolok di sekitar dinding-dinding warna putih.
Ava tersenyum lega, pintunya terbuka walau tangan kanannya tergores tepian seng meninggalkan jejak merah di kulitnya. Dia menjulurkan kepalanya, di balik pintu itu ada sebuah dinding bata. Namun, jaraknya hanya sekitar setengah meter lebih sedikit membentuk sebuah lorong panjang yang sempit. Dia mundur sesaat meraih sebuah buku bersampul hitam di atas kardus. Buku yang sudah menarik perhatiannya sejak tadi. Insting Ava berkata dia harus mengambilnya.
Dengan susah payah mencoba berdiri. Tangannya menggapai tembok bata yang berlumut, lembap, dan basah. Dia mencengkeramnya. Kemudian Ava harus menempelkan punggungnya ke tembok yang tidak rata itu dan menggeserkan kakinya ke samping. Selangkah demi selangkah. Ya, Ava baru bisa bergerak dan berjalan miring. Beberapa tonjolan menyulitkannya, belum lagi kakinya yang telanjang menginjak pecahan genting, piring, dan kaca yang tersamar genangan air penuh jentik-jentik. Ava mendongak, langit dini hari tak terlihat. Atap-atap dari seng menghalanginya, di beberapa titik terhalang oleh jemuran di lantai atas. Ava menginjak sebuah bendrat dengan ukuran besar, dia pun memekik. Ava menggigit bibir bawahnya.
Lorong itu bahkan tidak memberinya cukup ruang untuk berjongkok. Kaki kirinya diangkat, lututnya sudah menempel di dinding. Dengan memejamkan mata dia meraba sesuatu yang diduga kawat beton ternyata paku berkarat. Ava tak bisa memilih jalan yang dia lewati dalam remang yang bisa dilakukan hanyalah berjalan secepatnya dan mencari jalan keluar. Setiap waktu sangatlah berharga.
Cahaya dari jalanan sudah terlihat Ava mempercepat langkahnya. Namun, saat dia hendak mencapai bibir gang, sesosok bayangan berkelebat di sekitar tempat itu. Mustahil polisi akan menemukannya secepat ini, Ava tidak bisa keluar dari tempat itu. Dia juga tak bisa mundur, banyak ranjau menghadangnya. Ava tak berbuat apa pun selain menunggu dan bersembunyi.
Di saat seperti ini dia sangat merasakan kehilangan. Orang-orang yang Ava sayangi tak akan membiarkannya sendirian. Kepala Ava dipenuhi bayangan Navan yang berdarah-darah dengan pisau bergerigi menancap di perutnya. Wajahnya pucat pasi, tatapan memohon itu membuat Ava trenyuh. Refleks, Ava menggenggam liontin, memejamkan mata, dan merapalkan doa-doa.
Jika bisa menukar nyawa demi lelaki itu, Ava tak akan berpikir dua kali. Dia sadar benar hidup di zaman apa. Di mana keajaiban hanya datang kepada orang-orang yang terpilih sedangkan Ava, tak ada alasan keajaiban akan datang padanya. Menukar nyawa merupakan hal mustahil.
Saat Ava membuka mata, dadanya terasa lebih hangat. Sebuah harapan tertancap kuat. Dia harus menemukan perampok itu. Dia tahu harus ke mana, tato bunga mawar itu petunjuknya. Dia yakin melihatnya dengan jelas saat sorot lampu kendaraan menerangi gang itu.
Dia tak boleh membuang waktu, tetapi dia juga tidak boleh gegabah. Ada hal yang harus dia pastikan.
Seandainya kemungkinan terburuknya adalah Ava dipenjara, setidaknya dia sudah memberikan keadilan untuk Navan dengan caranya. Namun, selama Reinier ada di depan gang sana, Ava tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus melakukan sesuatu.
Rasanya aku ingin mati saja saat ini.
"Aku tahu kamu keras kepala, tapi nggak nyangka akan seperti ini."
Ava terkesiap, dia tidak siap dengan kemunculan Reinier yang tiba-tiba walau sebenernya dia sudah menduganya.
"Sudah kubilang aku akan mengantarmu ke mana pun. Mau ketemu Navan? Ayo, aku antar. Mau ke TKP? Nggak masalah! Tapi kamu nggak boleh pergi sendirian, kamu buron sekarang. Buron, Afifa!"
"Afifa?" Ava terpincang-pinjang, dia kesulitan menyamakan langkah dengan Reinier.
"Apa yang kamu pikirkan Afifa? Kamu bisa memanipulasi orang lain juga dirimu sendiri, tapi aku nggak akan tertipu."
"Aku harus ketemu Navan, dia akan menjelaskan segalanya."
"Iya kalau Navan masih hidup!"
"Apa maksudmu?!" Dia menjauh selangkah. Kemudian menjauh selangkah lagi saat Reinier mendekat.
"Afifa, aku ...."
"Apa? Apa maksudmu, Rei? Navan baik-baik saja, kan? Dia masih hidup, kan?"
"Afifa, sebenarnya ...."
"Hanya ada Ava, Afifa sudah mati. Kamu lihat ini, ambigram Ava. Kamu pikir apa? Ava Putra Nababan bukan Afifa."
Reinier menarik Ava ke dalam pelukannya. Dia tak berkata apa pun membiarkannya menangis di sana.
"Ikut aku," bisik Reinier.
"Kamu mau menyerahkanku ke polisi?"
"Aku akan mengantarmu menemui kakakku!"
Ava menjatuhkan buku bersampul hitam itu. Reinier memungutnya dan bertanya, "Kamu membacanya?" Tak ada jawaban, Reinier menariknya dan berkata, "Kamu boleh membacanya."
"Buku ini milikku, aku nggak butuh izinmu untuk membaca bukuku sendiri. Lagian kenapa buku ini ada sama kamu?"
Reinier hanya tersenyum samar.
"Kita nggak punya banyak waktu, seharusnya Navan masih di ruang operasi. Aku tahu Navan sangat berarti bagimu karena itu aku nggak mau menyembunyikan apa pun. Melihat keadaannya, kemungkinan selamat sangat kecil."
"Aku bersumpah rela menukar nyawaku untuk menyelamatkannya, Rei."
"Aku tahu, tapi itu nggak perlu. Kamu hanya perlu menjalani terapi lagi, hanya itu yang diharapkan Navan agar kehidupanmu lebih baik." Ava tak merespons. "Ava, dengarkan aku. Aku pernah ada dalam posisimu, Navan memberikanku pertolongan dan sekarang aku merasa hidup lebih baik."
"Kamu tahu, Rei, obatnya sangat banyak aku nggak suka obatnya." Reinier berhenti dan berkata sambil menangkup wajah itu.
"Aku juga."
"Mungkin Navan pernah mengatakan ini kepadamu, Va. Jika rasa sakit membuatmu tetap hidup, hiduplah dengan rasa sakit itu. Namun, semua itu pilihan. Kita yang menentukan tetap hidup bersama rasa sakit itu atau memilih berdamai dengannya, menerimanya menjadi bagian dari diri kita, dan kita dengan ikhlas berjanji akan melanjutkan hidup dengan lebih baik. Kamu bisa memilih jalanmu sendiri, ke arah mana kamu akan melanjutkannya, jika lelah, istirahat. Jangan pernah sekali-kali berpikir untuk berhenti selamanya dengan memiliki keinginan untuk mati bunuh diri. Itu pesan Navan yang nggak akan pernah aku lupakan."
"Aku juga, Rei."
Gerimis turun berubah menjadi hujan lebat. Angin pun berembus membekukan.
"Rei, aku akan kembali. Tunggu aku di tempat Kak Navan. Aku janji akan datang, ada yang harus kupastikan."
Air berkecipak saat dia berlari menembus hujan. Dia bisa mendengar Reinier memanggilnya di tengah hujan. Namun, Ava tak bisa membuang lebih banyak waktu lagi.
Perampok itu terluka di area jakunnya, sulit sekali mencari alasan logis yang tidak mencurigakan. Bodoh sekali jika pria itu akan ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat. Keanehan yang terjadi padanya pasti akan dihubungkan dengan kasus kejahatan yang terjadi di sekitaran NooN. Ava tak mengurangi kecepatannya sedikit pun, dia berlari berkilo-kilo meter jauhnya. Lewat balkon belakang, dia mengambil sebuah tangga.
Tangga itu tak cukup tinggi untuk mencapai balkon itu, tetapi cukup bagi Ava untuk mendapat pijakan pada kanopi jendela di ruang sebelah. Tangannya yang licin mempersulit saat menggapai balustrade. Dia berhasil mendarat, tetapi jendelanya tertutup rapat. Dia tak menyangka bagian pintu pun sudah dipasang terali besi. Sekali pun bisa membuka pintu yang tidak presisi, Ava tak bisa membobol terali besinya.
Ava mondar-mandir, matanya terus mengawasi. Di luar sana, hujan mulai reda. Sayangnya tak ada yang bisa Ava lakukan selain menunggu Nababan naik ke atas. Dan kemungkinannya sangat kecil.
"Bukannya katak itu mati sudah lama? Sialan!"
Bunyi kaca pecah membuat Ava terkesiap. Dia menyeringai, saat Nababan mengerang, darah pada jakunnya semakin banyak menembus perban yang melilit lehernya. Pria itu berkilat marah saat melihat bayangan di pintu kaca. Dia membukakan pintu, menarik baju Ava yang basah. Tak ada perlawanan. Hanya seringai yang tak kunjung padam.
"Dasar sakit! Kamu mengoles racun pada benda itu?"
Serengit muncul lagi di wajah Ava yang basah kuyup. "Betul, tepatnya Golden Poison Frog. Katak yang Bapak hadiahkan saat usiaku sebelas tahun, benar? Aku belajar keras untuk mengekstraknya dan berharap bisa menggunakannya. sayangnya racun poison hasil peternakan tidak sekuat mereka yang berasal dari habitat aslinya, tapi ya ... tetap belum ada yang menemukan penawarnya. Selemah-lemahnya racun itu akan tetap membunuhmu, Pak."
"Bagaimana mungkin?"
"Kenapa tidak? Aku sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Bapak memperlakukanku seperti Bapak memperlakukan Madam! Bapak mencabuliku saat aku baru empat belas tahun."
"Dasar sakit!"
"Bapak yang sakit!" bentaknya. "Bapak lupa, aku selalu ada di sana?"
"Nggak, nggak mungkin!" Pria itu mundur terhuyung-huyung. "Bapak nggak akan lupa telah memberi ambigram di tengkukku, aku membuatnya menjadi permanen, Pak. Aku ingin ingat alasanku tetap hidup." Ava merapikan pakaiannya, dia bergerak mendekati bapak tirinya.
"Afifa sudah mati! Dia gantung diri ...."
"Bapak yakin?"
"Tidak, jangan!"
"Bapak membunuh saudariku bukan?"
Lelaki itu menggeleng hebat.
"Ini kebaikan terakhir yang bisa kuberikan kepada Bapak."
"Tidak, tolong hentikan–"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top