Detak 22: Kill or Be Killed

Untuk sesaat, Ava seperti mengalami kebutaan, tetapi dengan cepat dia menyesuaikan diri. Diedarkan pandangannya ke gang sempit yang memiliki lorong panjang. Tangan kokoh Navan sudah di pundaknya, meremas dengan mantap dan mendorong pelan ke tembok. Ava bisa merasakan bagaimana tekstur tembok yang kasar itu bersinggungan dengan punggungnya. Tatapan Navan sangat mendamba, Ava memindai sekitar. Dia tak yakin tempat ini aman, pasti akan ada yang melihat perbuatan mereka. Jika lagi apes, tak menutup kemungkinan akan ada yang mengabadikan momen itu dengan kamera ponselnya. Tersebar, kemudian viral, tidak.

Tidak. Tidak. Tidak.

"Nggak apa-apa," kata Navan. Lelaki itu kembali mencium Ava.

Gadis itu diam saja awalnya, tetapi perlahan, hasrat itu tumbuh seiring lenyapnya rasa takut. Hanya ada rasa nyaman yang membuat keduanya seakan siap terbang bersama.

"Balik badanmu," perintah seseorang.

"Apa?" kata Ava tak mengerti, Navan bahkan masih menciumnya.

"Bukan kamu Ava, tapi aku."

Ava tahu, saat Navan berbalik, ada orang lain yang menodongkan senjata. Namun, Ava tak bisa melihat dengan jelas. Navan berdiri menghalangi pandangannya. Dia seakan menjadi tameng yang tak akan membiarkan sesuatu melukai Ava. Sorot lampu dari kendaraan yang melintas memantul ke benda tajam berkilat menempel di leher Navan. Ava memekik, dia nyaris berteriak, tetapi suaranya kembali tertelan. Ava membelalak, senjata itu sebuah pisau bergerigi yang sudah menempel pada leher Navan. Darah yang pekat mengalir perlahan.

"Kakak," bisik Ava.

"Ava, jangan teriak. Berikan tas dan liontinmu," perintah Navan nyaris berbisik, wajahnya masih tak menyiratkan sakit walau pisau sudah menggores kulitnya.

"Percaya padaku." Ava menggenggam liontin dengan sangat erat. Navan baru saja menyematkan benda itu pada lehernya. Benda itu miliknya yang sangat berharga, dia tidak bisa memberikannya kepada orang lain begitu saja. Ava pun menangis tanpa suara. "Nggak apa-apa, Ava. Itu hanya sebuah benda."

Navan menangkap kecemasan Ava. Gadis itu menyerahkan tas selempang dan liontin dengan gemetar. Benda itu disambar dengan cepat, isinya diperiksa dan pria itu mengangguk-angguk. Pria berkostum serba hitam itu melongok mencoba melihat Ava kemudian menyeringai. Navan mundur secepat kilat. Punggungnya menyentak wajah Ava hingga gadis itu terbentur ke dinding dengan keras. Kepalanya terasa berputar, hidungnya ngilu sekali. Dia mimisan.

"Dompet dan laptopku ada di mobil, ambil dan tolong pergilah." Ava mengepalkan tangan, menggenggam gunting kuku di sakunya. Dia yakin negosiasi Navan akan gagal. Kunci mobil itu belum cukup menarik perhatiannya atau memang bukan benda-benda itu incarannya. Bulu kuduk Ava meremang. Napasnya semakin berat dan sesak.

Tidak, tidak, tidak.

Dia tak boleh terkena serangan panik sekarang. Apa pun bisa saja terjadi. Benar saja, persis seperti dugaan Ava, pria itu tak menunjukkan gelagat menyetujui penawaran itu. Keserakahan sikap dasar manusia yang bisa muncul setiap ada kesempatan. Mereka tak akan pernah merasa puas, meski yang di depan mata adalah keuntungan yang berlipat ganda. Pria itu kalap, dia menghunjamkan pisau bergerigi dengan satu entakan.

Dorongan untuk berteriak sangat kuat, tetapi semua suara tercekat. Tertahan di pangkal tenggorokan. Ava menahan napas saat tiba-tiba tubuh Navan luruh begitu saja di depan matanya. Waktu seakan melambat selamanya. Dia hanya bisa melihat lelaki di depannya merosot jatuh, Navan tergeletak tak berdaya. Kedua tangannya menyentuh pisau bergerigi yang menancap di perutnya. Cairan kental merembes cepat membasahi kemeja mauve-nya. Lutut Ava bergetar hebat, suaranya tak keluar sama sekali.

Tatapan mereka terpaut. Navan menggeleng pelan melihat ke arah tangan Ava yang menggeser gunting kuku dengan perlahan dan memperbaiki posisinya. Navan menarik celana pria berkostum hitam yang mendekati Ava. Pria itu menendang Navan yang hanya bisa mengerang saat terjungkal. Darah dari perutnya semakin deras. Perampok itu belum siap saat Ava mendorongnya, pria itu pun limblung. Ava menambah pukulan telak dengan lutut tepat pada alat kemaluannya. Si perampok nyaris tumbang, Ava memukul tengkuknya dengan sekuat tenaga, pria itu belum roboh juga. Dia menggeram saat meraba bekas pukulan dan menatap nyalang ke arah Ava. Ava mundur, dia terantuk tangan Navan. Ava pun terjerembap. Pria itu tak membuang kesempatan, dia sudah mengambil posisi di atas tubuh Ava dan menamparnya berulang kali. Panas perih menyerang wajah Ava. Air matanya meleleh mengaburkan pandangan. Tangan Ava berusaha mengambil gunting kuku yang sempat terjatuh.

"Maaf, Kak," bisiknya melirik Navan. Saat Pria mesum itu mencoba melepas sabuk dan melorotkan celana, Ava mencoba lebih tenang.

Panik hanya akan merusak rencananya. Dia hanya punya satu kesempatan. Ava mengatur napasnya agar tak tersengal. Dia menunggu pria itu mendekat dan mencoba menciumnya. Sejauh ini seperti dugaannya, pria itu nyaris menindih Ava. Meskipun satu tangan Ava bisa bergerak bebas, dia meminimalkan gerakan sebisa mungkin.

Satu, dua ... Ava mulai menghitung. Ava menarik napas panjang pada hitungan ketiga, Ava menancapkan ujung runcing gunting kuku dengan sekuat tenaga. Gerakannnya agak meleset dari sasaran utama, jakun. Namun, dia juga tak berusaha membunuh, Ava hanya perlu membuatnya cedera.

"Arghhh, berengsek!" Kedua tangan pria itu mencoba melepaskan tangan Ava. Jaket kulit itu tersingkap sedikit. Tato mawar hitam di pangkal leher memantik gejolak tak tertahankan.

Dengan sisa tenaganya, Ava mempertahankan posisi. Dia menggeser gunting kuku itu membuat raungan pria itu menggema di seluruh lorong nan gelap itu. Ava melepaskannya, perampok itu berlari menghilang di balik gang gelap. Ava melihat sekelebat orang menoleh sesaat. Namun, tak ada satu pun yang berhenti.   

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top